Horizzon

Tarian Para Badut di Sidang MK

Demokrasi kita masih rapuh, yang secara nyata mudah dirongrong oleh oligarki yang ingin mempertahankan kekuasannya atas nama demokrasi.

Editor: Syaiful Syafar
DOK TRIBUNKALTIM.CO
Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim. 

Oleh: Ibnu Taufik Jr
Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim

SEMUA paham, demokrasi yang kita anut di negeri ini belum berjalan sebagaimana demokrasi yang ada di kepala kita.

Demokrasi kita masih rapuh, yang secara nyata mudah dirongrong oleh oligarki yang ingin mempertahankan kekuasannya atas nama demokrasi.

Belum terlalu lama, kita semua menyaksikan bagaimana kekuatan besar sukes mengubah konstitusi kita dengan mengubah prasyarat usia calon wakil presiden.

Apa pun perdebatan soal itu, kita sepakat secara formal dan konstitusional, 'pemerkosaan' terhadap aturan tersebut adalah sah.

Namun sungguh, dalam hal perspektif paling elementer, yaitu perspektif moral, maka Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sungguh mencederai rasa keadilan.

Baca juga: Risiko jika MK Kabulkan Dalil Politik Uang  

Tidak berhenti di situ saja. Untuk membuktikan bagaimana kualitas demokrasi yang kita anut, kita juga bisa melihat praktik Pemilu yang dimaknai sebagai proses pelimpahan kedaulatan yang dipegang oleh rakyat untuk diserahkan kepada wakil-wakilnya.

Dengan kalimat yang paling lugas, sesungguhnya Pemilu yang kita jalankan sejauh ini tak lebih dari praktik transaksional pembelian kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat kepada kekuasaan. 

Pemilu, apa pun itu jenisnya, mulai dari Pilpres, Pileg, dan juga Pilkada serentak yang belum tuntas prosesnya, tak lebih dari sebuah jual beli kedaulatan yang dilegalkan dalam kurun waktu lima tahunan.

Untuk tidak mengatakan–tidak ada–, agak sulit bagi kita untuk menemukan hasil pemenang dalam sebuah konstestasi pemilu yang tidak menggunakan uang sebagai faktor utama kemenangan. 

Hampir bisa dipastikan, pemenang dalam setiap kontestasi Pemilu adalah hasil dari keunggulan dalam jumlah logistik (baca: uang) berikut distribusinya. 

Baca juga: Inkonsistensi MK adalah Sikap Konsisten Merawat Demokrasi

Pada case tertentu, ada kandidat yang sebenarnya memiliki keunggulan logistik, namun ujungnya menjadi kalah lantaran ada kekuatan lain yang mematikan distribusi logistiknya.

Spesifik berbicara pada Pilkada serentak 2024 yang sebagian prosesnya masih harus melewati babak tambahan di Mahkamah Konstitusi, maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa proses politik atau proses demokrasi bagi seorang kepala daerah itu berbiaya mahal.

Mari kita berhitung bersama biaya yang harus dikeluarkan oleh calon kepala daerah dalam proses politik saat ini.

Tanpa perdebatan, kita bisa memastikan untuk memperoleh tiket dari partai politik atau gabungan partai politik tak bisa diraih oleh mereka yang berkantong cepak.

Halaman
123
Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved