Lebaran Idul Fitri 2021
Contoh Teks Khutbah Singkat Shalat Idul Fitri Serta Niat Shalat Ied dan Bacaan Disela Takbir
Berikut adalah contoh teks khutbah singkat Idul Fitri.Contoh teks khutbah Idul fitri ini bisa digunakan saat menjalankan Shalat Ied di rumah,
TRIBUNKALTIM.CO - Saat Hari Raya Idul Fitri tiba, umat muslim disunnahkan untuk menjalankan shalat Idul Fitri.
Namun karena pandemi Covid-19 yang masih berlangsung disarankan untuk menjalankan shalat Ied di rumah saja.
Berikut adalah contoh teks khutbah singkat Idul Fitri.
Contoh teks khutbah Idul fitri ini bisa digunakan saat menjalankan Shalat Ied di rumah bersama keluarga.
Berikut ini contoh naskah khutbah Idul Fitri 1442 H.
Tidak terasa, kita sudah berada di penghujung bulan Ramadhan 1442 H.
Baca juga: Twibbon Selamat Lebaran Idul Fitri 2021, Lengkap dengan Link dan Cara Menggunakannya
Setelah selesai berpuasa selama satu bulan penuh, selanjutnya adalah melaksanakan shalat Idul Fitri.
Kementerian Agama (Kemenang) telah menetapkan 1 Syawal 1442 H jatuh pada Kamis, 13 Mei 2021.
Itu artinya, besok, umat Islam dapat melaksanakan ibadah shalat Idul Fitri 1442 H.
Shalat ini bisa dilakukan secara sendiri, akan tetapi lebih baiknya dan yang sudah lumrah adalah dilakukan secara berjamaah.
Selepas shalat Id, disunahkan mendengarkan khutbah dari imam.
Berikut ini terdapat contoh naskah khutbah Idul Fitri dengan judul "Ajaran Tentang Dua Kesadaran".
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً. اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي جَعَلَ هَذَا الْيَوْمَ عِيْدًا لِعِبَادِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ، وَخَتَمَ بِهِ شَهْرَ الصِّيَامِ لِلْمُخْلِصِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ الملك الحق المبين. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اشرف الانبياء والمرسلين. اَللَّهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ .قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.
Hadlirin jamaah shalat Idul Fitri yang dimuliakan oleh Allah,
Allah adalah sumber segala pujian, di pagi hari ini, kita berhimpun untuk bersama menginsyafi segala kenistaan. Allah adalah penggerak hati, maka tanpa izin-Nya tiadalah kuasa manusia melangkahkah kaki demi menggapai ridha ilahi, di hari fitri ini. Kepada Allah kita haturkan syukur dalam laku kehidupan dan tak hanya dalam tutur.
Nabi Muhammad adalah cahaya kehidupan. Kepadanya kita panjatkan shalawat dan salam. Juga kepada para sahabatnya yang mengikrarkan kesetiaan dalam perjuangan menegakkan ajaran Islam. Kepada Nabi Muhammad kita memohon syafaat.
Pada hari ketika lisan hanya mampu tercekat hebat. Hanya tangan dan kaki yang bersaksi atas apa yang diperbuat. Dari syafaat, kita gantungkan harap untuk selamat di akhirat.
Hadlirin jamaah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah,
Dalam salah satu kitabnya yang masyhur, Fihi ma Fihi, Jalaluddin Rumi, seorang sufi besar yang lahir di Samarkand pada tahun 604 Hijriyah atau 1207 Masehi menuturkan sebuah kisah tentang seorang penguasa di kota Rum.
Pada suatu saat sang penguasa berdialog dengan Jalaluddin Rumi, mungkin juga disaksikan oleh sejumlah pengikut sang penguasa. Ia memulai dialog dengan mengucapkan,
“Pada zaman dahulu orang kafir menyembah berhala dan bersujud kepadanya. Kini, kita melakukan hal yang sama. Kita pergi dan bersujud kepada bangsa Mongol. Kita melayani mereka. Namun, di luar pelayanan yang kita lakukan kepada mereka itu, dalam hati kita masing-masing, ternyata kita memiliki berhala-berhala lainnya, seperti ketamakan, hasrat nafsu, dendam dan kedengkian yang sadar atau tidak, semua kita patuhi… Lalu masih pantaskah kita mengaku sebagai Muslim?”
Mendengar perkataan itu, Rumi menjawab: “Namun ada yang berbeda di sini. Dalam pikiranmu terlintas pandangan bahwa perilaku semacam itu sungguh buruk dan tak bisa diterima. Itu terjadi karena mata hatimu telah melihat sesuatu yang agung sehingga kau bisa menunjukkan mana yang baik dan mana yang keji. Air asin akan terasa asin bagi lidah yang pernah meneguk air manis. Sesuatu menjadi jelas setelah melihat kebalikannya. Demikian Allah menanamkan cahaya iman dalam jiwamu, sehingga kau bisa melihat hakikat sebuah perbuatan…”
Hadlirin jamaah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah,
Dari dialog itu terungkap, bahwa sang penguasa dengan sangat baik menggambarkan berhala-berhala dalam diri manusia.
Sementara Jalaluddin Rumi melihat masuknya cahaya ilahiyah ke dalam jiwa sang penguasa, sehingga ia mampu membedakan dua hal yang bertentangan dan mengambil sikap atasnya.
Jika kita hubungkan dengan puasa Ramadhan yang baru saja kita jalankan, percakapan ini memiliki relevansi yang sangat tinggi. Setidaknya ada pelajaran tentang dua kesadaran yang bisa kita petik darinya.
Pertama, kesadaran sang penguasa akan adanya berhala-berhala dalam diri manusia adalah sebuah kesadaran simbolik akan kerentanan jiwa manusia untuk jatuh ke dalam fatamorgana dunia. Lebih jauh, kesadaran itu mengajak untuk mengindentifikasi berhala-berhala apakah yang ada dalam kita.
Setiap diri kita pastilah menyimpan berhala-berhala dalam diri, entah itu berhala dalam wujud ketamakan, sulit untuk bersyukur, kecemburuan individual dan sosial, atau perasaan tak pernah puas dalam memenuhi dahaga atas hasrat duniawi. Namun, apakah tepatnya berhala-berhala yang bersemayam dalam diri kita itu, hanya masing-masing individu yang mengetahuinya, melalui perenungan dan refleksi diri yang mendalam.
Singkat kata, aneka berhala dalam kehidupan manusia itu, bertumpu kepada satu sikap, yakni kecintaan yang berlebih pada hal-hal yang berbau duniawi.
Sesungguhnya, hal itu sama sekali tak menyalahi kodrat kemanusiaan. Karena cinta kepada hal-hal duniawi adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai perhiasan. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Alu Imran ayat 14:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ.
Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.
Akan tetapi, Islam mengajarkan agar kecintaan pada hal-hal duniawi itu jangan sampai menjadikan seorang Muslim terpedaya. Jika terpedaya, kecintaan itu justu akan mengarahkan manusia kepada penuhanan hawa nafsu. Allah menegaskan:
اَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰىهُ وَاَضَلَّهُ اللّٰهُ عَلٰى عِلْمٍ وَّخَتَمَ عَلٰى سَمْعِهٖ وَقَلْبِهٖ وَجَعَلَ عَلٰى بَصَرِهٖ غِشٰوَةًۗ فَمَنْ يَّهْدِيْهِ مِنْۢ بَعْدِ اللّٰهِ ۗ اَفَلَا تَذَكَّرُوْنَ.
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapa yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat?) Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Kedua, kesadaran akan situasi. Bahwa manusia seringkali menyadari keadaan yang dialami sesungguhnya lebih baik dari keadaan-keadaan lainnya, manakala manusia telah mengalami satu keadaan yang lebih buruk.
Sebagai misal, bagi sebagian manusia yang tak pernah merasakan kepahitan hidup dalam bentuk kekurangan makanan, akan sangat sulit untuk mencerna apa makna rasa lapar. Dengan berpuasa, mereka yang tak pernah mengalami rasa lapar itu, akan segera merasakan betapa pahitnya hidup dalam lilitan rasa lapar.
Maka, sebagaimana ibarat yang diajukan Jalaluddin Rumi bahwa air asin akan terasa asin, manakala seseorang pernah mereguk minuman yang manis; kenikmatan hidup yang dirasakan oleh seseorang akan benar-benar muncul dan terasa sebagai kenikmatan hidup setelah ia mengalami “penderitaan” baik dalam arti faktual maupun simulatif.
Dalam kehidupan sosial masyarakat modern, situasi inilah yang disebut dengan empati dan solidaritas sosial. Sebuah situasi turut merasakan keadaan orang lain, betapapun secara faktual tidak berada dalam situasi itu.
Singkat kata, dengan menggunakan ukuran dua jenis kesadaran di atas, puasa sesungguhnya mengajak umat Islam untuk melakukan refleksi ke dalam dan sekaligus keluar. Refleksi ke dalam mengambil bentuk perenungan atas berhala-berhala dalam diri.
Pada tahapan berikutnya, jika berhala-berhala itu telah diketahui, harus dibuat upaya pelemahan atau bahkan penghancuran berhala-berhala itu melalui riyadhah atau latihan pengendalian diri selama puasa di bulan Ramadhan.
Namun, pada saat yang sama, puasa mengajarkan refleksi ke luar, yakni membangun kepekaan, sehingga muncul empati dan solidaritas sosial tadi. Puasa mengandung makna hakiki dan simbolis akan kepedulian kepada sesama.
Namun, kepedulian kepada sesama itu kadang sulit diwujudkan oleh karena sebagian orang tidak mengalami secara langsung apa yang dialami oleh seseorang yang lain. Maka, menangkap kedua makna puasa itu untuk mempertinggi solidaritas sosial sangat penting agar kita tidak menjadi pribadi-pribadi yang terbelah.
Misalnya adalah seseorang yang memiliki pengalaman, pengetahuan, dan ketaatan ritual yang tinggi, namun hatinya tak bergetar melihat ketimpangan sosial. Dengan segala rangkaiannya, puasa melatih agar kita terampil menggunakan mata hati sosial.
Hadlirin jamaah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah,
Demikianlah, mudah-mudahan kita semua senantiasa dalam bimbingan Allah sehingga mampu menjadi pribadi-pribadi utuh dan memiliki setidaknya dua kesadaran tadi.
Marilah bersama-sama kita akhiri khutbah ini dengan membaca doa…
اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ .
Allahumma ya Allah, limpahkanlah ampunan kepada kaum Muslimin dan orang-orang yang beriman, baik bagi mereka yang masih menghirup udara kehidupan dunia maupun yang telah Kembali ke haribaan-Mu.
اللَّهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِنَا، وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا، وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلَامِ، وَنَجِّنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ، وَجَنِّبْنَا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ.
Allahumma ya Allah, lembutkanlah hati kami semua, perbaikilah semua urusan di antara kami, dan tunjukkanlah kami ke jalan keselamatan, arahkanlah kami kepada keselamatan, dengan keluar dari kesesatan menuju cahaya-Mu. Anugerahkan kepada kami kempuan menjauhi hal-hal tercela, baik yang kasat maupun yang tersembunyi.
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي أَسْمَاعِنَا، وَأَبْصَارِنَا، وَقُلُوبِنَا، وَأَزْوَاجِنَا، وَذُرِّيَّاتِنَا، وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ، وَاجْعَلْنَا شَاكِرِينَ لِنِعَمِكَ مُثْنِينَ بِهَا عَلَيْكَ، قَابِلِينَ لَهَا، وَأَتِمِمْهَا عَلَيْنَا .اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ أَعْمَلَنَا فِي رَمَضَانَ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ أَعْمَلَنَا فِي رَمَضَانَ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ أَعْمَلَنَا فِي رَمَضَانَ .رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُم تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُم تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمعِيْدُكُمْ مُبَارَكٌ وَعَسَاكُمْ مِنَ العَائِدِيْنَ وَالفَائِزِيْنَ كُلُّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ .وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Baca juga: Panduan dan Tata Cara Shalat Idul Fitri 2021/1442 H Sendirian dan Berjamaah, Dilengkapi Niat & Doa
Tata cara dan niat shalat Idul Fitri
Inilah tata cara shalat Idul Fitri, baik di rumah maupun di masjid/lapangan.
Artikel ini juga dilengkapi dengan bacaan niat, doa iftitah, jumlah takbir, bacaan di sela-sela takbir, dan naskah khutbah singkat.
Kementerian Agama (Kemenag) resmi memutuskan, Idul Fitri 1 Syawal 1442 H jatuh pada Kamis, 13 Mei 2021.
Dengan demikian, umat Islam akan melaksanakan shalat Idul Fitri yang merupakan shalat sunnah dua rakaat pada Kamis pagi.
Berikut tata cara shalat Idul Fitri, baik di rumah maupun di masjid/lapangan:
1. Sebelum shalat, disunnahkan untuk memperbanyak bacaan takbir, tahmid, dan tasbih.
2. Shalat dimulai dengan menyeru "ash-shalâta jâmi‘ah", tanpa azan dan iqamah.
3. Memulai dengan niat shalat idul fitri.
Lafaz niat shalat Idul Fitri sebagai makmum adalah:
اُصَلِّى سُنَّةً عِيْدِ الْفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ مَأْمُوْمًا للهِ تَعَالَى
Usholli sunnatan ‘iidil fithri rok’ataini ma’muuman lillaahi ta’aalaa
Artinya: Aku berniat shalat sunnah Idul Fitri dua rakaat (menjadi makmum/imam) karena Allah ta'ala.
Sementara bila jadi imam, lafaz niat shalat Idul Fitri adalah:
اُصَلِّى سُنَّةً عِيْدِ الْفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ إِمَامًا للهِ تَعَالَى
Usholli sunnatan 'iidil fithri rok'ataini imaaman lillaahi ta'aalaa
Artinya: Saya niat shalat sunah Idul Fitri dua rakaat sebagai imam karena Allah Taala.
4. Membaca takbiratul ihram (الله أكبر) sambil mengangkat kedua tangan.
Lalu membaca doa iftitah
اللهُ اَكْبَرُ كَبِرًا وَالْحَمْدُ لِلهِ كَشِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَاَصِيْلًا . اِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَالسَّمَاوَاتِ وَالْااَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا اَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ . اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلهِ رَبِّ الْعَا لَمِيْنَ . لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَ لِكَ اُمِرْتُ وَاَنَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ .
"Allaahu akbaru Kabiraa Walhamdulillaahi Katsiiraa, Wa Subhaanallaahi Bukratan Wa’ashiilaa, Innii Wajjahtu Wajhiya Lilladzii Fatharas Samaawaati Wal Ardha Haniifan Musliman Wamaa Anaa Minal Musyrikiin.
Inna Shalaatii Wa Nusukii Wa Mahyaaya Wa Mamaatii Lillaahi Rabbil ‘Aalamiina. Laa Syariikalahu Wa Bidzaalika Umirtu Wa Ana Minal Muslimiin."
Artinya: Allah Maha Besar dengan sebesar-besarnya, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak. Maha Suci Allah pada waktu pagi dan petang.
Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dengan segenap kepatuhan atau dalam keadaan tunduk, dan aku bukanlah dari golongan orang-orang yang menyekutukan-Nya.
5. Membaca takbir sebanyak tujuh kali (di luar takbiratul ihram) dan di antara tiap takbir itu dianjurkan membaca:
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ
Subhanalloh wal hamdulillah wa laa ilaha illalloh wallohu akbar.
Artinya: Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya. Tiada tuhan kecuali Allah, Allah Maha Besar.
6. Membaca surah al-Fatihah, diteruskan membaca surah yang pendek dari Alquran.
7. Ruku', sujud, duduk di antara dua sujud, dan seterusnya hingga berdiri lagi seperti shalat biasa.
8. Pada rakaat kedua sebelum membaca al-Fatihah, disunnahkan takbir sebanyak lima kali sambil mengangkat tangan.
Di luar takbir saat berdiri (takbir qiyam) dan di antara tiap takbir disunnahkan membaca:
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ
Subhanalloh wal hamdulillah wa laa ilaha illalloh wallohu akbar.
Artinya: Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya. Tiada Tuhan kecuali Allah, Allah Maha Besar.
9. Membaca Surah al-Fatihah, diteruskan membaca surah yang pendek dari Alquran.
10. Ruku', sujud, dan seterusnya hingga salam.
11. Setelah salam, disunnahkan mendengarkan khutbah Idul Fitri.
Baca juga: Kartu Lebaran 2021, Aplikasi Cara Bikin Ucapan Idul Fitri 1442 H, Gratis Playstore & iOS atau WA
Lantaran masih pandemi, umat Islam diimbau untuk shalat Idul Fitri di rumah terutama yang berada di zona merah dan zona oranye.
Sementara di zona hijau dan kuning, shalat Idul Fitri dapat diadakan di masjid dan lapangan, tentu dengan memperhatikan protokol kesehatan.
Merujuk pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun lalu, shalat Idul Fitri dapat dilakukan di rumah baik secara sendirian/munfarid maupun berjamaah.
Bila dilakukan secara berjamaah, maka jumlah jamaah yang melaksanakan shalat Idul Fitri minimal empat orang.
Rinciannya, satu orang menjadi imam dan tiga lainnya makmum.
Selain itu, setelah shalat Idul Fitri di rumah, khatib bisa melaksanakan khutbah.
Namun, jika jumlah jamaah kurang dari empat orang, maka shalat Idul Fitri boleh dilakukan berjamaah tanpa khutbah.
Pun jika dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri berjamaah di rumah tidak ada yang berkemampuan untuk khutbah, maka boleh dilakukan tanpa khutbah.
Bila shalat Idul fitri dilaksanakan secara sendiri (munfarid), maka tidak perlu ada khutbah.
(*)
Berita tentang Shalat Idul Fitri
Berita ini telah tayang di Tribunnews dnegan judul Contoh Naskah Khutbah Idul Fitri 1442 H: Ajaran Tentang Dua Kesadaran