Berita Berau Terkini

Sekretaris Dinas Perikanan Berau: Ada 2 Kampung yang Mengelola Hutan Mangrove Sebagai Ekowisata

Sekretaris Dinas Perikanan Berau, Yunda Zuliarsih menjelaskan, pengelolaan Hutan Mangrove APL terbagi menjadi 3 kawasan

Penulis: Renata Andini Pengesti | Editor: Nur Pratama
TRIBUNKALTIM.CO/RENATA ANDINI
MANGROVE DI BERAU - Salah satu ekowisata mangrove di kampung Semanting, Kec Derawan, Berau. (27/7/2024). Mangrove di Berau pada APL seluas 31.287 hektar. (TRIBUNKALTIM.CO/ RENATA ANDINI) 

TRIBUNKALTIM.CO, TANJUNG REDEB - Hutan Mangrove di Kabupaten Berau, memiliki luasan lahan 31.287 Hektar pada wilayah Areal Penggunaan Lain (APL).

Lalu, apakah saat ini Kabupaten Berau telah menggunakan lahan secara maksimal? 

Angka itu sesuai dan diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Berau No 5 Tahun 2020 Tentang Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Areal Penggunaan Lain.

Sementara, menurut data dari Dinas Perikanan Berau, luasan Mangrove di Berau yakni sebesar 89.000 Hektar termasuk APL dan KBK.

Baca juga: Sumber Pendanaan Kampung 2025 di Berau Capai Rp 463,7 Miliar, Dukung Pembangunan Kampung

Mangrove di Berau pun, menjadi terbesar di wilayah Kalimantan Timur, di bandingkan Kabupaten/Kota lainnya. Kurang lebih 50 persen lahan itu, telah dikelola oleh masyarakat. 

Sekretaris Dinas Perikanan Berau, Yunda Zuliarsih menjelaskan, pengelolaan Hutan Mangrove APL terbagi menjadi 3 kawasan.

Kawasan Inti sebesar 15 persen dari wilayah, Budidaya 35 persen dan Pemanfaatan Budidaya 50 persen.

Sementara, pengelolaan Mangrove sendiri telah dilakukan oleh Mangrove Teluk Semanting, dan Mangrove Tembudan.

Bentuk pengelolaan, masih berupa ekowisata mangrove, Mereka telah berjalan sejak 2020 hingga saat ini.

“Ada dua kampung yang mengelola  Hutan Mangrove sebagai ekowisata,” jelasnya kepada Tribunkaltim.co, Rabu (5/2/2025).

Diakui Yunda, Dinas Perikanan memang tidak bekerja untuk memaksa masyarakat dalam pengelolaan Mangrove. Namun, pihaknya memfasilitasi, dengan memberi pengetahuan, melibatkan masyarakat dalam pengelolan mangrove.

Kendati begitu, Yunda membeberkan, terdapat kelompok masyarakat yang berada di Tanjung Batu, Tanjung Prangat yang juga telah mengusulkan kepada Dinas Perikanan untuk memfasilitasi kampung dalam penguatan pengelolaan Mangrove. Namun, hingga saat ini belum terealisasi. 

“Kalau di Berau, memang pengelolaan masih berupa ekowisata,” katanya.

Yunda melanjutkan, merawat ekosistem hutan mangrove sendiri, bukan hanya hak dari pemerintahan. Namun, melibatkan banyak lembaga serta pihak ketiga dan masyarakat itu sendiri. 

Contohnya, seperti NGO YKAN  yang telah berkontribusi mengawal keharidan ekowisata Mangrove di Kabupaten Berau.

Keberadaan Mangrove di Berau, juga diyakini menjaga rantai ekosistem. Apalagi, Mangrove menjadi salah satu tempat hidup hewan reptil buaya.

Jika keberadaan mangrove terancam, tak jarang pernah terjadi kasus buaya naik ke permukaan dan mengganggu aktifitas mesyarakat. Seperti kejadian di daerah pesisir selatan, Talisayan dan Bidukbiduk. 

Kemampuan mangrove dalam menyerap karbon menjadi penjaga ekosistem yang sangat penting. 

Dengan itu, Mangrove di Berau dapat dikatakan menjadi salah satu pilar untuk terwujudnya ekonomi biru. Walaupun, ekonomi biru yang digadang-gadang oleh Berau, saat ini masih terus berproses.

Yunda mengakui, salah satu tantangan untuk mempertahankan ekosistem mangrove di Berau, yakni adanya tambak, pariwisata tidak berkelanjutan, pemukiman dan pendirian bangunan bertujuan untuk usaha di areal Mangrove.

Meski begitu, pihaknya tidak serta merta dapat menyalahkan satu pihak saja. Seperti, di Kampung Buyung-Buyung, Tabalar, wilayah Mangrove yang ada bersentuhan dengan pemukiman warga. 

Bahkan, terdapat salah satu perusahaan sawit yang mendirikan kantor di sana. Ada lagi, bangunan sarang walet yang berdiri di wilayah areal mangrove. 

“Disatu sisi, memang ada keinginan kita untuk melindungi, konservasi Mangrove. Tetapi di sisi lain, wilayah itu sangat bersentuhan dengan masyarakat,” ungkapnya.

Sejauh ini pun, Dinas Perikanan Berau, telah mengimbau kepada pihak tambak budidaya agar tidak memperluas areal tambak, yang sekiranya akan menyasar pada areal mangrove. 

Kemudian, Badan Rehabilitasi Gambut Mangrove (BRGM) pada November 2024 lalu, mengaatakan akan melakukan rehabilitasi mangrove di Kaltim.

Salah satunya di Berau dengan luasan lahan yang akan direhab sebesar 1.318 Hektar. 

Kepala Kelompok Kerja Edukasi Sosialisasi BRGM RI, Suwignya Utama menjelaskan, pihaknya mulai melakukan sosialisasi percepatan rehabilitasi mangrove di Berau.

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 120 Tahun 2020 perihal BRGM. 

Ia saat itu mengatakan percepatan rehabilitasi mangrove akan dilaksanakan dengan pendekatan padat karya. Yakni dimana kelompok masyarakatlah yang menjadi pelaku utama. 

"Ke depan akan dibahas calon lokasi mangrove bersama kepala kampung dan OPD terkait. Kegiatannya berupa rehabilitasi mangrove, membangun Desa Mandiri Peduli Mangrove, serta membuat kelompok masyaraka," sebutnya.

Nantinya kelompok masyarakat itulah yang mendapatkan bantuan langsung untuk merehabilitasi mangrove.

"Selain rehabilitasi mangrove, ada tiga pendekatan lainnya. Termasuk menjadikan mengrove sebagai ekowisata. Kegiatan itu bagus didorong karena bisa menjaga mangrove agar tidak rusak,"  tuturnya.

Dijelaskannya, secara biofisik penanaman mangrove dibagi menjadi tiga, yakni memulihkan mangrove yang rusak, Meningkat mengrove yang rusak sedang dan mempertahankan mangrove yang sudah baik. (*)

 

 

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved