Horizzon

Teori Motif dan Delik Pers

Pers terkadang dimanfaatkan menjadi sebuah pedang untuk membunuh karakter seseorang.

|
Editor: Fransina Luhukay
Tribun Kaltim
Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim. 

Oleh: Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim 

HARI Pers yang biasa kita peringati setiap 9 Februari sudah lewat. Namun sebuah postingan di story WA seorang kawan memaksa sekaligus menggerakkan saya untuk menulis tentang tantangan pers di era kebenaran perspektif.

Semalam, story di aplikasi WhatsApp (WA) di akun seorang kawan tersebut harus saya putar berulangkali. Selain materi yang disampaikan, saya juga tengah berpikir keras tentang siapa yang sedang berbicara di dalam video yang durasinya kira-kira membutuhkan tiga slot dalam story WA tersebut.

Hingga saya menemukan poin yang harus saya kritisi dalam tulisan ini, saya belum berhasil menyimpulkan siapa sosok dalam video di story itu. Kawan tersebut memang menampilkan rekaman video yang bukan dirinya, melainkan orang lain yang patut diduga memiliki atribusi sebagai pegiat pers.

Ringkasnya, video tersebut berisi tentang sebuah pendapat yang lebih ke arah ‘fatwa’ tentang perselisihan pers antara penerbitan dengan seseorang yang menjadi materi dalam pemberitaan.

Dalam isi pemberitaan tersebut dikisahkan bahwa yang bersangkutan tidak pernah dikonfirmasi sama sekali oleh si pembuat berita. Sementara dari konten pemberitaan jelas sekali isinya sangat merugikan.

Menurut penuturan di dalam video tersebut, si pegiat pers ini menegaskan bahwa kasus tersebut harus diselesaikan di dewan pers. Dengan detail, ia menjelaskan bahwa proses pertama yang akan dilakukan adalah mediasi. Kemudian jika di dalam mediasi tidak ditemukan titik temu akan muncul rekomendasi yang diterbitkan oleh dewan pers.

Boleh jadi dalam rekomendasi yang muncul dari mediasi ini adalah perintah dari dewan pers agar media memuat hak jawab yang disampaikan oleh pihak yang dirugikan. Jika rekomendasi ini tidak dijalankan, maka sesuai dengan UU No.40/99, pasal 18 ayat (5) maka perusahaan pers atau media yang bersangkutan bisa didenda maksimal Rp500 juta.

Di ujung video, sambil menyampaikan ancaman denda setengah miliar tersebut, dengan gaya yang seolah bijak, tokoh pegiat pers ini menyarankan agar semua media tidak melakukan hal-hal yang melanggar UU Pers, termasuk memberitakan seseorang tanpa konfirmasi.

Namun dalam penegasan dan keseluruhan video, poin yang disampaikan intinya adalah semua delik atau perselisihan pers harus diselesaikan dan bermura di dewan pers. Tidak ada satupun perselisihan pers yang boleh diselesaikan melalui jalur hukum.

Meski terkesan bijak, sesungguhnya materi video dalam postingan di story WA seorang kawan ini sesungguhnya adalah bentuk ‘arogansi’ dari sebagian pegiat pers kita. Kebetulan, dengan alasan frasa lex specialist, UU No.40/99 yang lahir dengan semangat menjawab represifitas dan dominasi orde baru kala itu sesungguhnya tidak banyak memberi ruang kepada publik. UU yang penyusunan hingga pengesahannya sangat cepat tersebut tidak banyak memberi ruang kepada audiens alias publik dan semata-mata berpihak kepada insan pers.

Coba kita melakukan otokritik terhadap UU tersebut di ketentuan pidana pada pasal 18. Dari seluruh ketentuan pidana di pasal 18 dalam tiga ayat di dalamnya, tidak satupun memberikan sanksi hukuman fisik kepada media atau jurnalis. Ketentuan hukuman badan dialamatkan kepada publik yang menghalang-halangi pekerjaan wartawan.

Poin inilah yang membuat pers kita seolah-olah sangat sakti dan tak tersentuh. Dan alasan ini pula yang membuat pers tumbuh bak cendawan di musim hujan yang pada akhirnya juga pelan namun pasti membunuh pers Indonesia secara esensi.

Untuk alasan tertentu, utamanya menjawab tantangan pers kala UU ini dibentuk, barangkali keberpihakan UU No.40 tahun 1999 ini bisa diterima. Namun seiring usia yang sudah melewati dua dekade dan tantangan yang berbeda, maka ‘menggugat’ materi di UU Pers tersebut juga menjadi hal yang halal untuk dilakukan atas nama kembalinya maruah dari pers Indonesia.

Kembali ke hal yang lebih spesifik terkait postingan di story WA seorang kawan di atas. Dimana poin utamanya adalah semua kasus atau perselisihan pers harus berujung ke dewan pers. Untuk kasus-kasus normatif, dimana produk jurnalistik yang dinilai merugikan orang per orang ini terjadi lantaran kesalahan prosedur, kelalaian dalam proses jurnalistik, maka langkah mediasi di dewan pers adalah langkah yang sama-sama kita sepakati sebagai langkah paling elegan.

Namun bagaimana dengan sebagian dari kita (baca: pelaku media) yang memahami pers bukan sebagai jalan hidup, tetapi sebagai alat? Bukankah kita sering melihat, merasakan dan belakangan merasa sangat malu dengan praktik-praktik pragmatisme pers dimana pers menjadi alat untuk menbunuh karakter pihak tertentu.

Bagian dari kita sering dengan sengaja menggiring opini dengan tujuan jahat. Dengan mengaasnamakan kebebasan pers, bagian dari kita sering kemudian melakukan negoisasi dan kemudian terjadilah transaksional di ujung daripada pemanfaatan pers sebagai alat untuk melancarkan niatnya.

Sederhananya, pers seringkali dijadikan alat untuk menjalankan misi tertentu. Di sini kita bisa simpulkan bahwa pers hanya dijadikan alat belaka, sementara motif sudah ada sebelumnya. Pers terkadang dimanfaatkan menjadi sebuah pedang untuk membunuh karakter seseorang.

Di dalam posisi itu, tentu pedangnya tidak salah, persnya tidak salah. Namun orang yang menggunakan pedang ini harus bertanggung jawab atas kejahatannya menggunakan UU yang berlaku, termasuk KUHP atau undang-undang lain yang berlaku. Sedangkan perselisihan pers yang muncul karena kesalahan prosedur, tanpa ada motif sebelum produk jurnalistik dipublish, harus tetap berpegang pada UU No.40 tahun 1999. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved