Ibu Kota Negara

Kisah Warga di IKN Nusantara, Tersingkir dari Kampung Sendiri, Kehilangan Kebun Sumber Penghidupan

Kisah warga di IKN Nusantara yang tersingkir dari kampung sendiri. Lantaran ia kehilangan rumah dan kebun sumber penghidupannya. Tak mampu beli lahan

Editor: Amalia Husnul A
Kompas.com/Zakarias Demon Daton
Patok batas Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN di Desa Bukit Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim. Kisah warga di IKN Nusantara yang tersingkir dari kampung sendiri. Lantaran ia kehilangan rumah dan kebun sumber penghidupannya. Tak mampu beli lahan 

“Saya dan anak rencana pindah ke Grogot (Kabupaten Paser) menetap di sana (kampung orangtua).

Di sini kami sudah tidak mampu, tidak ada kebun lagi, beli tanah di sini pun mahal,” ungkap Hamidah.

Uang ganti rugi yang ia terima, tak mampu membeli lahan baru untuk berkebun, karena harga tanah di lokasi sekitar IKN sudah melonjak tinggi, mencapai Rp 2 – 3 juta per meter.

Sementara, nilai ganti rugi yang diterima warga, hanya berkisar Rp 115.000 sampai Rp 300.000 per meter persegi.

Untuk itu, setelah dibayarkan uang ganti rugi rumahnya, Hamidah akan pindah dari Sepaku, yang telah ia tempati puluhan tahun lamanya. Hadirnya IKN menghilangkan ruang hidupnya.

Pilih Terima Amplop saat Ganti Rugi karena Takut 

Saat itu sekitar Desember 2022, Hamidah dan beberapa warga lain yang lahannya masuk KIPP IKN dipanggil ke kantor Kecamatan Sepaku untuk pemberitahuan jumlah uang ganti rugi, setelah dinilai sama tim penilai.

Informasi itu diberikan tertutup khusus ke pemilik lahan melalui amplop saat dipanggil satu-satu masuk dalam ruang.

Giliran Hamidah masuk ruangan sudah ada sekitar empat petugas menunggu.

Hamidah disodorkan amplop, diminta membuka dan melihat total uang ganti ruginya. Namun, ia tak bisa membaca, apalagi bertanya, harga per meter.

Dia hanya terdiam, mengangguk, dan setuju, meski kebun itu satu-satunya sumber penghasilan untuk dirinya, anak, dan dua cucu selama ini. Suaminya telah lama meninggal.

Dia meminta warga lain membacakan total uang yang tertera dalam amplop itu. Atas permintaan Hamidah, total uang ganti ruginya tak disebutkan dalam berita ini karena pertimbangan tertentu.

“Waktu itu (di kantor Kecamatan Sepaku), masuk ruangan diberi amplop kita enggak tahu harganya berapa. Petugas itu suruh baca, tapi saya tidak bisa baca. Jadi suruh teman saya, namanya kita tidak sekolah, Pak,” cerita Hamidah kepada Kompas.com melalui sambungan seluler, Selasa (14/2/2023).

Hamidah tak bisa menolak, karena takut uangnya bakal dititipkan di Pengadilan, jika tak setuju. Mendengar itu, rata-rata warga takut dan menerima saja tanda setuju.

“Waktu itu teman bacakan segitu harganya, kalau enggak mau ya, sidang (dititip) di Pengadilan. Kami takut jadi terima saja, setuju saja,” ucap Hamidah.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved