Kebun enggak ada, rumah enggak ada, mau beli tanah di sini mahal," keluh Hamidah.
Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) menilai, rumah Hamidah yang berdiri di atas lahan 155 meter persegi tepat pinggir jalan poros menuju titik nol IKN itu dihargai senilai Rp 56 juta termasuk tanaman di atasnya.
Bersama anak dan dua cucunya, Hamidah berencana menetap di Tanah Grogot, ibu kota Kabupaten Paser berbatasan dengan PPU.
Di sana, kata Hamidah, ada lahan orangtua yang bakal ia garap dan memulai hidup baru.
Warga Khawatir Bernasib Sama
Thomy Thomas khawatir bakal mengalami nasib sama seperti tetangganya, Hamidah.
Rumah mereka hanya berjarak 200 meter. Thomy meminta pemerintah memberi harga ganti rugi yang pantas agar warga yang kehilangan lahan, bisa membeli lahan baru yang harganya sudah melonjak tinggi.
"Lambat laun kami semua ini bakal tergusur," keluh Thomy. Bapak satu anak ini menyebut, kini warga mulai sadar komitmen pemerintah tidak menggusur warga sekitar di awal pemindahan IKN, hanya omong kosong belaka.
Ronggo Warsito bersama istrinya juga demikian. Rumah pasangan suami istri ini masuk KIPP, hanya berjarak kurang lebih 500 meter dari titik nol IKN.
"Kami merintis awal di sini sengsara. Sepi enggak ada tetangga, enggak tidak ada listrik, enggak ada air bersih, diserang nyamuk malaria. Giliran ramai, kami mau menikmati IKN malah digusur entah kemana, bingung," keluh Ronggo.
Baca juga: Rencana Pembangunan Bandara VIP di IKN Nusantara Disorot, Mulai dari Fungsi hingga Anggaran
Warga protes
Luas KIPP IKN sudah ditetapkan 6.671,55 hektar.
Dari luasan itu, sebanyak 12 persen atau 817,89 hektar terdapat penguasaan masyarakat sehingga perlu diganti rugi.
Ada ratusan warga dari tiga desa terdampak baik lahan perkebunan sawit, karet atau buah-buahan hingga bangunan dan rumah tinggal.
Ketiga desa ini yakni Desa Bumi Harapan seluas 345,81 hektar, Desa Bukit Raya 0,01 hektar dan sisanya masuk Kelurahan Pemaluan.