Pilkada Banjarbaru 2024
Hadapi 2 Dilema, Alasan KPU Putuskan Tak Cetak Ulang Surat Suara di Pilkada Banjar Baru 2024
KPU Kota Banjarbaru membeberkan alasan memutuskan untuk tidak mencetak ulang surat suara di Pilkada Banjarbaru 2024.
TRIBUNKALTIM.CO - KPU Kota Banjarbaru membeberkan alasan memutuskan untuk tidak mencetak ulang surat suara di Pilkada Banjarbaru 2024.
Pasangan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Nomor Urut 1 Lisa Halaby-Wartono selaku Pihak Terkait menghadirkan Heru Widodo sebagai Ahli dalam Persidangan Pemeriksaan Lanjutan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Wali Kota Banjarbaru Tahun 2024 (PHPU Walkot Banjarbaru).
Sidang Perkara Nomor 05/PHPU.WAKO-XXIII/2025 dilaksanakan Panel 3 yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih pada Jumat (7/2/2025).
Heru menjelaskan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Banjarbaru mendiskualifikasi pasangan Aditya Mufti Ariffin-Said Abdullah dari kepesertaan pemilihan wali kota (Pilwalkot) Kota Banjarbaru pada 31 Oktober 2024, sedangkan pemungutan suara dilaksanakan pada 27 November 2024.
Baca juga: Di Sidang MK, Zainal Arifin Sebut Pemenang Pilkada Banjarbaru 2024 Sudah Ditetapkan Sejak Awal
Proses diskualifikasi tersebut memang menghadirkan problematika waktu dan biaya bagi KPU Kota Banjarbaru selaku Termohon.
Problematika pertama adalah terkait pencetakan surat suara dengan menampilkan kolom bergambar pasangan calon nomor urut 1 Lisa Halaby-Wartono dan kolom kosong.
Belum lagi persoalan waktu pendistribusian surat suara dengan kolom kosong yang diyakininya memakan waktu yang tak sebentar.
"Karena dari segi biaya untuk mengubah surat suara membutuhkan pencetakan ulang dengan jumlah yang sama. Dari segi waktu mencetak ulang surat suara membutuhkan waktu yang tidak sebentar, bisa jadi melampaui hari H pemungutan suara serentak nasional," ujar Heru di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta seperti dilansir mkri.id.
Dalam jawaban KPU Kota Banjarbaru sebagai Termohon yang diunggah di laman resmi MK, pengadaan atau pencetakan surat suara untuk Pilwalkot Kota Banjarbaru memakan biaya sebesar Rp21.101.912.
Penyortiran dan pelipatan surat suara mengeluarkan biaya sebesar Rp40.180.600.
Kemudian penyetingan, pengecekan, pengepakan logistik memakan anggaran sebesar Rp 4.836.000.

Termohon dalam jawabannya tersebut juga melampirkan tabel terkait alur pencetakan suara yang menghabiskan waktu 13 hari.
Pengiriman surat suara memakan enam hari. Kemudian, surat suara diterima di gudang logistik KPU Kota Banjarbaru selama 11 hari.
Lalu, penyortiran dan pelipatan logistik memakan waktu dua hari.
Terakhir, penyetingan, pengecekan, pengepakan logistik selama dua hari.
Heru melanjutkan, KPU Kota Banjarbaru juga memiliki problematika soal waktu karena terdapat ketentuan dalam Pasal 201 Ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
Dalam pasal tersebut diatur bahwa pemilihan kepala daerah (Pilkada) dilaksanakan serentak pada November 2024.
"Dengan kondisi demikian tidak memungkinkan dicetak ulang surat suara baru dengan calon tunggal melawan kotak kosong. Dalam hal pencetakan ulang surat suara diprediksi melampaui batas hari H pemungutan suara serentak, penyelenggara atau Termohon terkendala sandaran yuridis untuk menunda atau menangguhkan pemungutan suara serentak," ujar Heru.
Penjelasan Heru juga dikuatkan Khairul Fahmi yang merupakan Ahli yang dihadirkan oleh KPU Kota Banjarbaru.
Ia menambahkan penjelasan dalam Pasal 54C UU Pilkada yang mengatur lima kondisi untuk melaksanakan pemilihan calon tunggal melawan kolom kosong.
Namun lima kondisi tersebut tak terpenuhi, karena terbatasnya waktu yang kurang dari 30 hari.
Sebab, Khairul mengacu pada Pasal 54 ayat 1 UU Pilkada, yang pada pokoknya mengatur bahwa jika terdapat calon kepala daerah atau wakil kepala daerah yang meninggal, partai politik atau gabungan partai politik dapat mengusulkan calon pengganti paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara.
Sedangkan waktu yang tersisa setelah didiskualifikasinya Aditya Mufti Ariffin-Said Abdullah hingga waktu pencoblosan kurang dari sebulan.
"Dalam norma itu juga, maka batas akhir untuk urusan penggantian pasangan calon mesti sudah selesai dalam waktu 30 hari sebelum hari pemungutan suara. Waktu 30 hari itu juga sejalan dengan tenggat akhir penetapan DPT, yaitu 30 hari sebelum hari pemungutan suara sesuai dengan Pasal 60 UU Pilkada,” ujar Khairul.
Baca juga: Siapa Pemenang Pilkada Banjarbaru 2024? Lisa-Wartono Raih 100 Persen Suara, Hasil Digugat ke MK
Pada akhirnya, KPU Kota Banjarbaru dihadapkan dua dilema, yakni memilih melaksanakan pemilihan yang menghadirkan kolom kosong atau memilih untuk mengikuti Keputusan KPU RI Nomor 1774 Tahun 2024 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota.
Keputusan KPU RI Nomor 1774 Tahun 2024 akhirnya menjadi landasan Termohon yang pada pokoknya mengatur, Pilwalkot Kota Banjarbaru diikuti satu pasangan calon.
Namun karena terbatasnya waktu dan biaya, kolom gambar pasangan calon nomor urut 2 tetap ada dan yang memilihnya ditetapkan sebagai suara tidak sah.
Tujuannya agar KPU Kota Banjarbaru tak dianggap melanggar UU Pilkada terkait keserentakan pemungutan suara pada November 2024.
"Jadi ketidakjelasan (hukum) itu yang harusnya dijawab dan untuk menjawab itu kan ada pilihan. Pilihannya adalah apakah akan melaksanakan pilkada dengan kotak kosong dengan waktu yang tersedia itu. Ada juga norma di dalam undang-undang itu yang kemudian membatasi penyelenggara itu apabila ada konteks calon yang didiskualifikasi itu dalam waktu 30 hari dia tidak lagi ditindaklanjuti, itu kan juga mengikat bagi mereka," ujar Khairul.
"Tujuannya adalah agar persiapan teknis menjelang hari pemungutan suara betul-betul dapat dilakukan secara maksimal oleh penyelenggara pemilu," sambung Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas itu.
Zainal Arifin Sebut Bukan Pemilihan Tapi Penetapan
Pakar hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar membeberkan bukti bahwa pemenang Pilkada Banjarbaru 2024 sebenarnya sudah ditetapkan sejak awal.
Zainal pun menyoroti kejanggalan dalam pemungutan suara Pilkada Banjarbaru 2024.
Menurut dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) ini, Pilkada Banjarbaru 2024 bukan lagi pemilihan, melainkan sekadar penetapan.
Hal itu ia sampaikan dalam sidang perdana sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banjarbaru di Mahkamah Konstitusi, Jumat (7/2/2025).
Baca juga: Daftar Putusan Dismissal MK untuk Pilkada 2024 Kaltim, Gugatan Isran-Hadi Kandas, 3 Perkara Lanjut
Dalam perkara bernomor 05 PHPU.WAKO-XXIII/2025 ini, pemohon, Lembaga Studi Visi Nusantara (LS Vinus) Kalimantan Selatan, menghadirkan tiga saksi ahli, salah satunya Zainal.
Ia menilai keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tetap mencantumkan dua pasangan calon dalam surat suara, meskipun salah satunya telah didiskualifikasi, bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi.
"Pemilu itu harus ada pilihan, minimal dua. Jika hanya ada satu kandidat, itu bukan pemilihan, tapi penetapan," tegas Zainal dalam persidangan, seperti dilansir BanjarmasinPost.co.id di artikel berjudul Sidang Perdana di MK: Pilkada Banjarbaru 2024 Dinilai Bukan Pemilihan, Tapi Langsung Penetapan.
Dalam Pilkada Banjarbaru 2024, pasangan calon nomor urut 2, Aditya Mufti Arifin-Said Abdullah, telah didiskualifikasi.
Namun, namanya tetap tercantum dalam surat suara.
Sementara berdasarkan Keputusan KPU Nomor 1774 Tahun 2024, menyatakan suara untuk pasangan calon yang didiskualifikasi dianggap tidak sah, meskipun tetap tercantum dalam surat suara.
Hal ini dinilai menguntungkan pasangan calon nomor urut 1, Lisa Halaby-Wartono, karena secara otomatis menjadi satu-satunya kandidat yang sah dalam pemilihan.
Kondisi tersebut yang dikritik Zainal.
Menurutnya, aturan ini berpotensi menghilangkan esensi demokrasi karena membuat hasil pemilu seolah telah ditentukan sejak awal.
Sebagai ilustrasi, Zainal menggambarkan skenario di mana 999 dari 1.000 pemilih memilih pasangan nomor urut 2, tetapi karena aturan yang berlaku, pasangan nomor urut 1 tetap dimenangkan.
"Pemilihan macam apa ini? Jika 99,99 persen rakyat tidak setuju, tapi tetap saja hasilnya ditetapkan sepihak," kritiknya.
Dengan hanya satu pasangan yang tersisa, Lisa-Wartono dipastikan sebagai pemenang sesuai pedoman KPU RI.
Berbeda dengan skema "kotak kosong," paslon tunggal ini tidak perlu mencapai lebih dari 50 persen suara sah untuk menang, sehingga persaingan menjadi tidak relevan.
Ikuti berita populer lainnya di Google News, Channel WA, dan Telegram
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.