Pemangkasan Dana Transfer Daerah

Akademisi Unmul Kritik Pemangkasan TKD, Program MBG Dianggap Timbulkan Ketimpangan Daerah

Pemangkasan Dana Transfer ke Daerah sebesar 75 persen dinilai sebagai tanda kembalinya sistem pemerintahan sentralistik

HO/Saipul Bachtiar
KRITIK TKD KALTIM - Saipul Bachtiar, Dosen FISIP UNMUL sekaligus Pengamat Kebijakan Publik. Pemangkasan Dana Transfer ke Daerah sebesar 75 persen dinilai sebagai tanda kembalinya sistem pemerintahan sentralistik. (HO/Saipul Bachtiar) 

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Kebijakan pemerintah pusat yang akan memangkas Dana Transfer ke Daerah (TKD) hingga 75 persen pada tahun 2026 memunculkan kekhawatiran serius di berbagai kalangan. 

Langkah ini dinilai bukan sekadar bentuk pengetatan fiskal, melainkan juga sinyal kuat kembalinya sistem pemerintahan yang sentralistik, di mana kepentingan pusat lebih diutamakan dibanding pembangunan daerah.

Pernyataan itu disampaikan oleh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Mulawarman (UNMUL), Saipul Bachtiar, Ia menilai arah kebijakan fiskal tersebut bertolak belakang dengan semangat otonomi daerah yang selama ini diperjuangkan. 

Saipul juga menegaskan bahwa pola yang kini diterapkan pemerintah pusat memiliki kemiripan dengan praktik pemerintahan di masa Orde Baru.

"Ini sekarang sudah semakin jelas ya, semakin terbuka ya semakin terbuka, bahwa sistem pemerintahan kita sekarang kembali lagi ke sistem Sentralistik. Tidak lagi disentralisasi," tegasnya. 

Baca juga: Pemprov Kaltim Tetap Jalankan Gratispol dan Jospol Meski Dana TKD 2026 Turun

Menurutnya, kebijakan fiskal nasional kini cenderung mengabaikan karakteristik dan kebutuhan masing-masing daerah, terutama wilayah penghasil sumber daya alam (SDA) seperti Kalimantan Timur.

Saipul menyoroti sistem Dana Bagi Hasil (DBH) yang dinilai tidak proporsional sejak awal.

"Anggaplah kalau kalau gas misalnya 30 persen untuk daerah, kemudian minyak 15 persen, Itu kan sudah timpang ya," katanya.

Dengan pemotongan TKD yang drastis, ketimpangan fiskal semakin terasa. "Nah, itu kemudian sudah tadi timpang tidak lagi dikembalikan ke daerah gitu sesuai dengan hak daerah," lanjutnya.

Saipul Bachtiar, melihat adanya ketidakadilan dalam pengelolaan hasil SDA, di mana pusat mengambil porsi terbesar, lalu memotong kembali sebagian kecil yang seharusnya dikembalikan ke daerah.

Baca juga: Dana TKD Kutim 2026 Dipangkas 70 Persen, Proyek Multi Years Contract Potensi Dikurangi

Lanjutnya, Adanya Pemotongan anggaran tersebut sebagai upaya untuk mendanai program presiden, salah satunya Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi hal prioritas.

Pengamat Kebijakan Publik itu juga menyoroti perbedaan prioritas antara program yang bersifat jangka pendek (habis pakai) dan investasi jangka panjang yang diperlukan oleh daerah ketimbang dengan dengan program MBG.

"Kalau dialihkan gitu ya. Itu kan berarti kan mengutamakan, mengakomodir program presiden dulu. Ketimbang program-program di daerah," katanya. 

Saipul juga mengatakan bahwa jika anggaran yang ada digunakan untuk membangun sekolah makan hal tersebut bisa menjadi hasil yang berkelanjutan.

"Itu sesuatu yang yang keliru. Jadi artinya ini ada program yang disampaikan bahwa MBG itu adalah program yang habis pakai. Sementara misalnya kalau kita digunakan untuk membangun sekolah ya, menyediakan sarana pendidikan yang lebih canggih, yang lebih lengkap gitu, fasilitasnya itu justru itu berkesinambungan," jelasnya. 

Baca juga: Purbaya Pangkas TKD 2026 karena Fiskal Terbatas, Janji Kembalikan ke Daerah Jika Ekonomi Pulih

Sumber: Tribun Kaltim
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved