Berita Nasional Terkini
Nusron Wahid Copot Enam Pejabat Kementerian ATR BPN, Mengapa Belum Dibawa ke Ranah Pidana?
Nusron Wahid copot 6 pejabat Kementerian ATR BPN, mengapa belum dibawa ke ranah pidana?
Penulis: Rita Noor Shobah | Editor: Briandena Silvania Sestiani
"Kenapa sangat tidak hati-hati? Karena kalau kita lihat dari aspek dokumen juridisnya, itu memang lengkap. Dari aspek prosedurnya itu memang terpenuhi," tuturnya.
"Tapi ketika kita cek kepada fakta materiilnya, itu enggak sesuai. Karena sudah tidak ada bidang tanahnya," sambung Nusron.
Nusron mengatakan, para pegawai Kementerian ATR/BPN ini disanksi administrasi negara, mengingat produknya adalah tata usaha negara.
Dengan demikian, mereka dijatuhi sanksi berupa sanksi berat hingga penghentian dari jabatan.
"Kecuali kalau di situ ada unsur-unsur mens rea. Misal dia terima suap. Terima sogokan atau apa. Itu baru masuk ranah pidana. Tapi tidak menutup kemungkinan dokumen-dokumen yang disajikan oleh pihak-pihak pemohon, itu adalah dokumen-dokumen yang tidak benar. Misal dokumen palsu, atau dokumen apa. Nah, itu mungkin bisa masuk ranah pidana di ranah pidananya adalah pemalsuan dokumen," imbuhnya.
Baca juga: 16 Desa di Tangerang Punya Pagar Laut, Nusron Wahid Ungkap hanya 2 Wilayah yang Punya Sertifikat
Tekanan politik sangat berat
Di sisi lain, Nusron mengakui bahwa tekanan politik di dalam penerbitan HGB sangat berat.
Tak perlu berhektar-hektar, tekanan berat bahkan sudah dirasakan meski hanya untuk tanah seluas setengah hektar, terutama jika HGB itu diterbitkan di kota-kota besar yang punya nilai ekonomi tinggi.
"Karena memang sangat berat sekali. Tekanan politiknya HGB itu sangat berat. Apalagi kalau daerah-daerah, kota-kota besar yang punya tingkat nilai ekonomi tinggi. Pemberian HGB jangankan setengah hektar, jangankan 1-2 hektar, setengah hektar saja, kalau itu di Jakarta, kawasan-kawasan yang tadi disebut oleh Pak Ketua, itu tekanan politiknya tinggi. Karena apa? Nilai ekonominya juga tinggi," jelas Nusron.
Nusron mengatakan, terkadang ada kepala kantor pertanahan (kakantah) yang tidak kuat menghadapi tekanan.
"Karena tadi kalau kita bicara soal kasus Tangerang, memang secara prosedur, secara legal, secara juridisnya lengkap-lengkap secara administrasi. Jadi ada juga mereka membayar PBB juga, ada PBB-nya. Saya enggak tahu juga kenapa laut ada PBB-nya," paparnya.
"Jadi ini kalau memang melibatkan banyak pihak, ya memang betul melibatkan banyak pihak. Ada, saya pikir giriknya ada, dokumen keterangan ada lengkap. Secara prosedur maupun secara juridis tidak ada yang dilalui. Kami sudah periksa satu per satu. Karena sebelum membatalkan itu kami memeriksa satu per satu. Hanya ketika kita cek fakta materialnya saja, kenanya di fakta materialnya itu," imbuh Nusron.
Desakan usut pidana
Sementara itu, sejumlah kepala desa (kades) yang diduga terlibat dalam polemik pagar laut di Tangerang, Banten, dilaporkan ke Kejaksaan Agung.
Mereka diduga ikut berkongkalikong dengan pejabat yang berwenang, untuk memuluskan perizinan lahan pagar laut. Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, beberapa oknum kepala desa yang dilaporkan terutama yang berada di Kecamatan Tronjo, Tanjungkait, dan Pulau Cangkir.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.