Ibu Kota Negara

Pembangunan IKN Baru Berpotensi Bikin Utang RI Bengkak, Mekanisme Investasi Swasta Jadi Pertanyaan

Pembangunan Ibu Kota Negara ( IKN ) baru berpotensi membuat utang RI menjadi bengkak. Mekanisme investasi swasta jadi pertanyaan.

Editor: Amalia Husnul A
Tribun Visual Jakarta/Akbar Permana
Ilustrasi desain IKN Nusantara. Pembangunan Ibu Kota Negara ( IKN ) baru berpotensi membuat utang RI menjadi bengkak. Mekanisme investasi swasta jadi pertanyaan. 

TRIBUNKALTIM.CO - Pembangunan Ibu Kota Negara ( IKN ) yang diberi nama Nusantara di wilayah Provinsi Kalimantan Timur ( Kaltim ) berpotensi membuat utang RI bengkak. 

Analisa ini disampaikan mengingat anggaran pembangunan dan pemindahan IKN sebagian menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( APBN ).

Memang Pemerintah telah menyampaikan sebagian dari alokasi anggaran IKN berasal dari investasi swasta.

Namun, investasi swasta ini juga dipertanyakan, apakah ada investor yang akan tertarik hingga bagaimana dengan  mekanismenya.

Pernyataan ini disampaikan Bhima Yudhistira,  Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios).

Dikutip TribunKaltim.co dari kompas.com, menurut Bhima Yudhistira, utang pembangunan dan pemindahan IKN pada fase awal berpotensi makin membengkak karena biaya konstruksi bisa dipengaruhi oleh efek volatilitas nilai tukar saat pandemi Covid-19.

Urgensi IKN vs Penanganan Pandemi Covid-19

Bhima Yudhistira menyatakan sebaiknya pembangunan IKN ditunda.

Baca juga: Wagub Hadi Mulyadi Ingin Progres Pembangunan IKN Tak Terhambat usai Heboh Pernyataan Edy Mulyadi

Menurutnya, urgensi pembangunan IKN masih lebih rendah dibanding penanganan pandemi Covid-19, karena saat ini masih pandemi Covid-19,  

Untuk diketahui, pada fase awal, Kementerian PUPR meminta dana pembangunan IKN kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebesar Rp 46 triliun.

"Diundur dulu karena saat ini belum menjadi urgensi.

Dan belajar dr pengalaman di Malaysia mereka sempat melakukan penundaan ketika krisis moneter 1998.

Setelah itu baru, karena biaya konstruksi dan biaya lain-lain juga ada pembengkakan termasuk efek dari volatilitas nilai tukar.

Ini yang harus diwaspadai," kata Bhima saat dihubungi Kompas.com, Rabu (26/1/2022).

Vaksin Booster dan Pemulihan UMKM

Vaksin booster butuh biaya besar Bhima menuturkan, pemerintah sebaiknya fokus menangani pandemi Covid-19.

Baca juga: Masuk Kriteria Jokowi, Jawaban Kompak Ahok, Risma dan Ridwan Kamil Soal Kepala Otorita IKN di Kaltim

Meski ada anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional ( PEN ), baru sekitar 20 persen Usaha Mikro Kecil dan Menengah ( UMKM ) yang mendapat bantuan usaha.

Belum lagi akselerasi vaksinasi booster yang turut membutuhkan anggaran.

Di sisi lain, pemerintah masih harus mengejar target penurunan defisit APBN sebesar 3 persen pada tahun 2023.

Artinya tahun ini menjadi tahun terakhir defisit boleh di atas 3 persen.

"Vaksinasi booster butuh dana yang tidak sedikit.

Harusnya prioritas dulu ke sana. Dari sisi perencanaan perlu evaluasi karena dianggap kurang realistis," beber Bhima.

Jika pakai APBN, pajak pasti naik Bila masih nekat menggunakan APBN, Bhima menilai ruang fiskal akan semakin sempit.

Implikasinya adalah target pajak akan dinaikkan sehingga berisiko menyasar warga kelas menengah untuk membayar pajak lebih banyak.

Baca juga: Akademisi Unmul Sebut Video Viral Edy Mulyadi Belokkan Perdebatan Akademis IKN ke Sentimen Identitas

Kemudian, utang makin melonjak ketika beban belanja bunga utang pemerintah sudah mencapai Rp 360 triliun - Rp 400 triliun pada tahun 2022 atau setara 15 persen dari total penerimaan pajak.

"Jadi ini bukan angka yang kecil. Tentu ini akan sangat memberatkan APBN karena APBN sendiri mengalami tekanan untuk mengurangi defisit anggaran," ucapnya.

Investor mana yang tertarik dengan IKN?

Memang Bhima mengakui, pemerintah bakal bekerja sama dengan pihak swasta untuk membangun IKN.

Namun porsinya menjadi kurang realistis jika investasi swasta menjadi yang paling besar mencapai 46 persen.

Dalam proyek infrastruktur yang berjalan saja, porsi KPBU hanya sebesar 7 persen dari total pembiayaan.

Adapun rata-rata KPBU di negara lain maksimum hanya mencapai 22 persen.

"Investor mana yang tertarik sedangkan pembangunannya adalah gedung pemerintah, bukan kawasan industri atau yang sifatnya komersial.

Apakah ini investasi cara langsung atau investasi SUN atau BUMN?

Kalau (lewat SUN) itu yang terjadi, sama saja beban utang meningkat," tandas Bhima.

Baca juga: Gubernur Kaltim Ajak Masyarakat Sudahi Perdebatan IKN, Isran Noor Sebut Tidak Produktif

(*)

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Join Grup Telegram Tribun Kaltim untuk mendapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari. Caranya klik link https://t.me/tribunkaltimcoupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved