Jejak Islam di Bumi Etam

Jejak Islam di Bumi Etam 2 - Adu Kesaktian Berujung Syahadat

Agama Islam pertama kali masuk ke kerajaan Kutai diyakini melalui daerah yang kini disebut Desa Kutai Lama, Kecamatan Anggana, Kutai Kartanegara.

|
TRIBUNKALTIM.CO/DWI ARDIANTO
Makam Tunggang Parangan di Desa Kutai Lama, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur saat dikunjungi kru Tribun Kaltim awal Maret 2024. Tunggang Parangan disebut sebagai sosok yang pertama kali menyebarkan Islam di Kerajaan Kutai Kartanegara dan berperan besar meninggalkan Jejak Islam di Bumi Etam. TRIBUNKALTIM.CO/DWI ARDIANTO 

Mubaligh tersebut yakni Tuan Tunggang Parangan, membawa misi religius yang berbeda dengan ajaran yang sudah dianut masyarakat setempat, yaitu hindu corak lokal.

Dalam manuskrip Arab Melayu yang ditulis pada abad ke-19 oleh juru tulis Kesultanan Kutai, Tunggang Parangan diwartakan datang sebagai penyebar Islam pertama di tanah Kutai, yang mana wilayah ini merupakan kerajaan terbesar di pantai timur Kalimantan.

Menurut analisis ilmuwan, tahun kedatangan Tunggang Parangan, yakni sekitar 1575 atau tiga perempat abad ke-16 Masehi.

"Tunggang Parangan berdakwah ke Kutai Lama setelah sebelumnya meng-Islam-kan penduduk Makassar," ucap Sarip.

Baca juga: Alasan Penulis Sejarah Lokal dari Samarinda Usul Prasasti Yupa Dipindahkan ke IKN Nusantara

Dalam bukunya, Sarip menjelaskan bahwa Tunggang Parangan tidak sendiri datang ke wilayah Kutai.

Ia ditemani Datuk Ri Bandang, berlayar dari Makassar.

Sarip juga menuliskan kedua mubaligh ini merupakan asal Minangkabau.

Alkisah, Datuk Ri Bandang tidak menemani Tunggang Parangan berdakwah di Kutai karena mendengar masyarakat Makassar yang baru Islam kembali murtad (kembali kepada kepercayaannya asal).

"Datuk Ri Bandang tak sempat bertemu Raja Mahkota, ia kembali ke Makassar untuk tugas dakwah," terang Sarip.

Mengenai dakwah Islam di Kutai Lama, setidaknya ada proses yang bernuansa mitologis ketika Raja Kutai adu kesaktian dengan Tuan Tunggang Parangan.

Menurut Sarip, secara harfiah, pola cerita tersebut serupa dengan riwayat metode dakwah yang mengutamakan unsur karamah, mukjizat, atau keajaiban.

Meski demikian, cerita tekstual tersebut dapat diinterpretasikan sebagai cara dakwah yang terjadi melalui dialog secara egaliter.

Adu kesaktian tersebut juga bermakna perdebatan nalar atau dialektika yang akhirnya dimenangkan Tunggang Parangan. Sehingga, Raja Mahkota sukarela memeluk Islam.

"Raja pun diajarkan tata cara salat. Tunggang Parangan juga menggelar kajian agama, mengajarkan Rukun Islam, Rukun Iman dan bacaan doa-doa serta zikir. Segenap keluarga dan punggawa istana serta rakyat Kutai Kertanegara turut menjadi muslim," jelas Sarip.

Baca juga: Unmul Jadi Tuan Rumah Konferensi Antarabangsa Islam Borneo, Abdunnur: Dukung Kemajuan ASEAN

Sementara Ketua Adat Kutai Lama, Abdul Munir, sang penjaga situs resmi makam Tunggang Parangan, Aji Raja Mahkota Mulia Alam, dan Aji Dilanggar juga menceritakan Islam di Kerajaan Kutai Kartanegara.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved