Horizzon
Jebakan Pasir di Simpang Rapak Balikpapan
Korbankan lajur paling kanan untuk jebakan pasir, jauh lebih efektif dibanding sekadar memberikan barrier. Pakar transportasi dan jalan raya mampu...
Oleh: Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun KaltimĀ
HEBOH di awal dan kemudian cepat lupa adalah karakter mendasar masyarakat Indonesia pada umumnya. Tak terkecuali, karakter itu juga melekat pada masyarakat Balikpapan, Kalimantan Timur.
Kita sedang bicara soal Simpang Rapak atau orang juga menyebut dengan turunan Rapak atau Muara Rapak. Kawasan bisnis dan juga akses keluar masuk kendaraan besar dari dermaga ini menjadi episentrum pembicaraan kita kali ini.
Betul, kita tentu sedang berbicara soal kawasan yang menjadi simpul bisnis di Kota Balikpapan, utamanya terkait tentang karakter dan topografi kawasan tersebut yang berkonsekuensi dengan seringnya memicu kecelakaan.
Sudah banyak catatan tentang peristiwa nahas yang terjadi di simpang ini dan terakhir terjadi pada medio Mei 2023. Catatan kita juga mengarah pada Januari 2022 yang membuat Rapak menjadi pembicaraan seantero negeri lantaran kecelakaan maut yang menewaskan belasan orang.
Masih lekang di ingatan kita bagaimana dua catatan tersebut, dimana setiapkali terjadi kecelakaan, sejumlah ide dan gagasan mengemuka tentang bagaimana melakukan modifikasi terhadap Simpang Rapak ini.
Satu hal yang paling mengemuka dan paling banyak dibicarakan publik Balikpapan adalah membuat flyover sehingga turunan dari arah Jalan Soekarno Hatta untuk memodifikasi turunan sepangjang nyaris tiga kilometer yang memang sering menjadi pemicu utama kasus-kasus kecelakaan nahas di titik tersebut.
Ide lain yang juga mengemuka adalah pemangkasan keberadaan tugu Muara Rapak sekaligus membersihkan kawasan pertokoan di seberang Masjid Al Munawar untuk dijadikan bufferzone.
Ide-ide tersebut selalu mengemuka setiapkali ada momentum kecelakaan di kawasan ini. Pemerintah Kota Balikpapan juga selalu memberikan perhatian yang semestinya terhadap kawasan ini. Buktinya, sejak kasus kecelakaan di kawasan ini terus berulang, Pemerintah Kota Balikpapan berhasil membuat Simpang Rapak menjadi lebih lebar dengan mengepras lahan yang sebelumnya digunakan untuk SPBG 761.01 Balikpapan. Upaya melebarkan ruas di simpang ini tentu memiliki manfaat sehingga Jalan Soekarno Hatta di ujung Simpang Rapak bisa menjadi empat lajur.
Kembali ke karakter masyarakat kita yang sering lupa. Sejak peristiwa terakhir pada Mei 2023 lalu, lajur tengah diberi barrier dan hanya dikhususkan untuk kendaraan berat yang sering mengalami rem blong setelah sepanjang tiga kilometer melakukan pengereman secara terus-menerus.
Barrier yang memisahkan lajur paling kanan dan hanya dikhususkan untuk kendaraan berat ini tentu menarik untuk didiskusikan, utamanya untuk mereka para pakar transportasi.
Sebab sesungguhnya, ketika ada keadaan emergency pada kendaraan berat, lajur khusus yang ada di lajur paling kanan ini hanya berfungsi untuk membuat lajur tersebut steril dan meminimalisir korban lebih banyak. Sementara terhadap kendaraan yang mengalami masalah, solusi belum selesai.
Belajar pada insiden terakhir, tronton warna hijau yang mengalami rem blong terpaksa menabrakkan kendaraan ke arah ruko di ujung Jalan Soekarno Hatta. Beruntung, escape ini bisa meminimalisir korban, meski sebenarnya pilihan tersebut hanya mungkin diambil oleh sopir yang berani mengambil risiko atas keselamatan dirinya.
Tidak untuk membela, namun secara naluriah pada keadaan darurat, siapapun tidak akan mengambil pilihan untuk menabrakkan kendaraan yang sedang dikemudikan ke objek yang lebih besar yang itu berisiko terhadap keselamatan pemegang kemudi. Secara naluriah, sopir yang mengendalikan kendaraan dan kebetulan sedang mengalami trouble, juga akan berusaha menyelamatkan dirinya.
Objek yang lebih kecil, seperti kendaraan yang lebih kecil akan menjadi pilihan yang wajar untuk mencoba menghentikan kendaraan yang tak bisa dikuasai sepenuhnya untuk berhenti.
Inilah kenapa sejujurnya kita mesti memberikan apresiasi pada pengemudi tronton yang mengalami insiden terakhir di Simpang Rapak, meski kita tahu yang bersangkutan sempat melarikan diri pascainsiden.
Kita kembali fokus pada barrier di lajur paling kanan yang tak sepenuhnya memberi jawaban atas kerawanan di Simpang Rapak. Ini juga sekaligus menjawab kenapa flyover tidak juga terrealisasi, yang barangkali selain biaya dan estetika jalan, maka flyover juga akan mengubah potensi bisnis di kawasan tersebut.
Pakar transportasi barangkali bisa diajak duduk bersama dan kemudian diminta untuk mendesain jebakan pasir di lajur paling kanan. Simpelnya, ketika kita sering melintas di jalan tol, untuk jarak tertentu selalu ada jebakan pasir yang disediakan untuk keadaan emergency pada kendaraan yang melintas, utamanya pada kendaraan yang mengalami rem blong.
Kenapa konsep itu tidak kita coba terapkan di Simpang Rapak? Kita korbankan lajur paling kanan untuk jebakan pasir, yang jauh lebih efektif dibanding sekadar memberikan barrier. Pakar transportasi dan jalan raya tentu mampu mendesain jebakan pasir itu dan menyesuaikan dengan situasi tata kota. Gampangnya, meski jebakan pasir, boleh dimodifikasi menjadi taman kecil atau sejenisnya yang secara visual masih enak dipandang namun tetap memberikan safety untuk kendaraan yang melintas di Simpang Rapak dari arah Jalan Soekarno Hatta. Mari diskusi, sambil kita membuka kembali catatan-catatan lama tentang insiden di Simpang Rapak! (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.