Berita Samarinda Terkini

Pasca Putusan MK, Dosen Hukum Unmul Sebut Referendum Lebih Bagus untuk Tentukan Nasib Kampung Sidrap

Dosen Hukum Unmul, Herdiansyah Hamzah soroti minimnya keterlibatan warga dalam permasalahan tapal batas wilayah Kampung Sidrap.

TribunKaltim.co/Raynaldi Paskalis
KAMPUNG SIDRAP - Dosen Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah. Ia menyoroti minimnya keterlibatan warga dalam permasalahan tapal batas wilayah Kampung Sidrap di Kabupaten Kutai Timur dan mengusulkan adanya referendum untuk mengetahui preferensi mayoritas warga mengenai afiliasi administratif wilayah mereka. (TribunKaltim.co/Raynaldi Paskalis) 

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Pemerintah Kota (Pemkot) Bontang harus menelan pil pahit usai pembacaa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas wilayah Kampung Sidrap yang secara hukum tetap berada di wilayah administratif Kabupaten Kutai Timur (Kutim).

Menanggapi putusan yang dibacakan pada Rabu (17/9/2025) dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah memilih untuk menyoroti aspek penting yang terabaikan dalam sengketa ini.

Menurut pria yang akrab disapa Castro ini, warga justru menjadi pihak yang tidak diperhitungkan dan diabaikan kepentingannya dalan permasalahan tapal batas.

Padahal, penting untuk melibatkan warga sebagai pihak utama yang terdampak dalam penyelesaian konflik ini. 

"Problem tapal batas itu 'kan sebenarnya problem di mana warga itu menjadi pihak yang dinafikan gitu, ya," ucapnay, Kamis (18/9/2025).

Baca juga: Pemkot Bontang Enggan Menyerah, Sidrap Tetap Diperjuangkan Tidak Masuk Kutai Timur

Sejak awal, ia mengusulkan agar permasalahan tapal batas diserahkan kepada warga untuk menentukan pilihan mereka sendiri.

Akademisi hukum tersebut berpandangan, perspektif warga seharusnya menjadi pegangan utama pemerintah dalam penyelesaian sengketa. 

"Kalau misalnya dibuat referendum ke warga, mana yang mayoritas pilihannya di warga? Apakah mengikuti Bontang atau mengikuti Kutim? Harusnya itu yang didengar," sambungnya.

Menurut analisisnya, konflik yang selama ini terjadi lebih mengarah kepada perseteruan antara Pemkot Bontang dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutim. bukannya berasal dari warga itu sendiri.

Karena itu, tekannya, perlu adanya ruang yang diberikan kepada warga untuk menentukan nasib mereka sendiri sebagai pendekatan yang lebih demokratis.

Konsep yang diusulkan Castro dalam konteks hukum internasional dikenal sebagai prinsip self-determination atau penentuan nasib sendiri. 

Namun dalam kasus ini, referendum tidak dimaksudkan untuk kemerdekaan, melainkan untuk mengetahui preferensi mayoritas warga mengenai afiliasi administratif wilayah mereka.

"Mestinya pendapat warga yang didengar, bukan Wali Kota Bontang atau Bupati Kutim," tegasnya, 

Baca juga: Uji Materiil Ditolak MK, Alasan Pemkot Bontang Tetap Perjuangkan Kampung Sidrap Masuk Wilayahnya

Dirinya meyakini, jika referendum dilakukan maka warga akan memilih berdasarkan pertimbangan praktis. Terutama soal kemudahan akses terhadap layanan administrasi pemerintahan. 

Faktor geografis dan aksesibilitas lantas akan menjadi pertimbangan utama masyarakat dalam menentukan pilihan.

Castro yakin bahwa warga cenderung memilih tempat yang memberikan kemudahan terbesar dalam mengurus berbagai keperluan administratif mereka. 

"Coba buat referendum, itu lebih bagus," pungkasnya.(*)

 

Ikuti berita populer lainnya di saluran berikut: Channel WAFacebookX (Twitter)YouTubeThreadsTelegram

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved