Berita Nasional Terkini
Oknum di Politeknik Sumbar Jadikan Mahasiswa Buruh, Ancam Drop Out dari Kampus, 11 Orang Korban TPPO
Politeknik di Sumbar 'jual' mahasiswa ke Jepang, ancam drop out dari kampus, 11 mahasiswa jadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
TRIBUNKALTIM.CO - Oknum Direktur di Politeknik di Sumatera Barat (Sumbar) terlibat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) terhadap 11 mahasiswanya.
Modus yang digunakan kampus adalah magang di perusahaan di Jepang.
Sebanyak 11 mahasiswa sebuah politeknik di Sumbar menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus magang ke Jepang.
Para korban sempat protes namun malah diancam akan di-DO (Drop out) dari kampus.
Baca juga: Modus TPPO di Kutai Barat, Korban Dijanjikan Kerja Rumah Makan dan Asisten Rumah Tangga
Hal ini diketahui usai Dittipidum Bareskrim Polri membongkarnya melalui adanya dua laporan korban berinisial ZA dan FY ke KBRI Tokyo.
Dirtipidum Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro mengatakan, peristiwa berawal ketika ZA dan FY bersama sembilan mahasiswa lainnya dikirim oleh politeknik yang terdaftar resmi di Sumbar untuk magang ke Jepang.
Nyatanya, bukannya menjalani program magang, justru para korban menjadi buruh tanpa libur di Jepang.
Djuhandani mengatakan, tertariknya para korban lantaran tersangka berinisial G menjelaskan keunggulan dari politeknik yang akan memberangkatkan mahasiswa untuk magang ke Jepang.
Sebagai informasi, pemaparan tersebut dilakukan G saat menjabat sebagai direktur di politeknik tersebut pada periode 2013-2018.
Baca juga: Fakta Kasus TPPO di PPU, Kafe Tersangka di Nipah-Nipah Ditutup Hingga Korban Dijual Rp1,5 Juta
Lalu, pada tahun 2019, para korban pun dinyatakan lulus dan dapat mengikuti program ke Jepang selama setahun.
Namun, saat itu, jabatan G diganti oleh orang lain berinisial EH.
Kini, EH pun ditetapkan menjadi tersangka.

"Selama satu tahun magang korban melaksanakan pekerjaan bukan layaknya magang. Akan tetapi bekerja sebagai buruh," kata Djuhandani dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (27/6/2023), dikutip dari YouTube Kompas TV.
Selama di Jepang, Djuhandani mengatakan para korban justru bekerja sebagai buruh dengan rentang waktu kerja selama 14 jam sehari dari pukul 08.00-22.00 waktu setempat.
Bahkan, korban pun tidak memperoleh libur dan harus bekerja selama tujuh hari.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.