Pemilu 2024

Di Unmul Samarinda Prof. Aswin Sebut Jokowi Presiden Indonesia, Bukan untuk Anak dan Keluarga

Di Unmul Samarinda Prof. Aswin Sebut Jokowi Presiden Indonesia, Bukan untuk Anak dan Keluarga

|
Penulis: Ias | Editor: Mathias Masan Ola
Tribun Kaltim
Kalangan sivitas akademika dari pelbagai kampus di Indonesia ramai-ramai mengkritik pemerintahan Presiden Jokowi, termasuk dari Unmul Samarinda. 

Kalau istana akomodatif, pasti mendengar seluruh keluhan publik," kritiknya.

 

Potensi Pelanggaran Pemilu Ada tapi Presiden Menabrak Aturan

Begitu pula dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Unmul, Saiful dari analisanya mengungkapkan bahwa potensi pelanggaran sangat kuat terjadi.

Mengapa demikian? Menurutnya, potensinya besar melihat posisi incumbent yang tidak terkendali, sudah diluar batasan normal.

Presiden Jokowi, bukan lagi peserta Pemilu, mestinya membuat kebijakan tidak parsial, berdiri di seluruh kelompok golongan.

"Para akademisi melihat dari jauh, mengingatkan. Di ujungnya ternyata kok tidak berpengaruh, kita berkumpul seperti ini, jangan direspons sepele," ujarnya.

Presiden yang jadi pejabat publik, secara substansi bukan milik perorangan atau suatu golongan saja.

 

Melihat perkembangan terbaru, sudah banyak diingatkan bahwa pejabat publik harus netral, meski salah satu pasal menyebutkan bahwa boleh berkampanye, tetapi itu bukan tunggal karena ada di sebuah aturan PP nomor 14 tahun 2009.

Ada persyaratan yang mengatur, dan ketentuan menyebut Presiden bisa berkampanye kalau peserta Pemilu atau incumbent.

Kebijakan dalam masa kampanye dan Pemilu ini, sebetulnya tidak boleh berpihak pada salah satu paslon, ini yang membuat kampus tergerak dan terpanggil untuk menyatakan sikap termasuk di Unmul.

"Kalau dilihat dari sisi norma, ada UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu di dalamnya ada pasal 547 memberikan batasan untuk pejabat negara tidak boleh membuat program, serta berpihak pada salah satu calon," tegasnya.

Sebagai informasi, Pasal 547 (dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu yang menyatakan bahwa) setiap pejabat negara yang dengan sengaja membuat keputusan, dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu dalam masa kampanye di pidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36 juta. (*)

Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Kaltim dan Google News Tribun Kaltim untuk pembaruan lebih lanjut tentang berita populer lainnya

Sumber: Tribun Kaltim
Halaman 3 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved