Horizzon

Pemilu dan Publik yang Semakin Apatis

Politik transaksional didikan demokrasi ala kadarnya yang kita anut selama ini, membuat publik tak lagi menaruh harapan atas masa depan...

|
Penulis: Ibnu Taufik Jr | Editor: Fransina Luhukay
Tribun Kaltim
Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim. 

Ibnu Taufik Juwariyanto,
Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim

TRIBUNKALTIM.CO - Daftar Caleg Sementara (DCS) kontestan yang bakal bertarung di Pemilu 2024 sudah direlease KPU ke publik. Selain merupakan syarat formal yang harus dipenuhi KPU sebagai penyelenggara, DCS tersebut juga dimaksudkan menjadi bahan bagi publik untuk terlibat dalam tahapan Pemilu.

Melalui DCS tersebut, KPU berharap ada feedback dari publik terhadap daftar kontestan yang akan berkontestasi di Pileg 2024. Publik dengan menyertakan identitas yang jelas dapat memberikan masukan terkait profiling yang ada di dalam DCS. Masukan publik ini akan menentukan daftar kontestan yang nantinya akan masuk ke dalam list Daftar Calon Tetap alias DCT yang akan direlease KPU maksimal 25 November tahun ini sesuai dengan tahapan yang sudah ditentukan sebelumnya.

Normatifnya, release DCS kemudian DCT ini tentu memberikan manfaat sekaligus nilai tambah bagi penyelenggaraan pemilu yang lebih berkualitas. Publik berkesempatan untuk tahu lebih awal calon-calon yang akan mewakili sekaligus memperjuangkan nasib mereka sebagai pemilih.

Dari DCS, publik juga bisa memberi masukan jika di dalam list sementara calon wakil rakyat terdapat calon-calon yang cacat administratif. Sebagai contoh yang paling sederhana adalah PNS, TNI/Polri atau pegawai BUMN dan lainnya yang memang tidak bisa ikut berkontestasi. Masukan tersebut tentu akan menjadi bahan bagi KPU untuk melakukan screening ulang daftar konstestan sebelum pada akhirnya muncul di DTC, persis yang muncul di kartu suara.

Pertanyaannya sekarang, apakah langkah normatif yang dilakukan penyelenggara ini benar-benar efektif secara substansif? Artinya, apakah publik benar-benar memanfaatkannya untuk ikut berperan aktif dalam proses dan tahapan Pemilu 2024?

Sejarah panjang tentang bernegara dan berdemokrasi telah menciptakan sikap apatis bahkan skeptis. Riuh rendah respons publik dalam kontestasi 2024 dan pemilu-pemilu sebelumnya tak lebih dari mereka para kader partai dan pendukung fanatik calon tertentu.

Sementara di publik kebanyakan, atau floatingmass yang bakal menjadi penentu cenderung diam. Berulangkali diakali oleh politikus termasuk partai politik, mereka lebih memilih menunggu tanda-tanda konkret untuk menentukan pilihan mereka.

Politik transaksional didikan demokrasi ala kadarnya yang kita anut selama ini, membuat publik tak lagi menaruh harapan atas masa depan mereka terhadap pemilu dan turunannya. Sebagian dari kita bahkan merasa bahwa politik dan demokrasi bukan bagian dari kehidupan mereka.

Mereka yang sudah apatis bahkan merasa asing dengan demokrasi yang sudah kita sepakati sebagai salah satu cara kita bernegara. Hak pilih yang dimiliki pun akhirnya dijual pada caleg-caleg yang bersedia membayar suara mereka. Tidak satu, jika ada lebih dari dua atau bahkan lebih caleg yang punya ‘komitmen’ maka kepada mereka yang membayar lebihlah pilihan tersebut dijatuhkan.

Situasi ini sudah sedemikian crowded, setidaknya kita tak tahu lagi siapa yang harus dipersalahkan. Pemilih yang pragmatis atau caleg-caleg yang miskin gagasan dan nihil karya hingga menempuh langkah politik uang yang harus dituding bertanggungjawab. Akhirya tak berdasar pula jika pada akhirnya, kita menuntut atas kinerja dari wakil-wakil kita yang duduk di parlemen. Bukankah mereka sudah membayar kewenangan konstitusional yang melekat pada mereka selama lima tahun berjalan.

Kita percaya, barangkali politisi-politisi baru banyak yang jadi mengusung ideologi untuk membangun konsep bernegara. Namun kekecewaan berulang yang dialami publik membuat mereka menggeneralisasikan keadaan, sehingga stereotype keputusasaan bukan pada orang per orang, namun pada sistem secara keseluruhan.

Banyak yang benar-benar dibuat kecewa dengan regulasi yang dilahirkan oleh wakil rakyat dan pemerintah yang tidak berpihak pada publik. Setidaknya, contoh sederhana adalah kaum pekerja, kita tak punya tempat mengadu lagi ketika hak pesangon dan pensiun kita dipangkas sepertiga dari hak kita sebelumnya lantaran lahirnya peraturan yang boleh dibilang konstitusional. Sama dengan pemilu yang akan segera kita ikuti pestanya 14 Februari tahun depan, apa yang bisa kita harapkan, sementara itulah satu-satunya cara kita ikut bersuara untuk menentukan arah bangsa yang kita cintai bersama. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved