Opini
Quasi Yudisial Dalam Penanganan Pelanggaran Pemilu antara Das Sollen dan Das Sein
Bawaslu dalam menjalankan fungsinya sebagai Quasi Yudisial belum diimbangi dengan komisioner yang kompeten dibidang hukum.
Oleh : Wisynu Aji Indro Asmoro, SH,MH
* Ketua Komunitas Penulis Samarinda (Kopesa)
* Alumni Magister Ilmu Hukum Universitas Merdeka Malang
Negara demokrasi yang berdasarkan hukum selalu menjunjung tinggi hukum, salah satu negara
demokrasi adalah menyelenggarakan pemilu yang bebas, karena dalam negara demokrasi pemilu merupakan mekanisme utama yang harus ada dalam tahapan penyelenggaraan negara dan pemerintahan, sehingga Pilkada merupakan kekuasaan penuh di tangan rakyat, merupakan bentuk kekuasaan terpenting dan bentuk partisipasi rakyat paling nyata dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk menciptakan proses demokrasi yang baik (Edward Siregar, Fritz, 2020). Pemilihan umum (Pemilu) adalah jangkar demokrasi.
Padahal proses demokrasi tidak selalu identik dengan protes dan perjuangan demokrasi elektoral. Pemilu, khususnya di negara-negara pasca-otoriter seperti Indonesia, tetap memegang peranan yang sangat penting dan praktis. Sebagai wujud nyata dari demokrasi elektoral, pemilu merupakan sarana untuk mengubah sosial politik bangsa menjadi lebih baik, sehingga tidak bijak jika hukum (acara) pemilu dimaknai hanya sebagai aturan yuridis-prosedural. Indonesia telah mempraktekkan demokrasi elektoral sejak tahun 1955, dan telah menikmati persaingan elektoral liberal sejak Orde Baru pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987.
Salah satu bentuk partisipasi sosial yang dilakukan oleh warga negara adalah melakukan kegiatan penegakan hukum pemilu terhadap pelanggaran yang terjadi dalam rangka terselenggaranya keadilan pemilu. Padahal, pemilu merupakan rangkaian empiris dari partisipasi politik massa. Padahal, pemilu merupakan indikator penting apakah suatu negara sudah bisa memiliki sistem demokrasi atau belum. Pemilu adalah takdir penjaminan hak-hak rakyat oleh konstitusi.
Selain itu, pemilu yang adil dan tidak memihak dipastikan melalui sistem peradilan pemilu. Sistem peradilan pemilu dipahami sebagai upaya untuk menyediakan mekanisme penyelenggaraan kegiatan pemilu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melindungi hak pilih, dan memiliki mekanisme pengaduan dan penyelesaian jika terjadi pelanggaran pemungutan suara. Hak (Oliver Joseph dan Frank McLoughlin : 2019). Sistem peradilan pemilu yang terdiri dari mekanisme pencegahan dan penyelesaian konflik dan sengketa merupakan elemen penting dalam memantau dan menjamin terselenggaranya peradilan pemilu (Sudikno Mertokusumo : 2011).
Komponen malpraktik pemilu dan penyelesaian sengketa disebut juga dengan sistem penegakan hukum pemilu. Sistem penegakan hukum pemilu sebagai sistem keadilan pemilu bertujuan untuk melindungi dan menjamin persamaan hak pilih warga negara, menjamin keadilan penyelenggara pemilu, menjaga profesionalisme penyelenggara pemilu, dan menjamin legitimasi penyelenggara pemilu. pemilihan. proses dan hasil pemilu. Hal ini juga sesuai dengan tujuan hukum untuk melaksanakan keadilan, yaitu memberikan kebahagiaan dan manfaat bagi sebanyak mungkin orang, serta mengatur dan melindungi kepentingan orang dan masyarakat.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017) merupakan perubahan besar bagi Bawaslu yang semula hanya bertugas sebagai pengawas pemilu dan kemudian melaporkan hasil pemilu ke BDP. Pada tahun 2017, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011) memberikan kewenangan tambahan yaitu hanya kewenangan Bawaslu untuk menerima laporan dan menyampaikan laporan dan kesimpulan Bawaslu ke pengadilan. KPU. Karena Bawaslu tidak mandiri secara kelembagaan, kinerjanya masih dipengaruhi oleh kekuatan lembaga lain.
Lahirnya UU 7 Tahun 2017 memberikan angin segar bagi Bawaslu dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, sedangkan UU 7 Tahun 2017 memberikan kewenangan kepada Bawaslu tidak hanya untuk menerima tetapi juga untuk menyelesaikan dan memantau sengketa dan pelanggaran administrasi. Kekuasaan legislatif Bawaslu diatur oleh 2 (dua) undang-undang. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Pengaturan Kegiatan Negara. Diubah dengan UU No 1 Tahun 2015 dan Peraturan Walikota No 10 Tahun 2016" 10 Oktober 2016. Pilkada ke-7 Tahun 2017 Dua rezim hukum yang menjadi perhatian publik adalah ruang lingkup kewenangan pemilu Bavaslu./penyelenggara Pilkada.
Bawaslu adalah pengawas Pemilu dan Pilkada, serta dasar pembahasan kewenangannya adalah
penanganan tindak pidana bersama Kejaksaan Agung, Polri dalam satu atap yakni Sentra Gakkumdu Penegakan Hukum untuk tindak pidana Pemilu/Pilkada sebagai pusat kegiatannya. Dari kewenangan tersebut, Bawaslu juga menjalankan fungsi yudisial seperti memeriksa, mengadili, meninjau dan mengadili dugaan pelanggaran penyelenggaraan pemilu/pilkada dan sengketa proses pemilu/pilkada, serta pelanggaran administrasi pemilu kategori terstruktur, sistematik, dan masif (TSM) terhadap binari. DPR, DPD, dan DPRD calon presiden daerah dan anggota serta pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (Esfandiari, F. dan Fatih, S. Al : 2020).
Yurisdiksi yang dimiliki Bawaslu hampir sama dengan yurisdiksi yang ditetapkan dalam konstitusi Indonesia, atau yurisdiksi sebagaimana dimaksud dalam Ayat 2 Pasal 24 UUD 1945. Hal itu menunjukkan bahwa yurisdiksi tersebut dilaksanakan di negara Republik Indonesia. Oleh Mahkamah Agung dan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Pembantu di lingkungan Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan, pendelegasian wewenang kepada Bawaslu tidak masuk akal, karena dalam doktrin pemisahan kekuasaan, lembaga pemerintah dan komisi tidak boleh memiliki kekuasaan ganda, lembaga hanya dapat memiliki satu mandat, tetapi perkembangannya merupakan kekuasaan.
Peninjauan pelanggaran administrasi Pemilihan Umum (Pilkada) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang diselenggarakan di Bawaslu, Bawaslu merupakan komisi pemeriksa yang terdiri dari sekurangkurangnya 3 (tiga) orang, 1 orang asisten pemeriksa dan 1 orang panitera. Ketua dan anggota Bawaslu resmi tampil di depan dewan juri dengan jas hitam dan dasi yang rapi. Mereka duduk di meja tinggi menghadap para pengunjung. Di sisi kanan dan kiri duduk wartawan dan reporter partai politik, khususnya anggota BDP pusat dan daerah serta peserta pemilu. Ketua majelis Bawaslu juga bertanggung jawab untuk memulai dan mengakhiri majelis serta menyelesaikan masalah-masalah penting. Saat ini, pelapor dan informan menyebut anggota dan ketua Bawaslu sebagai “jamaah” atau “jamaah”.
Pidana yang dapat diputuskan oleh pimpinan pelanggaran administratif terdiri dari 4 (empat) jenis pidana yang timbul dari putusannya:
a. menyempurnakan aturan, prosedur, dan mekanisme administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. peringatan tertulis;
c. tidak memasuki tahapan penyelenggaraan pemilu tertentu; dan
D. Sanksi administratif lainnya dapat dijatuhkan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam Pasal 461 Ayat 6 UU Pemilu. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Al-fatih, 2020).
Menurut sistem peradilan Indonesia, penyidik, penuntut umum (penuntut umum), hakim, penasihat hukum, dan proses peradilan yang berbeda tetapi saling berhubungan, runtut dan tertib di negeri ini. dilakukan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait (Patawari : 2019).
Di sisi lain, fungsi lembaga peradilan diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012. 06. UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Peradilan, yaitu Mahkamah adalah lembaga negara yang merdeka untuk menjalankan kekuasaan kehakiman, dan kekuasaan tertingginya adalah Mahkamah Agung Negara (SSC) dan lembaga peradilan seperti Peradilan Umum, Pengadilan Agama, dan Pengadilan Militer yang berada di bawah yurisdiksinya. , Pengadilan Tata Usaha Negara, Urusan Negara. pengadilan (Rumadan, 2017).
Pemilihan Bawaslu, kewenangan pimpinan Pilkada, sekaligus sebagai pemeriksa, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan, sengketa penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada dapat menimbulkan
penyalahgunaan kekuasaan / abuse of power (Amal, 2019). Jika dilihat lebih jauh, independent judiciary dalam konstitusi kita sejalan dengan konsep trias politica Baron de Montesquieu dalam karyanya L'Esprit des Lois (Spirit of the Law), yang membagi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.. Ketiga kekuatan ini harus dipisahkan baik dari tugas (fungsi) maupun perlengkapan (organisasi) yang menjalankannya. Pemisahan kekuasaan ini dirancang untuk menghindari monarki, tirani, dan kesewenang-wenangan di setiap cabang pemerintahan (Mahfud MD, M : 1999).
Kini Bertani Tak Lagi Manual: Inovasi UMY Bawa Digitalisasi ke Ladang, Aplikasi Bantu Kerja Petani |
![]() |
---|
Dinamika Pengaturan Tanah Telantar, Wajah Politik Kebijakan Pertanahan RI |
![]() |
---|
Bela Tanah Air di Bingkai Demokrasi : Klarifikasi Indoktrinasi di Pendidikan Kesadaran Bela Bangsa |
![]() |
---|
Belajar dari Kasus Bupati Pati: Perlunya Kepala Daerah Memahami Proses Pengambilan Kebijakan |
![]() |
---|
Maraknya Fenomena Sound Horeg |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.