Berita Kutim Terkini
Perjuangan Masyarakat Dayak Wehea Kutai Timur Dapatkan Pengakuan Hukum Adat
Dayak Wehea merupakan komunitas Sub Suku Dayak yang sudah ribuan tahun bermukim di 6 desa yang ada di dua Kecamatan.
Penulis: Syifaul Mirfaqo |
TRIBUNKALTIM.CO, SANGATTA- Dayak Wehea merupakan komunitas Sub Suku Dayak yang sudah ribuan tahun bermukim di 6 desa yang ada di dua Kecamatan.
Bukti migrasi Dayak Wehea dapat terlihat secara kasat mata mulai dari situs Gunung Kong Kemul, Puhus, dan Gunung Kombeng yang tersebar di enam desa.
Dikemukakan, tokoh masyarakat Adat Dayak Wehea, Ledjie Be saat diwawancarai di rumahnya, Desa Benhes, Kecamatan Telen, Kabupaten Kutim.
"Tiga desa pertama terletak di Das Tlan (Telen), yakni Desa Bea Nehas atau Benhes, Diaq Lay dan desa Dea Beq atau Dabeq," ucapnya.
Sedangkan tiga desa lainnya terletak di Das Wehea atau Wahau, yakni Desa Diaq Luway atau Jak Luway, Long Wehea dan Desa Nehes Liah Bing.
Baca juga: Sandang Gelar Doktor, Desertasi Kasmidi Bulang Angkat Kebudayaan Dayak Wehea di Kutai Timur
Keenam desa yang dihuni oleh komunitas Dayak Wehea ini masih sangat kental dengan ritual adat dan budayanya.
Semua ritual adat dan budayanya menjadi rangkaian wajib yang harus mereka laksanakan.
"Hal tersebut karena ritual adat yang dilakukan adalah warisan nenek moyang mereka secara turun temurun," ujarnya.
Kurang lebih 38 ritual adat yang biasa dilakukan sepanjang tahun, mulai dari ritual adat pembukaan ladang padi, penanaman, pemeliharaan, sampai panen padi yang dilakukan secara gotong royong dan mengikuti ketentuan adat.
Selain ritual adat secara komunitas pelaksanaannya terdapat juga ritual adat yang dilakukan dalam keluarga masing-masing seperti erau anak.
Kendati demikian, kental syarat akan kekayaan ritual adat dan budaya tidak serta merta membuat Dayak Wehea mendapatkan pengakuan dari pemerintah setempat.
Baca juga: Kantor Bahasa Provinsi Kaltim Lakukan Pengumpulan Kosakata Bahasa Dayak di Kubar
"Bahkan ada yang beranggapan komunitas Dayak Wehea masuk dalam sub suku dayak yang telah diakui, sehingga sampai saat ini masih berusaha keras diperjuangkan," ujarnya.
Saat ini telah terbuka jalan melalui Panitia Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang dibentuk Pemerintahan Kabupaten Kutai Timur dan bersekretariat di kantor DPMPD Kutai Timur.
Sebelumnya, warga Dayak Wehea sudah pernah meminta pengakuan MHA kepada Kementerian Kehutanan dan mendatangi Komnas HAM juga Ombudsman RI.
Namun usaha tersebut belum membuahkan hasil lantaran mekanisme pengakuan MHA sesuai dengan Permendagri No 52 tahun 2014 dan Perda Provinsi Kaltim No.1 Tahun 2015 berproses di daerah terlebih dahulu melalui penerbitan SK ataupun Perda Pemerintahan Kabupaten Kutai timur.
Padahal Sekretaris Lembaga Adat desa Diaq Lay, Musa Ba Jie Ledjie Helaq Siang mengungkap bahwa Dayak Wehea pernah hampir mendapatkan SK.
"Kami nyaris mendapatkan SK Pengakuan MHA oleh Bupati Kutim terdahulu, namun gagal dan akhirnya usaha ini gagal dan harus diulang kembali perjuangan yang kami lakukan," ujarnya.
SK MHA menjadi hal penting sebagai bukti legal pengakuan eksistensi dan keberlangsungan Dayak Wehea ke depannya.
Untuk itu, Lembaga Adat telah membentuk Tim Percepatan SK Pengakuan MHA Wehea secara terpisah.
Tim juga akan bekerja keras menyiapkan usulan untuk disampaikan kepada Panitia MHA yang ada di wilayah pemerintahan Kabupaten Kutim.
"Tim telah menyepakati terbentuknya komisi untuk mempersiapkan dokumen yang dibutuhkan, sehingga pada saat usulan kami direspons panitia MHA Kabupaten, dilanjutkan identifikas dan validasi ke lapangan," ujarnya.
Dokumen yang akan dipersiapkan masing-masing komisi, meliputi sejarah, wilayah adat, hukum adat, harta kekayaan benda-benda adat, kelembagaan dan sistem pemerintahan adat.
Penyampaian usulan ke panitia MHA Kabupaten disepakati oleh lembaga adat akan diserahkan di akhir bulan Juni 2021 mendatang.
Lebih lanjut ia menyampaikan, pihaknya akan tetap memperjuangkan pengakuan MHA Dayak Wehea hingga didapatkan, dan hasil perjuangan nantinya diberikan untuk anak cucu generasi Dayak Wehea.