Opini
Nasib Bahasa Indonesia di "Rumahnya" Sendiri: Refleksi 95 Tahun Sumpah Pemuda
Sumpah Pemuda tahun ini semoga dapat menjadi titik balik kesadaran seluruh pihak untuk dapat menyikapi positif bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Oleh: Muhammad Reza Ardhana
- Guru SMA Istiqamah Muhammadiyah Samarinda
- Mahasiswa Pascasarjana MPBSI FKIP Universitas Mulawarman
BAHASA Indonesia telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang hingga akhirnya menempati posisi sebagai bahasa nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peringatan Sumpah Pemuda menjadi momentum awal bahasa Indonesia menuju bahasa persatuan di Indonesia.
Sebagai puncaknya bahasa Indonesia akhirnya telah menjadi bahasa resmi melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Perjalanan panjang bahasa Indonesia dapat dilihat dari silih bergantinya ejaan bahasa Indonesia sebanyak 8 kali, yaitu:
1. Ejaan Ophuijsen (1901)
2. Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi (1947-1956)
3. Ejaan Pembaharuan (1956-1961)
4. Ejaan Melindo (1961-1967)
5. Ejaan Baru/Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK) (1967-1972)
6. Ejaan yang Disempurnakan (EYD) (1972-2015)
7. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) (2015-2022)
8. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) (2022)
Sudah hampir menuju 1 abad sejak Sumpah Pemuda pertama kali diperingati pada tanggal 28 Oktober 1928. Bukan hanya mengenang persatuan para pemuda, tapi Sumpah Pemuda juga menjadi waktu untuk merefleksikan tentang nasib bahasa Indonesia.
Melalui Badan Bahasa, pemerintah berusaha untuk mampu menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional selain bahasa Inggris dan bahasa Arab. Tujuan tersebut sangatlah luar biasa dan merupakan cita-cita mulia agar eksistensi bahasa Indonesia dapat dikenal di dunia Internasional. Namun, sebelum menuju ke dunia Internasional bagaimanakah eksistensi bahasa Indonesia saat ini di "rumahnya" sendiri?
Berbagai riset telah pernah dilakukan di antaranya oleh (Nuraini Nuraini et al., 2023; Resviya, 2023; Rohman et al., 2023; Samaya, 2018; Santoso, 2023) menghasilkan suatu kesimpulan yang sama yaitu bahwa eksistensi bahasa Indonesia di "rumahnya" sendiri mulai mengkhawatirkan. Generasi muda (meskipun tidak semua) masih merasa lebih bangga saat menggunakan bahasa asing atau melakukan percampuran bahasa dengan bahasa asing saat bertutur baik dalam tulisan ataupun lisan. Masih adanya rasa lebih bangga terhadap penggunaan bahasa asing pada generasi muda maupun generasi yang lebih dewasa erat berkaitan dengan sikap bahasa.
Sikap bahasa merupakan salah satu hal yang dibahas dalam kajian sosiolinguistik. Terdapat dua sikap bahasa yaitu sikap positif dan sikap negatif. Garvin dan Mathiot pernah mengemukakan tiga ciri sikap bahasa yaitu kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran adanya norma bahasa. Ketiga ciri di atas merupakan indikator dari ciri sikap positif terhadap penggunaan bahasa. Apabila salah satu atau ketiganya sudah tidak ada lagi dari diri seseorang maka sikap negatif terhadap suatu bahasa sudah mulai hadir.
Hasil penelitian yang bahkan bisa dikatakan paling terbaru yang dilakukan oleh para ahli di atas merupakan bukti konkret bahwa sikap negatif bahasa mulai melanda diri generasi-generasi muda di Indonesia. Memang saat ini telah banyak kampanye, sosialisasi, dan diseminasi tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar di ruang publik dan UKBI adaptif terhadap pelajar untuk mengurangi jumlah sikap negatif terhadap bahasa Indonesia. Namun, sikap negatif bahasa akan selalu datang dengan cara baru.
Dengan bersamaan dilaksanakannya Kongres Bahasa Indonesia XII di tahun ini, maka sudah seharusnya bahasa Indonesia dapat berjaya di "rumahnya" sendiri. Mengutamakan bahasa Indonesia bukan berarti antipati terhadap bahasa asing. Trigatra Bangun Bahasa yang diusung oleh Badan Bahasa yaitu "Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing" sudah dapat menjawab dan mengakomodasi bagaimana seharusnya sikap kita terhadap bahasa.
Peringatan Sumpah Pemuda tahun ini semoga dapat menjadi titik balik kesadaran seluruh pihak untuk dapat menyikapi positif bahasa Indonesia yang baik dan benar. Internasionalisasi dan eksistensi bahasa Indonesia di dunia Internasional tidak akan terwujud dan hanya akan menjadi utopia jika masyarakat terutama pemudanya sendiri yang justru menenggelamkan eksistensinya. Pemuda berjaya, bahasa Indonesia mendunia.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.