Penyerahan hasil ganti rugi tahap pertama sudah dilakukan ke sebagian warga di Desa Bukit Raya dan Desa Bumi Harapan sejak Desember 2022 lalu, termasuk Hamidah salah satunya.
Selanjutnya, untuk tahap kedua sebanyak 45 warga pemilik kebun dan bangunan dan tahap tiga sebanyak 62 warga yang bakal dibebaskan.
Namun, setelah kloter pertama, saat warga sudah mengetahui harga per meter. Tiba-tiba muncul penolakan karena menurut warga nilai ganti terlalu rendah.
Warga juga kecewa karena sebelumnya sudah menaruh harapan dengan janji manis petugas kecamatan setempat.
“Katanya, warga bakal tersenyum setelah lihat hasil (nilai ganti rugi). Mendadak jadi sultan semua. Tapi faktanya justru sebaliknya," ucap Ronggo.
Ronggo menyebut, harga ganti rugi lahan warga hanya berkisar Rp 115.000 sampai Rp 300.000 per meter.
Sementara, lonjakan harga tanah di sekitar IKN sudah mencapai Rp 2 - Rp 3 juta per meter.
Penolakan warga itu membuat penyerahan hasil penilaian tim penilai sempat tersendat pada tahap dua.
Baca juga: Kebutuhan Anggaran untuk IKN Nusantara Diperkirakan Masih Bisa Bertambah Lagi, Penjelasan Kemenkeu
Merasa terintimidasi
Selain protes harga rendah, warga juga menuding proses pembebasan lahan sangat tertutup. Bahkan, harga satuan per meter serta tanam tumbuh, tidak diumumkan secara terbuka.
Saat penyerahan hasil ganti rugi, warga mengaku dikumpulkan di sebuah ruang terbuka di kantor Kecamatan Sepaku.
Lalu, satu per satu dipanggil masuk ruangan tertutup. Di dalam situ sudah ada petugas (tim pengadaan tanah).
"Baru warga diberi amplop suruh buka lihat hasilnya (terterah nominal uang ganti rugi). Bagi yang setuju tanda tangan, kalau tidak setuju dititip di Pengadilan,” ungkap Ronggo.
Di amplop itu, tidak dirincikan harga satuan lahan per meter dan nilai tanam tumbuh. Hanya, tertera nilai uang secara keseluruhan.
Ronggo menyebut, sebagian warga mengaku menerima saja karena tertekan dengan kata petugas, “jika menolak uang dititipkan di Pengadilan”. Salah satunya Hamidah.