Aplikasi

Anggota DPR Usul Larangan Punya Second Account, Sebut Satu-satunya Cara untuk Kontrol Konten Ilegal

Anggota DPR RI sampaikan usul larangan punya second account di media sosial, sebut satu-satunya cara untuk kontrol konten ilegal.

Grafis TribunKaltim.co/Canva
LARANGAN SECOND ACCOUNT - Tampilan berbagai media sosial pada ponsel yang diolah dari Canva. DPR usul larangan punya second account di medsos diatur dalam RUU Penyiaran (Grafis TribunKaltim.co/Canva) 

“Pacu Jalur yang kini viral di berbagai platform seharusnya menjadi contoh bagaimana algoritma digital bisa berpihak pada kekayaan budaya lokal. Namun sayangnya, keberpihakan seperti ini masih menjadi pengecualian, bukan kebijakan sistematis,” kata Amelia.

Karena itu, lanjut Amelia, penting agar platform digital tidak hanya menjadi etalase untuk menyebarkan konten global yang seragam, tetapi juga menjamin keberlanjutan ekonomi kreator lokal.

“Kami mendorong agar platform digital global turut menjamin keberlanjutan ekonomi kreator lokal, bukan hanya menjadi etalase konten global yang seragam dan steril dari keberagaman identitas bangsa,” jelas Amelia.

Lebih lanjut, para Komisi I DPR RI pun mempertanyakan kesiapan para platform untuk membuka sistem algoritmanya kepada lembaga regulator nasional.

“Apakah Google, YouTube, X, TikTok, dan Meta Group siap bekerja sama dengan regulator nasional untuk memastikan konten yang direkomendasikan tidak memicu polarisasi, diskriminasi, atau menghilangkan ekspresi budaya lokal?” ucap Amelia.

Dia juga secara khusus meminta agar Meta mempertimbangkan membuka sistem algoritmanya untuk diaudit oleh Kominfo atau KPI, sebagaimana tuntutan transparansi yang juga sudah diberlakukan di sejumlah negara demokratis lainnya.

“Beberapa negara seperti Kanada, Perancis, Singapura, dan Turki telah lebih dulu memberikan mandat pengawasan yang kuat terhadap platform digital, termasuk kewajiban membuka algoritma, mendaftar ke regulator nasional, hingga berkontribusi pada ekosistem media lokal. Maka sudah selayaknya Indonesia juga berdaulat dalam ruang siar digitalnya,” jelas Amelia.

Menanggapi hal itu, Head of Public Policy and Government Relations TikTok Indonesia, Hilmi Adrianto, menyatakan bahwa TikTok pada dasarnya siap diatur dan terbuka untuk berdialog dengan pemerintah.

Namun, dia meminta agar pengaturannya tidak disamakan dengan lembaga penyiaran konvensional dan dibuat terpisah.

“Tiktok memang sudah diatur secara ketat juga oleh Kominfo, namun kami masih sangat terbuka untuk berdialog atau berdiskusi apabila memang dirasa perlu ada aturan lanjutan,” ujar Hilmi.

“Kita bersedia untuk diatur, tapi memang seperti rekomendasi yang tadi disampaikan, sarana aturan tersebut sebaiknya terpisah dengan penyiaran,” lanjutnya.

Hilmi menegaskan bahwa model bisnis antara lembaga penyiaran konvensional dan platform user-generated content (UGC) seperti TikTok sangat berbeda.

Menurut Hilmi, sifat dari UGC adalah mendorong partisipasi aktif pengguna sebagai pembuat sekaligus penikmat konten.

“Model bisnis itu memang berbeda sekali, Bu, antara sifat dari traditional broadcaster atau lembaga penyiaran konvensional dengan platform UGC seperti kami,” kata dia.

“Di mana pengguna yang menjadi content creator-nya juga, tapi juga menjadi penontonnya. Ini berbeda dengan lembaga penyiaran konvensional yang memproduksi dan mengedit tayangan yang kemudian dikurasi lebih lanjut,” jelas Hilmi.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved