Ibu Kota Negara

Akademisi Unmul Beri Catatan Terhadap Aspek Kelembagaan dan Pemerintahan Khusus IKN, Dalam RUU

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (FH Unmul), Harry Setya Nugraha memberi catatan pada RUU Ibu Kota Negara

Penulis: Mohammad Fairoussaniy | Editor: Mathias Masan Ola
HO/TRIBUNKALTIM.CO
Akademisi sekaligus Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (FH Unmul), Harry Setya Nugraha, memberikan catatan terkait RUU IKN dari aspek Kelembagaan dan Pemerintahan Khusus IKN dalam RUU IKN. HO/TRIBUNKALTIM.CO 

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (FH Unmul), Harry Setya Nugraha memberi catatan pada RUU Ibu Kota Negara (RUU IKN) yang akan disahkan.

Sejak kali pertama diwacanakan oleh Presiden Jokowi dalam Pidato Kenegaraan pada tanggal 16 Agustus Tahun 2019, rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) telah memasuki babak baru ketika wacana tersebut ditindaklanjuti melalui hadirnya RUU IKN yang diusulkan oleh Pemerintah dalam Program Legislasi Nasional. 

Harry Setya Nugraha memaparkan, berdasarkan informasi yang diperoleh dari website resmi DPR RI, diketahui bahwa pembahasan RUU IKN telah memasuki pembicaraan tingkat 1 (Rapat Panja RUU IKN) dengan agenda pembahasan DIM RUU. Bahkan beredar kabar bahwa RUU IKN akan segera disahkan pada 18 Januari Tahun 2022.

Meski satu sisi DPR dan Pemerintah dikabarkan akan segera mengesahkan RUU IKN, di sisi yang lain masih saja banyak dari masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Kalimantan Timur pada khususnya yang tidak mengetahui bagaimana konsep detail Ibu Kota Negara (IKN) baru yang dirancang dalam RUU IKN tersebut. 

"Tidak hanya itu, dalam banyak kesempatan juga masih dijumpai berbagai bentuk protes dan penolakan terhadap rencana perpindahan Ibu Kota Negara oleh karena berbagai macam alasan, salah satunya karena ketidakjelasan konsep IKN dalam RUU IKN," ungkapnya, Senin (17/1/2022).

Baca juga: Lembaga Adat Ingin Ada Pengakuan Suku Asli Paser dalam Undang-undang Ibu Kota Negara

Baca juga: Mengintip Konsep Ibu Kota Negara RI di Kaltim, Metaverse hingga Badan Otorita

Baca juga: Pansus RUU Ibu Kota Negara ke Balikpapan, Serap Aspirasi dari Puluhan Lembaga Masyarakat

Ada tujuh catatan terhadap aspek Kelembagaan dan Pemerintahan Khusus IKN dalam RUU IKN yang disampaikan Harry Setya Nugraha.

Pertama konsep penyelenggaraan pemerintahan khusus oleh Otorita tidak dikenal dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Konsep ini berpotensi menjadi konsep yang inkonstitusional sebab original intens Pasal 18B ayat (1) tidak cukup mengakomodir maksud dibentuknya otorita dengan berbagai tujuan, maksud dan konsepnya.

Kedua RUU IKN memberi definisi bahwa Otorita IKN adalah lembaga pemerintah setingkat kementerian yang dibentuk untuk melakukan beberapa aktivitas, salah satunya adalah penyelenggaraan pemerintahan khusus. 

Dikatakan pula bahwa, catatan ketiga, kewenangan pemerintahan khusus IKN dalam pengelolaan wilayah IKN mencakup seluruh urusan pemerintahan, kecuali urusan pemerintahan di bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. 

Konsep ini tidak sejalan dengan konsep urusan pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia yang berlaku saat ini. 

Sebagaimana diketahui bahwa urusan pemerintahan dalam sistem pemerintahan saat ini dibagi menjadi urusan pemerintahan absolut, umum, dan konkuren yang kesemuanya itu dilaksanakan baik oleh pemerintah pusat secara absolut, oleh presiden maupun dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Baca juga: Kabar Terbaru, Berstatus DKI, Warga Ibu Kota Negara di Penajam Kaltim Bakal Tak Punya Wakil Rakyat

Lebih lanjut, dia mengungkapkan, catatan ketiga yaitu kedudukan otorita IKN sebagai lembaga pemerintahan setingkat menteri pun memicu pertanyaan tentang bagaimana kemudian kedudukan kepala otorita terhadap menteri? 

"Ketidakjelasan tersebut pada akhirnya akan menambah catatan panjang fenomena vis a vis atau suatu kondisi dimana para pihak ditempatkan pada kondisi yang saling berhadap-hadapan (tidak saling memihak) antara jabatan kepala di daerah (kepala daerah dan kepala otorita) dan menteri dalam penyelenggaraan pemerintahan," jelas Harry Setya Nugraha.

Keempat, Naskah akademik dan RUU IKN menjelaskan bahwa otorita sebagai bagian daripada pemerintah pusat. Hal ini membuat penyelenggaraan pemerintahan di IKN oleh otorita akan sangat sentralistik

Catatan yang kelima, Pasal 10 ayat (1) RUU IKN menyebutkan bahwa Kepala Otorita IKN dan Wakil Kepala Otoritas IKN memegang jabatan selama 5 tahun dan sesudahnya dapat ditunjuk kembali dalam masa jabatan yang sama. 

Beberapa catatan terhadap ketentuan a quo yakni, penunjukan yang dilakukan oleh Presiden dapat dinilai menciderai semangat demokrasi yang telah dibangun sejauh ini. 

Serta ketentuan tersebut juga tidak memberi sinyal terhadap batasan masa jabatan kepala otorita dan hal ini jelas menabrak konsep konstitusionalisme atau pembatasan kekuasaan.

Baca juga: Datang ke Kantor PWI Kaltim, Kapolda Kaltim Ingin Pemberitaan Ikut Kawal Pembangunan Ibu Kota Negara

"Dalam Pasal 10 ayat (2) RUU IKN menyebutkan bahwa Kepala Otorita IKN dan atau Wakil Kepala Otoritas IKN dapat diberhentikan sewaktu-waktu oleh Presiden sebelum masa jabatan berakhir. Ketentuan ini tentu dapat dilihat mengandung tendensi yang cukup politis dan elitis," sebut Harry Setya Nugraha.

"Pasal 13 ayat (1) RUU IKN menyebut bahwa IKN hanya melaksanakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, dan pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, dua pasal ini jadi catatan saya juga," sambungnya.

Menurut Harry Setya Nugraha, ketentuan a quo mengakibatkan hilangnya hak konstitusional warga negara di kawasan IKN untuk dapat memilih dan memiliki dewan perwakilan rakyat di daerah.

Selain ketujuh catatan yang telah disampaikan, Harry Setya Nugraha juga menyampaikan, di Pasal 32 RUU IKN menyebutkan bahwa “pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan ketentuan yang diatur khusus dalam Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku dalam hal kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Khusus IKN.”

Ketentuan a quo dapat dinilai sebagai ketentuan “sapu jagat” yang menunjukkan bahwa banyak sekali peraturan perundang-undangan yang akan terdampak dari RUU IKN ini yang bisa saja belum seluruhnya diidentifikasi dengan baik oleh pemerintah. 

"Tidak hanya itu, ketentuan “sapu jagat” ini juga menandakan bahwa sesungguhnya kajian tentang rencana perpindahan IKN belum tuntas dilaksanakan. Oleh karena itu, ada baiknya pembahasan RUU IKN tidak dilakukan tergesa-gesa dan perlu kembali dilakukannya kajian yang matang dan mendalam terhadap rencana perpindahan IKN," saran Harry Setya Nugraha.

Sebagai tambahan informasi pada Senin (17/1/2022) hari ini, pukul 13.00 WITA juga akan direncanakan ada diskusi "CATATAN KRITIS FH UNMUL ATAS RUU IKN" yang langsung dihadiri Anggota Pansus RUU IKN, G Budiarso Djiwandono, melalui zoom meeting atau virtual.

Diskusi tersebut juga sebagai bentuk perhatian dan tanggungjawab Fakultas Hukum Universitas Mulawarman atas keilmuan serta masa depan kebijakan Ibu Kota Negara (IKN). (*)

Join Grup Telegram Tribun Kaltim untuk mendapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari. Caranya klik link https://t.me/tRibunkaltimcoupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved