Horizzon

Merdeka dan Lomba Makan Kerupuk

Lomba  makan kerupuk sukses membuat kita lupa bahwa saat kita tak lagi ditindas penjajah, namun secara ekonomi barangkali kita belum merdeka.

|
Penulis: Ibnu Taufik Jr | Editor: Fransina Luhukay
Tribun Kaltim
Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim. 

Oleh: Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim

BULAN Agustus selalu saja meriah. Setidaknya itulah yang terlihat di kampung-kampung yang selalu berhias dengan nuansa penuh merah putih.

Seperti sudah menjadi kewajiban, setiap Agustus datang semua bersolek.

Pagar dan gapura menjadi langganan dipoles cat baru. Warga juga antusias kerja bakti memasang penjor dan umbul-umbul di sepanjang jalan kampung.

Suasana serupa juga terasa di nyaris semua perkantoran, baik swasta maupun partikelir yang juga tak lupa berhias dengan nuansa kemerdekaan.

Bahkan penjual bendera di pinggir jalan atau penjaja aksesoris merah putih juga ikut memperoleh berkah kemerdekaan dengan kita semua yang ingin ada ikon merah putih di mobil yang kita kendarai.

Agustus memang selalu membius kita semua yang selalu merayakan kemerdekaan. Dan tahun ini adalah tahun ke-78 kemerdekaan yang kita raih dari darah yang mengucur dari pejuang-pejuang terdahulu.

Puncaknya, kemeriahan Agustus adalah dengan aneka perlombaan yang barangkali tak pernah digelar selain untuk merayakan kemerdekaan. Sebut saja makan kerupuk dan perlobaan lainnya yang biasa digelar dengan penuh kecerian. Yang menang maupun yang kalah sama-sama mendapatkan kegebiaan.

Khusus untuk lomba makan kerupuk, tampaknya lomba ni memang sudah identik dengan tujuhbelasan. Kita boleh menggelar banyak perlombaan, mulai lari kelereng, balap karung hingga perlombaan lain macam tenis meja, catur antar warga dan lainnya, namun yang namanya lomba makan kerupuk tak boleh ketinggalan di perayaan kemerdekaan.

Lantaran identiknya, bahkan ketika kita mengetik lomba makan kerupuk di mesin pencarian google yang muncul adalah foto-foto perayaan kemerdekaan.

Masih di pengetikan yang sama, Google juga merekomendasikan jawaban Wikipedia bahwa makna lomba makan kerupuk dimaknai sebagai ‘salah satu lomba yang diadakan saat perayaan kemerdekaan Indonesia'.

Ditambahkan Wikipedia, lomba makan kerupuk dimaknai sebagai lomba sederhana yang bisa diikuti oleh semua orang dari segala umur dan jenis kelamin. Lantaran sederhananya, lomba ini bahkan hanya memerlukan kerupuk yang digantung dengan tali.

Masih dijelaskan oleh Google yang mengambil tafsir dari Indonesiabaik.id, ketika mengetik lomba makan kerupuk bahkan dimaknai sebagai lomba yang selain untuk menghibur juga bertujuan untuk mengingatkan masyarakat Indonesia bahwa di masa perjuangan, kondisi Indonesia masih cukup memprihatinkan.

Lantaran genuinnya lomba ini, maka setiap peringatan kemerdekaan, lomba apa saja boleh digelar, mau catur antar RT, tenis meja antarwarga hingga lomba lainnya, namun lomba makan kerupuk wajib hukumnya.

Dan benar adanya. Aneka perlombaan di kampung-kampung seiring dengan peringatan kemerdekaan memang selalu memberi nuansa baru. Warga yang barangkali jarang aktif di kegiatan rutin di kampung pun akhirnya mau berbaur dan bahkan sering narsis dan seolah sok paling patriotik memperingati kemerdekaan.

Intinya, lomba-lomba memperingati hari kemerdekaan cukup untuk membius kita seolah memang sudah merdeka. Lomba-lomba tersebut mampu membuat kita sejenak lupa bahwa alam kemerdekaan yang saat ini kita nikmati barangkali sudah berbeda dengan dari cita-cita para pejuang kemerdekaan.

Lomba makan kerupuk yang digelar panitia Agustusan juga sukses membuat kita lupa bahwa saat kita tak lagi ditindas penjajah, namun secara ekonomi barangkali kita belum merdeka.

Kita lupa jika di keseharian kita, kita sangat tergantung dengan produk-produk asing yang secara kualitas maupun harga tak mampu ditandingi oleh produk dalam negeri.

Kerupuk yang disimbolkan sebagai makanan murah saat bertahan di masa penjajahan juga mampu membuat kita lupa sejenak bahwa banyak kasus-kasus krusial yang tak terungkap hingga saat ini, mulai dari Udin, KM 35 dan banyak kasus lain yang menguap begitu saja.

Kerupuk juga sedikit membuat kita mampu melupakan bagaimana kita dipertontonkan tingkah polah aparat penegak hukum kita, mulai dari Teddy Minahasa, Ferdy Sambo, hingga menguapnya Harun Masiku yang makin lama tak ubahnya seperti kerupuk kena angin, mengecil dan kusut kasusnya.

Lomba makan kerupuk juga sejenak membuat kita tak harus berdebat panjang soal kepantasan, kewajaran dan kekhawatiran dari sejumlah pakar ekonomi yang terus mengkritik utang pemerintah sebesar Rp7 ribu triliun. Saat makan kerupuk kita bisa menjadi tak peduli apakah utang itu masih wajar (versi pemerintah) atau sudah mengkhawatirkan (versi pengamat).

Dan yang pasti, saat kita sedang lomba makan kerupuk, kita boleh sedikit lupa bahwa akibat diberlakukannya UU Cipta Kerja, maka saat pensiun atau kita dipecat, maka hak pesangon dan segala yang melekat bersamaan dengan itu, jumlahnya hanya sekira separuh jika dibandingkan saat UU Cipta Kerja diberlakukan.

Kemerdekaan adalah cita-cita yang harus terus diperjuangkan. Untuk itu kita berkewajiban untuk terus mengawal kemerdekaan itu sesuai dengan cita-cita saat kemerdekaan diproklamirkan. Kemerdekaan itu harus terus diperjuangkan, bukan terlena dengan lomba makan kerupuk atau pasang bendera di depan rumah dan seolah kita menjadi yang paling patriotik. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved