Akhirnya Nadiem Makarim Minta Maaf, Berharap Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan PGRI Kembali ke POP

Akhirnya Nadiem Makarim minta maaf, berharap Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan PGRI kembali ke POP

Editor: Rafan Arif Dwinanto
Warta Kota/Ricky Martin Wijaya
Nadiem Anwar Makarim (kanan) memberikan keterangan saat berkeliling Kantor Kemendikbud usai serah terima jabatan (sertijab), di Jakarta Pusat, Rabu (23/10/2019). Kabar gembira kebijakan Mendikbud Nadiem Makarim, mahasiswa tingkat akhir cukup bayar 50 persen UKT, ini keringanan lainnya 

Di tahun ajaran baru ini, di mana-mana banyak siswa kita ternyata kesulitan melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ), karena keterbatasan ekonomi, infrastruktur listrik dan telekomunikasi, serta sumber daya lainnya.

"Masalah ini menurut saya jauh lebih mendesak untuk dipecahkan Kemendikbud ketimbang program POP," ucap Fadli.

"Anggaran yang sangat besar itu sebaiknya digunakan untuk membantu siswa, guru, serta penyediaan infrastruktur, termasuk di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), agar kegiatan PJJ berjalan lancar dan semua siswa mendapatkan hak dalam menerima pembelajaran," lanjutnya.

Ketiga, proses seleksi bermasalah. Sejak awal, menurutnya, seleksi yang dilakukan Kemendikbud terbukti bermasalah.

"Saya membaca, awalnya ada organisasi besar sebenarnya tak ikut seleksi, tapi diminta untuk ikut oleh kementerian dua hari sebelum penutupan. Ini kan aneh dan sangat tidak profesional.

Lalu, dalam proses seleksi administrasi, mereka sebenarnya juga tak lolos, tapi terus diminta ikut dan melengkapi persyaratan oleh panitia.

 Apa Status Pekerjaan Jokowi di KTP, Kaesang Ungkap SIM Presiden di Twitter, Bagaimana dengan Iriana?

 Terkuak Rekaman Detik-detik Polisi Pangkat Kombes Diduga Aniaya Keluarga Demi Wanita Lain dan Profil

Ada kesan organisasi massa besar diajak hanya untuk melegitimasi semata program ini," ujarnya.

Keempat, kementerian mengabaikan rekam jejak organisasi yang terlibat dalam program ini.

Menurut Fadli, basisnya hanya seleksi proposal melalui ‘blind review’, tanpa mengevaluasi latar belakang dan kompetensi organisasi pengusul.

Mestinya, kata Fadli, para pejabat di Kemendikbud paham mereka bukan sedang menseleksi artikel jurnal, atau ‘beauty contest’ gagasan pendidikan.

Tapi menyeleksi program pemerintah, yang kunci keberhasilannya bukan hanya tergantung pada "bagaimana programnya", tapi juga pada "apa dan bagaimana organisasi pengusulnya".

"Jadi, objektivitas penilaian atas proposal seharusnya memang bukanlah kriteria satu-satunya dalam seleksi program POP.

Terbukti, ada problem etis yang sangat mengusik sesudah identitas para pengusul proposal dibuka," kata Fadli Zon.

Halaman
1234
Sumber: TribunWow.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved