Cara perhitungan ini, imbuh Dian, sama sekali berbeda dengan quick count dan exit poll.
Metodologi Dian menegaskan, baik quick count maupun exit poll memiliki akar ilmu yang sama, yaitu statistika.
Di luar perbedaan dalam definisi dan basis responden, teknik penarikan sampel (sampling) kedua cara itu ya ibarat satu guru, satu ilmu.
Misal, ujar Dian, untuk konteks Pemilu 2019, ada sekitar 810.000 TPS dan 80 daerah pemilihan (dapil).
Maka, sampel yang ditarik harus dihitung sehingga diyakini mewakili jumlah dan sebaran jumlah TPS dan dapil tersebut.
Urutan operasionalisasinya, sebut Dian, dimulai dari sampling, baru mengumpulkan data berdasarkan basis responden sesuai cara hitung cepat yang dipakai.
“(Sampling), katakanlah kedua cara menggunakan sampel 6.000 TPS, harus diyakini dan dipastikan oleh peneliti jumlah TPS itu adalah representasi dari 80 dapil,” tegas Dian.
Barulah setelah itu muncul sejumlah perbedaan dalam praktik di lapangan.
quick count mendata angka yang didapat dari C1 dari TPS yang menjadi sampel, sementara exit poll mendata pendapat dari satu responden lelaki dan satu responden perempuan dari TPS sampel.
Faktor berikutnya yang mempengaruhi hasil hitung cepat memakai quick count dan exit poll adalah tingkat kepercayaan (level of confidence) dan rentang angka penyimpangan (margin of error).
Baca juga: Jelang Pencoblosan Pilpres 2024, Koalisi Masyarakat Sipil Temukan 121 Kasus Penyalahgunaan Kekuasaan
“Angka-angka itu tergantung masing-masing lembaga penyelanggara hitung cepat,” kata Dian.
Tingkat kepercayaan yang lazim untuk quick count dan exit poll, sebut Dian, adalah 95 persen dan 99 persen.
Ini pula pembeda hitung cepat dengan beragam survei lain yang pilihan level of confidencenya bisa 90 persen, 95 persen, atau 99 persen.
Dalam konteks Pemilu 2019, Dian menghitung bila sampel yang dipakai 6.000 TPS dan level of confidence 95 persen maka margin of error-nya di kisaran 1,27 persen.
“Itu ada hitungan matematikanya,” ujar Dian.