Berita Nasional Terkini

Tepatkah Menkeu Purbaya Gelontorkan Rp200 Triliun ke Himbara, Ini Analisis Pengamat Ekonomi

Tepatkah langkah Menteri Keuangan Purbaya guyur Rp200 triliun ke Himbara, Pengamat: Bukan soal strategi tapi risiko.

Capture KompasTV
MENKEU PURBAYA - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat rapat perdana dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (10/9/2025). Tepatkah langkah Menteri Keuangan Purbaya guyur Rp200 triliun ke Himbara, Pengamat: Bukan soal strategi tapi risiko.(Capture KompasTV) 

TRIBUNKALTIM.CO - Gebrakan awal Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa langsung menuai sorotan.

Purbaya mengambil langkah signifikan dengan menarik dana kas negara sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia (BI) pada Jumat (12/9/2025). 

Dana jumbo ini akan disalurkan ke sejumlah bank BUMN atau Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lewat penyaluran kredit.

Bank-bank Himbara antara lain BRI, Mandiri, BTN, dan BNI.

Baca juga: Jokowi Ungkap Beda Mazhab Ekonomi Purbaya dan Sri Mulyani, Puji Gebrakan Menkeu Baru

Keputusan ini memicu perdebatan di media sosial, di mana warganet membandingkan langkah Menkeu Purbaya dengan kebijakan Menkeu sebelumnya, Sri Mulyani Indrawati, yang tidak pernah mengambil langkah serupa.

"Menkeu: cewe punya duit disimpen, cowo pegang duit diputerin," tulis salah satu warganet di platform Threads, Jumat (12/9/2025), yang menggambarkan perbedaan pandangan mereka terhadap strategi kedua pejabat tersebut.

Lantas, bagaimana para ahli ekonomi melihat kebijakan ini?

Direktur Eksekutif Center of Economic Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menjelaskan bahwa perbedaan ini bukan sekadar masalah strategi, melainkan pemahaman terhadap risiko.

Ia mengingatkan bahwa saat pandemi, Sri Mulyani pernah menolak skema burden sharing (berbagi beban) karena khawatir akan memicu inflasi.

Skema burden sharing atau "pembagian beban" adalah kebijakan di mana pemerintah dan bank sentral (dalam hal ini, Bank Indonesia/BI) bekerja sama untuk menanggung biaya pembiayaan negara. 

Risiko ini muncul karena peredaran uang M2 (uang kartal, giral, uang kuasi, dan surat berharga) akan meningkat, yang dapat mengikis independensi BI dan menurunkan kepercayaan investor.

Uang M2 adalah kependekan dari Monetary Aggregates 2. Istilah ini digunakan dalam ilmu ekonomi dan keuangan untuk mengukur jumlah uang beredar dalam suatu perekonomian.

"Bukan masalah strategi berbeda, tetapi pemahaman risiko," kata Bhima kepada Kompas.com, Sabtu (13/9/2025).

Bhima menambahkan, langkah Purbaya saat ini lebih fokus pada sisi moneter, yaitu dengan menambah pasokan uang melalui Himbara, sementara stimulus dari sisi pajak belum disentuh.

Namun, menurutnya, ada dampak risiko yang perlu diwaspadai: pasokan uang bertambah, tetapi belum tentu diikuti oleh kenaikan permintaan kredit.

"Daya beli sedang turun, pengusaha mau pinjam uang ke bank buat apa?" ujarnya.

Jika pemerintah terlalu menekan bank untuk menyalurkan kredit, hal ini bisa mendorong bank Himbara mengambil risiko tinggi.

Baca juga: Harapan Kepala Daerah di Kaltim pada Menkeu Purbaya yang Gantikan Sri Mulyani, tak Pangkas DBH

Indikator Non-Performing Loan (NPL) atau rasio kredit macet berpotensi meningkat, yang bisa merugikan kesehatan perbankan.

"Pendekatan Pak Purbaya harus diakui tidak biasa, tetapi belum teruji," pungkas Bhima.

Solusi Jangka Panjang: Kebutuhan Perbaikan Iklim Ekonomi

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyatakan bahwa gagasan untuk "mengguyur likuiditas" atau menambah pasokan uang sebenarnya sudah pernah dibahas dalam tim ekonomi pemerintah sejak era Jokowi-Jusuf Kalla. 

Namun, langkah itu tidak diambil karena ada pilihan kebijakan lain yang dianggap lebih tepat.

"Saat ini sebenarnya perbankan kita over liquid, akibat dunia usaha tidak melakukan ekspansi, karena kondisi ekonomi yang tidak kondusif," jelas Wijayanto.

Menurutnya, tanpa perbaikan mendasar pada kondisi ekonomi dan iklim investasi, penyaluran kredit tidak akan meningkat secara signifikan.

Ia khawatir, dana yang ditarik dari BI justru hanya digunakan oleh bank untuk refinancing kredit yang sudah ada.

Refinancing kredit adalah proses mengganti perjanjian kredit yang sudah ada dengan perjanjian kredit yang baru. 

Sisa dana dari refinancing ini, katanya, bisa jadi akan dibelikan kembali dalam bentuk SBN (Surat Berharga Negara) atau SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia), bukan disalurkan sebagai kredit baru.

Wijayanto menegaskan bahwa kebijakan yang mendorong permintaan (misalnya, dengan meningkatkan daya beli masyarakat) jauh lebih penting daripada sekadar mendorong penawaran kredit.

"Yang perlu dihindari adalah, jika pemerintah main paksa agar empat bank Himbara dan dua bank Syariah untuk melepas kredit, ini akan menimbulkan masalah," tegas Wijayanto.

Ia berpendapat bahwa jika suatu kebijakan memang baik, maka bank-bank swasta juga akan ikut berebut untuk melaksanakannya tanpa paksaan.

"Jika jalan harus di-push, artinya ini adalah kebijakan yang tidak sesuai dengan kondisi nyata di lapangan," pungkasnya. 

Baca juga: Menkeu Baru Purbaya Yudhi Sadewa 3 Kali Klarifikasi dalam Tiga Hari Usai Dilantik

Catatan: 

Uang M2 adalah kependekan dari Monetary Aggregates 2. Istilah ini digunakan dalam ilmu ekonomi dan keuangan untuk mengukur jumlah uang beredar dalam suatu perekonomian.

Secara spesifik, M2 mencakup uang tunai dan simpanan yang sangat likuid, yang bisa dengan mudah diakses dan digunakan untuk transaksi.

Secara matematis, Uang M2 dapat dirumuskan sebagai berikut:

M2 = Uang Kartal + Uang Giral + Uang Kuasi + Surat Berharga

Uang M2 adalah salah satu indikator atau ukuran jumlah uang yang beredar dalam suatu perekonomian. Secara sederhana, M2 mencakup uang yang paling mudah diakses hingga yang kurang likuid, yang semuanya bisa digunakan sebagai alat pembayaran.

Berikut adalah komponen-komponen yang membentuk Uang M2:

Uang Kartal: Ini adalah uang tunai yang sehari-hari kita gunakan, seperti uang kertas dan uang logam.

Uang Giral: Ini adalah saldo dana di rekening giro atau simpanan yang sewaktu-waktu bisa ditarik atau digunakan untuk transaksi, seperti melalui cek atau bilyet giro.

Uang Kuasi: Ini adalah aset-aset keuangan yang tidak bisa langsung digunakan sebagai alat pembayaran, tetapi sangat mudah diubah menjadi uang tunai. Contohnya termasuk tabungan (selain giro), deposito berjangka, dan valuta asing.

Surat Berharga: Beberapa surat berharga yang diterbitkan oleh sistem moneter juga termasuk dalam M2 karena sifatnya yang sangat likuid dan bisa diperjualbelikan dengan cepat. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved