Demo Tolak Omnibus Law

Pandangan Piatur Pangaribuan Atas UU Cipta Kerja: Terlalu Lama Cuti, Orang akan Tidak Produktif

Undang-Undang atau UU Cipta Kerja yang disahkan kemarin (5/10/2020) masih terus menjadi perbincangan hangat.

Editor: Budi Susilo
Tribunnews/Herudin
Sejumlah buruh dan mahasiswa melakukan aksi demonstrasi tolak pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja di Jalan Gerbang Pemuda, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (14/8/2020). 

TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Undang-Undang atau UU Cipta Kerja yang disahkan kemarin (5/10/2020) masih terus menjadi perbincangan hangat.

Salah satunya yang paling disoroti adalah UU tersebut dinilai tidak pro pada pekerja perempuan.

Pada UU Cipta Kerja mengatur sejumlah hal tentang Ketenagakerjaan. Namun ada hal yang berbeda dibandingkan dengan UU no 12 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Salah satunya soal cuti hamil. Pada pasal 82 UU Ketenagakerjaan, urusan cuti melahirkan disebutkan dengan jelas.

Baca Juga: Jadwal Penerapan Sanksi Tidak Pakai Masker di Samarinda, Pelanggar akan Disidang Yustisi

Baca Juga: Masih Zona Orange Covid-19, Jam Malam di Balikpapan Masih Berlaku

Baca Juga: Cara Bikin Tubuh Tetap Bugar Selama WFH Kala Pandemi Corona ala Lembaga Anti Doping Indonesia

Pada Pasat 82 ayat 1 disebutkan, pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.

Sedangkan pada ayat 2 tertulis, pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

Namun di UU Cipta Kerja, hal tersebut tidak diatur. Bahkan kata 'hamil' pun hanya satu kali disebut.

Yaitu di Pasal Pasal 153 ayat 1 huruf e. Yaitu tentang pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh dengan alasan: hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.

Menurut Akademisi dari Kota Balikpapan Kalimantan Timur, Piatur Pangaribuan, ia membaca beberapa komentar orang, bahwa disahkannya Undang-Undang ini merupakan penyiksaan terhadap perempuan.

"Tapi menurut saya tidak. Belum saya baca rinciannya, namun saya yakin soal itu tidak mungkin di hapus. Tidak mungkin," tegasnya.

Menurut ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Kalimantan Timur ini, orang yang menyuruh perempuan bekerja namun baru saja melahirkan bisa dikatakan bukan manusia.

"Saya yakin tidak begitu (dihapuskan). Kalaupun ada, mungkin penyesuaian. Dikurangi masa cutinya. Jika dulu selama 3 bulan, waktunya akan di pangkas dan dikurangi sedikit," jelasnya.

Ia menyebutkan, jika perempuan dalam situasi berada operasi besar dalam melahirkan, tentu ada pengantar dari dokter.

Namun jika ibu tersebut baik-baik saja, ia menyebut tidak perlu melakukan cuti terlalu lama.

"Kok Pak Piatur ini tidak manusiawi ngobrolnya. Saat ini, negara-negara asing pun bekerja keras. Siapa sih yang tidak mau kompensasi yang banyak, tentu mau kan? Tapi realitanya dampak ke perusahaan. Misalnya bagian keuangan cuti 3 bulan, benar-benar stagnasi," terangnya.

Atau bagian produksi yang sangat-sangat vital, karena perempuan juga telah banyak yang menduduki jabatan strategis. Ini akan berdampak.

"Terlalu lama cuti pun, orang akan tidak produktif. Pengalaman cuti selama Corona ini, orang malah stres," pungkasnya.

UU Cipta Kerja Dinilai Banyak Memberikan Manfaat

Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja resmi disahkan menjadi Undang-Undang (UU) melalui rapat paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020) kemarin.

Payung hukum ini menuai banyak sekali kontroversi.

Mulai sejak direncanakan hingga di ketuk palu. Teriakan penolakan tak henti ditemui, baik secara langsung maupun ujaran di sosial media.

UU Cipta Kerja memuat 15 bab dan 174 pasal. Di dalamnya mengatur mengenai Ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup.

Baca Juga: UPDATE Virus Corona di Indonesia Hari Ini, 24 Jam Terakhir Tambah 4.007 Kasus Baru Covid-19

Baca Juga: Presiden Jokowi Tekankan Pentingnya Optimisme dan Keseimbangan Hadapi Pandemi Virus Corona

Namun dinilai banyak pasal kontroversial yang memicu amarah masyarakat.

Di antaranya pasal 59 tentang jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.

Dimana jangka waktunya, kegiatan pekerjaan dan perpanjangan diatur pemerintah.

Juga pasal 79 ayat (2) huruf (b) yang memberikan waktu libur sehari dalam sepekan, dimana sebelumnya 2 hari.

Menurut akademisi hukum di Kota Balikpapan, Piatur Pangaribuan, bagi orang yang tidak paham akan regulasi ini memang menjadikan undang-undang ramai dibahas.

"Saya ambil dari sisi makro, sekarang itu dalam menyelesaikan persoalan, harus lintas ilmu. Enam bulan lalu saya juga dari Belanda, di sana jika menyelesaikan persoalan, sangat efektif jika lintas sektoral," mulainya.

Menurutnya, lintas ilmu sangat penting untuk menyatukan beragam perspektif.

Ia mencontohkan, dalam menyelesaikan perkara peradilan, jika ngotot hanya satu UU saja, maka kasus tersebut akan jalan di tempat.

"Namun jika kita melihat titik temu dari simpul-simpul ini, akan jauh lebih efektif," imbuhnya.

Titik temu yang dimaksud adalah pengusaha, investor, buruh dan lainnya yang terkait. Oknum yang akan memutar roda sistem dengan lancar.

Menurutnya, selama ini sering terjadi ketidakselarasan antar pemberi kerja dan pekerja.

Untuk itu negara hadir. Jika tidak ada yang berani mencari konklusi, maka pihak tersebut akan jalan masing-masing.

Tentu ada beberapa irisan yang negatif, tetapi irisan itu jauh lebih minim dampaknya daripada dampak besarnya.

"Jika kita melihat dari multi perspektif, kita akan bisa memahami bahwa lebih banyak manfaatnya daripada mudaratnya. Memang ada beberapa irisan, tapi itu minoritas dari mayoritas," urainya.

Ia melanjutkan, jika kondisi sebelum adanya UU Cipta Kerja berlangsung, perekonomian tidak akan berjalan sesuai harapan.

Secara otomatis APBD tidak akan terisi, baik APBD Kabupaten Kota hingga APBN.

"Bahkan mungkin pernyataan saya ini, banyak kawan-kawan yang tidak sepakat. Tapi bisa diuji nanti, satu dua tahun ke depan, apakah pertumbuhan ekonomi dan penanaman investasi tumbuh? Jawabannya menunggu waktu itu," pungkasnya.

(Tribunkaltim.co/Heriani dan Miftah)

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved