Berita Ekbis Terkini

Rencana Rumah Subsidi Diperkecil, Kata Menteri PKP Maurarar Sirait, Ramai Sindiran Gen-Z: Subsi-Die

Rencana rumah subsidi diperkecil, penjelasan Menteri PKP Maruarar Sirait hingga ramai sindiran Gen-Z yang menyebut Subsi-Die.

Editor: Amalia Husnul A
Dok. Kementerian PKP
RUMAH SUBSIDI DIPERKECIL - Denah rumah subsidi ukuran 18/25 dan 18/30. Rencana rumah subsidi diperkecil, penjelasan Menteri PKP Maruarar Sirait hingga ramai sindiran Gen Z yang menyebut Subsi-Die. (Dok. Kementerian PKP) 

TRIBUNKALTIM.CO - Wacana Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) memperkecil ukuran rumah subsidi ramai menjadi sorotan di medsos terutama di kalangan Generasi Z alias Gen-Z.

Bagi Gen-Z yakni mereka yang lahir kurun waktu 1997-2012, mewujudkan rumah sendiri menjadi tantangan besar, di tengah harga properti yang terus melambung, program rumah subsidi menjadi polemik baru dengan rencana Menteri PKP, Maruarar Sirait untuk memperkecil ukuran rumah subsidi

Menteri PKP, Maruarar Sirait pun menjelaskan seputar rencana rumah subsidi diperkecil, sementara sindiran Gen-Z yang menyebut sebagai Subsi-Die pun kian santer. 

Wacana Kementerian PKP untuk mengurangi ukuran minimal rumah subsidi menjadi 18 meter persegi dengan luas tanah 25 meter persegi telah memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, terutama Gen Z, yang menyebutnya sebagai "Subsi-DIE". 

Baca juga: Menteri Maruarar Sirait di Balikpapan, Soroti Rumah Subsidi Dinilai Belum Berstandar Layak

Istilan Subsi-Die adalah istilah yang mencerminkan kekecewaan mereka terhadap rencana rumah subidi diperkecil sebagai hunian yang dianggap tidak layak. 

Berdasarkan draf Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025, ukuran minimal rumah subsidi dipangkas dari sebelumnya 21 meter persegi untuk bangunan dan 60 meter persegi untuk lahan menjadi 18 meter persegi dan 25 meter persegi.

Tujuannya, menurut Menteri PKP Maruarar Sirait, adalah untuk memperluas akses masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) terhadap hunian, terutama di perkotaan dengan lahan terbatas.

Kebijakan Menteri Ara ini didukung oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-X/2012, yang menghapus batas minimal 36 meter persegi agar lebih fleksibel untuk MBR.

RUMAH SUBSIDI DIPERKECIL - Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Indonesia, Maruarar Sirait atau yang akrab disapa Ara, mengunjungi Kantor Balai Pelaksana Penyediaan Perumahan Jawa II di Jalan Lengkong Besar, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (3/6/2025). Rencana Menteri PKP, Maruarar Sirait soal rumah subsidi diperkecil menjadi sorotan.  (KOMPAS.COM/PUTRA PRIMA PERDANA)
RUMAH SUBSIDI DIPERKECIL - Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Indonesia, Maruarar Sirait atau yang akrab disapa Ara, mengunjungi Kantor Balai Pelaksana Penyediaan Perumahan Jawa II di Jalan Lengkong Besar, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (3/6/2025). Rencana Menteri PKP, Maruarar Sirait soal rumah subsidi diperkecil menjadi sorotan. (KOMPAS.COM/PUTRA PRIMA PERDANA) (KOMPAS.COM/PUTRA PRIMA PERDANA)

Namun, kebijakan ini menuai kritik tajam.

Anggota Satgas Perumahan Bonny Z Minang menyebutkan bahwa rumah subsidi seharusnya tidak ditujukan untuk warga kota besar, melainkan untuk daerah pinggiran dengan harga tanah lebih terjangkau.

Sementara itu, Anggota Komisi V DPR Irine Yusiana Roba Putri menegaskan bahwa rumah subsidi harus mengutamakan kenyamanan dan kelayakan, bukan sekadar luasan.

Ia memperingatkan bahwa ukuran yang terlalu kecil berpotensi menimbulkan masalah kesehatan, sosial, dan psikologis bagi penghuni.

“Mirip Kontrakan, Bukan Rumah!”

Di media sosial seperti X, Gen Z menyuarakan kekecewaan mereka.

Seorang pengguna dengan handle @officialInibaru menulis, “Saking kecilnya, sejumlah Gen-Z menganggap desain rumah subsidi 18 meter persegi mirip dengan kamar kontrakan.

Apakah sudah cukup layak untuk disebut dengan rumah?” 

Unggapan ini mencerminkan sentimen bahwa rumah subsidi dengan ukuran minimalis tidak memenuhi ekspektasi sebagai hunian layak.

Banyak Gen Z yang membandingkan ukuran 18 meter persegi dengan kamar kos atau kontrakan, yang dirasa tidak cukup untuk kebutuhan keluarga kecil, apalagi dengan harga yang tetap di kisaran Rp 150 juta-Rp 185 juta.

Pengguna lain, @izzywb, menambahkan, “Setelah liat thread ini gua makin sadar, gua sebagai gen z bakalan susah buat bisa punya rumah sendiri dimasa depan.

Even itu rumah subsidi?

Dengan gaji yang kureng, emg paling bener kita sewa rumah gapapa asal masih layak dan punya ruangan yg luas.”

Komentar ini mencerminkan realitas ekonomi Gen Z, yang rata-rata berpenghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan, jauh dari cukup untuk membeli rumah meski bersubsidi.

Kenaikan harga rumah yang mencapai 2 persen per tahun tidak sebanding dengan pendapatan Gen Z.

Dengan harga rumah subsidi yang tijdvak berubah, Gen Z harus menabung selama puluhan tahun untuk membelinya.

Program rumah subsidi seharusnya menjadi jalan keluar, tetapi ukuran yang semakin kecil membuat banyak Gen Z meragukan nilai investasi jangka panjangnya.

Selain itu, lokasi rumah subsidi yang sering kali berada di pinggiran kota menambah beban, karena jauh dari pusat aktivitas dan transportasi umum, yang tidak ideal bagi generasi yang bekerja di perkotaan.

Oleh karena itu, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perumahan Dhony Rahajoe menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan aspek sosial dan budaya sebelum menerapkan kebijakan ini.

Ia menekankan bahwa pengecilan ukuran bukan satu-satunya cara menekan harga.

Solusi lain seperti penataan ruang yang lebih baik, pajak progresif untuk kepemilikan rumah lebih dari satu, dan pengembangan hunian vertikal di kota besar bisa menjadi alternatif.

Pengamat perumahan dari ITB Jehansyah Siregar juga memperingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi memicu urban sprawl dan gagal mengatasi backlog perumahan, karena MBR sejati justru terpinggirkan.

Sementara, Kementerian PKP sendiri menegaskan bahwa ukuran 18 meter persegi tetap memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk kebutuhan ruang per jiwa (6,4-9 meter persegi) dan cocok untuk keluarga kecil atau lajang.

Namun, mereka juga menegaskan bahwa ini hanyalah opsi tambahan, bukan pengganti rumah subsidi berukuran lebih besar.

Bagi Gen Z, rumah subsidi adalah harapan terakhir untuk memiliki hunian di tengah keterbatasan ekonomi.

Namun, kebijakan pengecilan ukuran rumah subsidi telah memicu pertanyaan: apakah keterjangkauan harus mengorbankan kelayakan?

Dengan pendapatan yang terbatas dan harga properti yang terus naik, banyak Gen Z merasa terjebak antara menyewa rumah atau membeli hunian yang terasa seperti “kontrakan bersubsidi.

”Pemerintah perlu mendengarkan suara Gen Z dan mengkaji ulang kebijakan ini dengan melibatkan aspek sosial, budaya, dan kualitas hidup, agar rumah subsidi benar-benar menjadi solusi, bukan sekadar “Subsi-DIE” yang mengecewakan.

Baca juga: Menteri PKP Maruar Sirait Siapkan Desain Baru Rumah Subsidi, Targetkan 350 Ribu Unit hingga 2025

(*)

Ikuti berita populer lainnya di saluran berikut: Channel WA, Facebook, X (Twitter), YouTube, Threads, Telegram

Artikel ini telah tayang di Kompas.com.
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved