Bangunan Tua Polsek Samarinda Kota

Jejak Kolonial di Polsek Samarinda Kota, Cagar Budaya Jadi Jalan Kabur 15 Tahanan

Sejarah panjang Polsek Samarinda Kota yang dulunya merupakan bangunan bekas kolonial Belanda.

Tribun Kaltim
JEJAK KOLONIAL - Sejarah panjang bangunan yang kini menjadi Polsek Samarinda Kota, tempat di mana 15 tahanan kabur dari sel penjara. (TRIBUN KALTIM) 
Ringkasan Berita:
  • 15 tahanan kabur dari Polsek Samarinda Kota usai menjebol tembok sel peninggalan kolonial menggunakan besi jemuran dan paku. 
  • Bangunan tua berstatus cagar budaya itu dinilai tak lagi memenuhi standar keamanan.
  • Polisi akui dilema: gedung tak bisa direnovasi tanpa izin karena status cagar budaya, sementara rawan kebobolan.
  • Sejarawan kritik penetapan cagar budaya yang dinilai tak berdasar nilai historis kuat.

TRIBUNKALTIM.CO - Suara besi beradu memecah keheningan Jumat 17 Oktober 2025 di Polsek Samarinda Kota.

Dari balik dinding kusam dan lembab sel tahanan Polsek Samarinda Kota, tiga penghuni sel diam-diam mencongkel tembok menggunakan besi jemuran dan paku gantungan baju.

Setelah berupaya selama 3 hari lubang sebesar kepala manusia terbuka di tembok tua peninggalan kolonial itu.

Minggu (19/10/2025) sore satu per satu, mereka menyelinap keluar.

Baca juga: Polsek Samarinda Kota Akan Direlokasi, DPRD Dukung Keputusan Walikota Demi Status Cagar Budaya

Ketika malam datang, 15 tahanan sudah lenyap.

Peristiwa kaburnya 15 tahanan dari sel Polsek Samarinda Kota pada pertengahan Oktober lalu lalu kembali membuka persoalan klasik yang belum terselesaikan: kondisi bangunan Polsek yang sudah tua dan tidak memenuhi standar keamanan.

Bangunan yang kini berstatus cagar budaya sejak 2021 itu diketahui merupakan peninggalan era kolonial Belanda, sehingga tidak bisa direnovasi atau diubah bentuknya.

Akibatnya, pihak kepolisian menghadapi dilema antara menjaga warisan sejarah dan memastikan keamanan tahanan.

Pelarian 15 tahanan tersebut diinisiasi tiga orang yang disebut sebagai otak utama.

Mereka membobol dinding sel menggunakan alat seadanya seperti besi jemuran dan paku gantungan baju.

Peristiwa serupa ternyata bukan yang pertama.

Pada 26 November 2018, sembilan tahanan juga pernah kabur dari Polsek Samarinda Kota setelah menyekap petugas yang sedang melakukan pengecekan rutin.

Kala itu, para tahanan menjerat leher petugas menggunakan sarung.

Kejadian berulang ini menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem penjagaan serta kondisi fisik bangunan Polsek Samarinda Kota.

ZAMAN KOLONIALISME - Bangunan Polsek Samarinda Kota yang terletak di Jalan Bhayangkara ini punya jejak sejarah zaman kolonialisme, Rabu (5/11/2025).Berdasarkan peta era kolonial, Kantor Polsek Samarinda Kota itu tempo dulu bernama “Politie Kazerne” yang berarti barak atau markas polisi. (Tribunkaltim.co/ Nevrianto HP)
ZAMAN KOLONIALISME - Bangunan Polsek Samarinda Kota yang terletak di Jalan Bhayangkara ini punya jejak sejarah zaman kolonialisme, Rabu (5/11/2025).Berdasarkan peta era kolonial, Kantor Polsek Samarinda Kota itu tempo dulu bernama “Politie Kazerne” yang berarti barak atau markas polisi. (Tribunkaltim.co/ Nevrianto HP) (TRIBUNKALTIM.CO/NEVRIANTO HARDI PRASETYO)

Kapolda Kalimantan Timur Irjen Pol Endar Priantoro mengakui, faktor utama penyebab insiden kaburnya tahanan adalah kondisi fisik bangunan yang sudah tidak memadai.

“Dari sini saya bisa melihat bahwa ada banyak faktor memang yang harus kita evaluasi terkait dengan larinya tahanan ini. Faktor satu fisik bangunan yang kedua sistem penjagaan yang ketiga, bagaimana orang yang melakukan penjagaannya dan bagaimana kapasitas dari tahanan ini," ungkapnya

"Seperti diketahui bersama ini adalah merupakan cagar budaya. Ini juga salah satu faktor," lanjutnya.

Menurutnya, status cagar budaya menjadi kendala utama karena setiap perbaikan struktur harus mendapat izin dan tidak boleh mengubah bentuk asli bangunan.

Markas Polisi Belanda

Bangunan Polsek Samarinda Kota dulunya merupakan kantor Polresta Samarinda sebelum berpindah ke Jalan Slamet Riyadi pada 2013.

Berdasarkan catatan sejarah, bangunan ini dulu dikenal dengan nama Politie Kazerne, yang berarti markas polisi kolonial Belanda di kawasan Vierkante Paal Samarinda.

Sejarawan publik Kalimantan Timur, Muhammad Sarip, menjelaskan bahwa posisi Politie Kazerne pada masa kolonial tidak terlalu strategis dibandingkan kantor pemerintahan lainnya.

Ia juga mengkritisi penetapan bangunan ini sebagai cagar budaya.

“Tidak semua bangunan lawas otomatis bersejarah. Kalau tidak memiliki nilai sejarah atau peristiwa penting, maka itu hanya bangunan biasa,” jelas Sarip.

Sarip menilai, proses penetapan cagar budaya di tingkat daerah sering kali terlalu mudah karena hanya memerlukan persetujuan kepala daerah tanpa kajian historiografi yang mendalam.

Sebagai pembanding, ia mencontohkan Penjara Sanga Sanga yang layak disebut cagar budaya karena pernah digunakan untuk menahan para pejuang kemerdekaan.

“Bangunan fungsional seperti Polsek seharusnya tidak ditetapkan sebagai cagar budaya jika masih aktif digunakan dan tidak memiliki nilai historis yang jelas,” tegasnya.

Sebuah penjara warisan kolonial yang tidak memiliki nilai sejarah perjuangan kemerdekaan, dan juga tidak terjadi peristiwa penting dan unik yang bisa dijadikan teladan, tidak selayaknya ditetapkan sebagai cagar budaya.

Baca juga: Polsek Samarinda Kota Dijebol Berulang Kali, Perbaikan Sel Tahanan Terkendala Status Cagar Budaya

Penetapan sebagai Cagar Budaya berkonsekuensi bangunan tersebut tidak bisa diubah strukturnya dan konstruksinya, padahal bangunan tersebut harus dilakukan peremajaan atau pembaruan atau renovasi secara berkala supaya mencegah kebobolan.

Sebuah eks penjara kolonial itu akan bernilai historis yang spesial atau unik jika ada tokoh pejuang yang perjuangannya siginikan, yang pernah ditahan di bangunan tersebut.

Contohnya beberapa sel tahanan yang pernah dihuni Sukarno, Hatta, para pejuang Palagan Sanga-sanga dan lain–lain.

"Saya menyarankan kepada Pemkot Samarinda untuk memverifikasi ulang semua cagar budaya yang terlanjur ditetapkan. Silakan ekspos ke publik bagaimana naskah akademik tiap benda, bangunan, struktur, situs, atau kawasan sehingga ditetapkan sebagai cagar budaya. Jika naskahnya invalid atau kajian historiografinya tidak kredibel, Pemkot dapat membatalkan status cagar budaya tersebut," katanya.

Sulit Direnovasi

Kapolresta Samarinda Kombes Pol Hendri Umar membenarkan bahwa bangunan Polsek Samarinda Kota memang memiliki nilai sejarah, namun dari sisi fungsional sudah tidak layak lagi digunakan.

"Jadi tidak bisa kita renovasi dan tidak bisa kita rubah bentuknya karena merupakan cagar budaya yang dilindungi oleh negara."

Selain itu, jarak antara ruang tahanan dengan kantor induk Polsek mencapai sekitar 200 meter, yang membuat pengawasan menjadi tidak efektif.

“Kalau bicara standar keamanan, jarak seperti itu terlalu jauh untuk penjara aktif,” tambah Hendri.

Sebagai langkah cepat, Polresta menambah jumlah petugas jaga tahanan dari empat menjadi enam orang.

Petugas tambahan tersebut difokuskan hanya untuk menjaga area sel dan tidak diberi tugas lain.

Untuk jangka panjang, Polresta Samarinda telah berkoordinasi dengan Pemerintah Kota Samarinda untuk mencari lahan baru bagi pembangunan Polsek Samarinda Kota yang lebih representatif dan aman.

“Kami berharap bisa pindah ke lokasi baru agar bangunan bisa dibangun sesuai standar keamanan modern tanpa terikat aturan cagar budaya,” ujarnya.

Polsek Samarinda Kota saat ini membawahi tiga kecamatan dengan 17 kelurahan dan hanya memiliki 79 personel aktif.

Kondisi itu membuat beban tugas cukup berat, terutama dalam pengawasan tahanan.

Kapolresta Hendri Umar menegaskan, kasus ini menjadi pelajaran penting agar peristiwa serupa tidak terulang.

“Ini menjadi bahan evaluasi bagi kami untuk memperkuat sistem pengamanan dan memastikan kejadian seperti ini tidak terjadi lagi,” pungkasnya.

Jejak Kolonial

Bangunan tua berarsitektur kolonial di Jalan Bhayangkara, Kelurahan Bugis, Kecamatan Samarinda Kota, kembali menjadi sorotan usai rencana relokasi Kantor Polsek Samarinda Kota digulirkan Pemerintah Kota (Pemkot).

Di balik kasus kaburnya 15 tahanan pada 19 Oktober 2025 lalu, tersembunyi kisah sejarah panjang gedung yang kini menjadi markas kepolisian tersebut.

Bukan sekadar kantor polisi biasa, bangunan ini merupakan eks barak polisi era kolonial Belanda yang kini dilindungi sebagai Cagar Budaya Peringkat Kota melalui SK Wali Kota Samarinda Nomor 432/359/HK-KS/XI/2021.

Kepala Bidang Kebudayaan Disdikbud Samarinda, Barlin Hady Kesuma, menjelaskan penetapan ini tidak hanya menandai nilai sejarah penting bangunan, tetapi juga melindunginya dari ancaman pembangunan kota yang terus melaju.

Baca juga: Akademisi Unmul Minta Edukasi Publik Soal Cagar Budaya Polsek Samarinda Kota

“Bangunan ini memiliki nilai sejarah dalam perkembangan pemerintahan dan sistem keamanan di Samarinda. Karena itu ditetapkan sebagai cagar budaya peringkat kota berdasarkan SK Wali Kota Samarinda Nomor: 432/359/HK-KS/XI/2021,” ungkap Barlin pada Tribun Kaltim.

Sejak Awal 1930

Sejarah keberadaan bangunan ini dapat ditelusuri lewat peta tahun 1930 dan 1941 yang mencatat area tersebut sebagai Politie Kazerne, yakni pusat aktivitas kepolisian Hindia Belanda, bersebelahan dengan Hospitaal O.B.M (rumah sakit kolonial).

“Artinya, fungsi kepolisian di lokasi itu sudah berjalan aktif sejak minimal 1941,” ungkap Barlin.

Meski telah berusia hampir satu abad, bangunan ini masih terawat baik dengan ciri khas kolonial.

Bangunan tersebut berdiri di lahan seluas 8.325 meter persegi dengan luas bangunan mencapai 2.024,4 meter persegi, terbagi atas tiga bagian utama yakni bangunan depan, bangunan tengah, dan aula.

Secara material, konstruksinya didominasi beton, kayu, besi, dan seng dengan warna khas dinding krem, atap sirap hitam, serta atap seng merah yang masih terpelihara hingga kini.

“Ini membuktikan bahwa fungsi kepolisian di Samarinda sudah ada sejak masa kolonial,” jelas Barlin.

Bangunan bergaya kolonial ini masih mempertahankan elemen aslinya. Dinding bawahnya tersusun dari batu dan beton yang disusun menyerupai pondasi setinggi satu meter, dilanjutkan dengan dinding bata berplester semen serta kawat anyam di bagian dalam.

Sebagian ruangan masih berdinding kayu, dengan tiang utama dari kayu ulin yang kokoh menopang struktur beratap sirap dan seng.

Salah satu ciri arsitektur yang paling mencolok adalah sistem ventilasi bertingkat pada atap tengah bangunan, desain khas kolonial yang berfungsi sebagai saluran udara alami agar suhu ruangan tetap sejuk.

Bahkan, beberapa jendela dan pintu masih mempertahankan gerendel tua, sistem penguncian khas masa Hindia Belanda yang jarang ditemukan di bangunan modern.

Saat ini, kawasan bekas barak polisi tersebut difungsikan untuk beberapa layanan, yakni Polsek Samarinda Kota, UPT Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak, dan Puskesmas Kecamatan Samarinda Kota.

Meski telah mengalami adaptasi fungsi, bentuk arsitektur dan karakter bangunan tetap dipertahankan sesuai prinsip pelestarian cagar budaya.

Secara kepemilikan, bangunan ini dulunya milik Kepolisian Republik Indonesia Resort Kota Samarinda hingga sekitar tahun 2010–2011.

Setelah Polresta Samarinda berpindah ke wilayah Kecamatan Sungai Kunjang, hak kepemilikan dan pengelolaannya beralih ke Pemkot Samarinda, dengan pengawasan di bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Keberadaan bangunan tua ini menjadi bukti fisik dari peralihan masa dari era kolonial hingga

kemerdekaan yang menandai kontinuitas fungsi keamanan di Samarinda.

Barlin menegaskan, status cagar budaya ini tak hanya berfungsi sebagai penanda sejarah, tetapi juga simbol identitas urban yang harus dijaga.

SEJARAH PANJANG - Bangunan tua bergaya kolonial di Jalan Bhayangkara, Kelurahan Bugis, Kecamatan Samarinda Kota, kembali menjadi sorotan setelah rencana relokasi Kantor Polsek Samarinda Kota digulirkan Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda. Di balik kasus kaburnya 15 tahanan pada 19 Oktober 2025 lalu, tersimpan sejarah panjang gedung yang kini menjadi markas kepolisian tersebut. (HO/PEMKOT SAMARINDA)
SEJARAH PANJANG - Bangunan tua bergaya kolonial di Jalan Bhayangkara, Kelurahan Bugis, Kecamatan Samarinda Kota, kembali menjadi sorotan setelah rencana relokasi Kantor Polsek Samarinda Kota digulirkan Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda. Di balik kasus kaburnya 15 tahanan pada 19 Oktober 2025 lalu, tersimpan sejarah panjang gedung yang kini menjadi markas kepolisian tersebut. (HO/PEMKOT SAMARINDA) (HO/PEMKOT SAMARINDA)

Sebelumnya, Wali Kota Samarinda Andi Harun pernah menegaskan bahwa pelestarian bangunan harus diutamakan meski ia sadar kebutuhan pelayanan keamanan masih mendesak.

Namun renovasi besar tak bisa dilakukan lantaran gedung dilindungi sebagai cagar budaya.

Situasi ini menjadi pertimbangan utama rencana relokasi.

Barlin menegaskan bahwa perubahan fisik dilarang tanpa studi kelayakan resmi sesuai UU 11/2010 tentang Cagar Budaya.

Baca juga: 7 Situs Sejarah Kemerdekaan yang Jadi Cagar Budaya di Kaltim, Kendala Pelestarian: Anggaran dan SDM

“Tidak bisa dilakukan perbaikan atau perubahan struktur bangunan tanpa prosedur yang tepat,” tegasnya.

Terkait dengan rencana Wali Kota Andi Harun merelokasi polsek tersebut, Barlin menyebut bahwa urusan pembangunan fisik nantinya berada dalam kewenangan Dinas PUPR sesuai ketentuan tata bangunan Kota Samarinda, termasuk objek cagar budaya.

Harus Patuhi Aturan

Upaya Pemkot Samarinda memindahkan fungsi kepolisian dari bangunan tua eks barak polisi kolonial di Jalan Bhayangkara tidak menghilangkan kewajiban pelestarian terhadap struktur historis yang kini ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya Peringkat Kota.

Bangunan yang saat ini difungsikan sebagai Polsek Samarinda Kota, UPT Perlindungan Perempuan dan Anak, serta Puskesmas Samarinda Kota tersebut memiliki nilai penting bagi sejarah keamanan dan perjalanan Kota Tepian.

Status cagar budaya itu telah resmi dikukuhkan berdasarkan Berkas Pendaftaran No. 001/Regnas-SMD/III/2021 yang disusun oleh Dinas Kebudayaan Kota Samarinda dan ditetapkan pada tahun 2021.

Dokumen tersebut memuat panduan ketat tentang batasan dan prosedur renovasi bangunan demi memastikan tiap unsur arsitektur kolonial yang menjadi identitas sejarah tetap terjaga.

Dalam pedoman pelestarian yang diterbitkan Disdikbud Samarinda, seluruh elemen utama seperti atap bertingkat yang menjadi ciri ventilasi kolonial, wajib dipertahankan bentuk aslinya meski material bisa diperbarui.

Atap koridor boleh diganti dengan bahan seng baru, namun bentuk originalnya tidak boleh berubah sedikit pun.

Tiang-tiang kayu ulin yang menopang bangunan dapat diperkuat dengan pelapisan beton pada bagian bawah, tanpa menghilangkan karakter awal konstruksinya.

Ketentuan ini ditetapkan untuk melestarikan sistem desain udara alami yang telah menjadi bagian dari kecerdasan arsitektur zaman kolonial.

Dinas Kebudayaan juga menggariskan bahwa sebagian besar dinding bangunan masih merupakan dinding asli berbahan kayu, bata, plester semen, dan kawat anyam sehingga tidak boleh diubah atau dihancurkan.

Namun terdapat pengecualian, yakni dinding ruang tamu dan ruang laktasi di bangunan UPT Perlindungan Perempuan dan Anak dinyatakan sebagai dinding tambahan modern, sehingga dapat direnovasi dan dibongkar.

Untuk ruangan yang membutuhkan pendingin udara, solusi yang direkomendasikan bukan merombak struktur, melainkan pemasangan penutup kaca atau mika tanpa merusak elemen historis.

Sejumlah lantai asli berupa tegel traso berwarna hitam/abu gelap dan merah masih tersisa di ruangan gudang dan dapur.

Karena itu, keramik modern dapat dipertahankan, namun restorasi tegel lama sangat dianjurkan sebagai upaya penghidupan kembali karakter awal bangunan.

Pintu dan jendela sebagian telah diganti pada masa kepolisian Hindia Belanda maupun sesudahnya.

Meski demikian, kusen kayu original masih harus dipertahankan.

Pengecatan ulang diperbolehkan menyesuaikan kebutuhan pengguna, kecuali pintu, jendela, dan kusen di ruang gudang yang wajib menggunakan warna historis yakni kuning dan hijau.

Selain itu, plafon bangunan yang masih asli juga harus dipertahankan bentuknya saat dilakukan perbaikan.

Baca juga: Akademisi Unmul Minta Edukasi Publik Soal Cagar Budaya Polsek Samarinda Kota

Rencana pemindahan Polsek Samarinda Kota ke lokasi baru tidak menghapus tanggung jawab pelestarian oleh Pemkot.

Bangunan kolonial tersebut akan terus dijaga sebagai jejak otentik sejarah keamanan Samarinda, sekaligus identitas kota yang tidak boleh tergerus modernisasi.

Masih Layak Secara Fungsi

Bangunan Polsek Samarinda Kota yang kini berstatus cagar budaya tetap memungkinkan digunakan sebagai fasilitas tahanan selama memenuhi kaidah teknis keamanan dan pelestarian.

Hal itu ditegaskan oleh Direktur Pusat Studi Perkotaan Planosentris, Farid Nurrahman, yang juga merespons insiden kaburnya 15 tahanan dari sel Polsek Samarinda Kota yang menempati bangunan eks barak polisi kolonial berstatus cagar budaya beberapa waktu lalu.

Menurut ahli tata kota Kalimantan Timur ini, secara fungsi bangunan bersejarah tetap dapat digunakan sebagai ruang tahanan dan tidak harus berupa bangunan baru.

Ia menilai penggunaan bangunan lama sebagai fasilitas tahanan juga lazim diterapkan di berbagai negara lain, sehingga tidak ada persoalan dari segi fungsi maupun kelayakannya.

“Kalau ideal ya ideal-ideal saja. Karena kalau kita mengacu pada bangunan tahanan, itu tidak mesti bangunan baru. Terkait dengan penggunaan sebagai ruang tahanan, tidak ada masalah,” ungkapnya kepada Tribun Kaltim, Selasa (4/11).

Farid menegaskan bahwa status cagar budaya tidak serta-merta membatasi pemugaran, karena bangunan bersejarah tetap dapat diperkuat atau direnovasi selama mengikuti aturan pelestarian yang berlaku.

Ia menjelaskan bahwa pemeliharaan struktur tersebut boleh dilakukan sepanjang tidak mengubah fasad luar atau karakter arsitektur aslinya.

Menurutnya, perubahan fungsi pada interior dan pembaruan elemen eksterior pun dimungkinkan, asalkan tetap mempertahankan desain lama.

“Jadi, fasad luarnya tidak diubah, tetapi bagian dalamnya secara fungsi diubah, itu tidak masalah. Eksteriornya juga bisa, tetapi tetap mempertahankan desain lama dan tidak mengubah fasad baru,” paparnya.

Ia juga mencontohkan bahwa bangunan warisan nasional seperti Candi Borobudur pun pernah menjalani proses pemugaran.

Karena itu, ia menilai langkah serupa terhadap bangunan Polsek Samarinda Kota jauh lebih memungkinkan selama tidak menghilangkan fungsi awal dan identitas historis bangunan.

“Karena sekelas Candi Borobudur saja dipugar, apalagi hanya polsek. Yang penting, secara fungsi tetap bisa digunakan seperti semula dan tidak mengubah fasad luar,” tegas Farid.

Farid menjelaskan bahwa praktik adaptasi fungsi bangunan bersejarah merupakan hal umum di berbagai kota yang memiliki jejak kolonial kuat.

Ia mencontohkan kawasan Tugu Pahlawan di Surabaya, di mana seluruh bangunannya berstatus cagar budaya dan setiap pembangunan baru harus mengikuti bentuk arsitektur lingkungan sekitarnya.

“Misalnya seperti Benteng Vredeburg, bangunan-bangunan yang ada di Yogyakarta. Lalu ada Lawang Sewu yang di bawahnya ada penjara, tapi sekarang dijadikan museum,” ujarnya.

Penerapan fungsi baru di dalam bangunan lama, menurutnya, tetap selaras dengan prinsip pelestarian selama tidak menghilangkan identitas arsitektur kawasan yang menjadi ciri historisnya.

Farid juga menyinggung kemungkinan adanya celah keamanan yang muncul akibat usia dan minimnya standar bangunan tahanan modern.

“Bisa saja faktor-faktor luar itu masuk sehingga mereka bisa membuat lubang. Tidak mungkin juga mereka melubangi pakai tangan kosong, pasti ada alat, dan itu tidak mungkin dilakukan dalam waktu singkat. Salah satu faktornya mungkin karena usia bangunan juga,” terangnya.

Farid menegaskan bahwa perubahan fungsi bangunan menjadi ruang tahanan harus melalui prosedur atau serangkaian tahapan teknis.

Ia menjelaskan bahwa pengajuan perubahan tersebut semestinya terlebih dahulu disampaikan kepada Cipta Karya untuk mendapatkan persetujuan bangunan gedung dari tim yang berwenang.

Dengan demikian, setiap adaptasi bangunan, termasuk yang berstatus cagar budaya, harus tetap mengutamakan keamanan dan kesesuaian fungsi.

Setelah pembangunan atau penyesuaian selesai, kelayakannya juga wajib dinilai melalui penerbitan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) yang memastikan pemenuhan standar sesuai Peraturan Bangunan Gedung (PBG).

“Dipastikan juga harus memenuhi standar dari PBG dan memiliki SLF,” sebutnya.

Farid menyampaikan bahwa dari perspektif tata kota, keberadaan Polsek di kawasan tersebut masih sangat dibutuhkan sehingga bangunannya idealnya tetap difungsikan sebagai kantor polisi, sebagaimana peran historisnya sejak awal berdiri.

Baca juga: Sejarah Polsek Samarinda Kota, Dulunya Barak Polisi Era Belanda Kini Ditetapkan Cagar Budaya

Ia menekankan bahwa fokus penanganan pascakejadian semestinya diarahkan pada penguatan dan peremajaan konstruksi bangunan guna memastikan keamanan dan keberlanjutannya sebagai fasilitas publik.

“Yang perlu diperkuat yaitu bangunannya saja, dibugarkan atau diremajakan,” tuturnya.

Farid juga mengingatkan bahwa di sekitar kawasan itu sudah banyak jejak sejarah yang hilang, sehingga sangat penting untuk tidak kembali kehilangan salah satu aset bersejarah kota, termasuk bangunan Polsek Samarinda Kota yang memiliki nilai warisan kolonial.

“SMAN 1 saja sudah hilang, jangan sampai Polseknya ikut hilang,” pungkas Farid.

Warga Tak Sadar Polsek Samarinda Kota jadi Cagar Budaya

Bagi sebagian warga sekitar, bangunan itu hanyalah kantor polisi.

Namun di balik temboknya yang dingin, tersimpan status istimewa cagar budaya.

Sebuah gelar yang sudah melekat sejak empat tahun lalu, tapi nyaris tak dikenal masyarakat yang melintas setiap hari di depannya.

Bangunan bercat krem di Jalan Bhayangkara, Kelurahan Bugis, Kecamatan Samarinda Kota, menyimpan jejak sejarah panjang.

Gedung yang kini menjadi markas Polsek Samarinda Kota itu merupakan peninggalan era kolonial Belanda dan dahulu berfungsi sebagai barak polisi.

Namun, status cagar budaya yang melekat padanya sejak empat tahun lalu ternyata tidak banyak diketahui masyarakat sekitar.

Bangunan ini resmi ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Surat Keputusan Wali Kota Samarinda Nomor 432/359/HK-KS/XI/2021 pada tahun 2021.

Meski lokasinya strategis berada di tengah permukiman padat informasi tentang status istimewa tersebut tampaknya belum tersosialisasikan dengan baik.

Ketua RT 04 Kelurahan Dadi Mulya, Kecamatan Samarinda Ulu, Budi Hartono, mengaku tidak mengetahui bahwa bangunan Polsek Samarinda Kota berstatus cagar budaya.

“Mungkin karena tidak ada papan atau sosialisasi. Kurang tahu kalau itu cagar budaya, tapi setahu saya memang bangunan Belanda,” ujarnya kepada Tribun Kaltim, Rabu (5/11).

Meski wilayah Polsek Samarinda Kota tidak termasuk dalam RT 04, lokasinya berada tepat di seberang jalan dari kawasan tersebut.

Budi yang sudah menjabat sebagai ketua RT sejak 2009 bercerita, bangunan itu dulunya merupakan kantor Polresta Samarinda sebelum pindah ke gedung baru di Jalan Slamet Riyadi pada 2013.

Menurut Budi, dulu warga yang memiliki kedekatan dengan aparat kerap memanfaatkan area sekitar kantor polisi itu, bahkan ada taman bermain anak di dalam kompleksnya.

Namun, seiring waktu, akses masyarakat semakin terbatas.

“Dulu masih bisa main ke sana, sekarang sudah nggak boleh sembarangan masuk,” kenangnya.

Ia juga mengakui kekagumannya pada kualitas bangunan yang masih kokoh meski berusia puluhan tahun.

Karena itu, ia sempat heran ketika mendengar kabar 15 tahanan kabur dari sel polsek beberapa waktu lalu.

“Tempatnya itu temboknya tebal banget, bangunan Belanda kan kuat-kuat. Heran juga bisa jebol,” katanya.

Hal serupa disampaikan Ketua RT 05 Kelurahan Bugis, U.M. Ramadhan Siregar, yang wilayahnya mencakup langsung area Polsek Samarinda Kota. Ia mengaku baru mengetahui status cagar budaya tersebut ketika dikonfirmasi oleh wartawan.

“Saya baru tahu juga, baru kali ini dengar,” ujarnya saat ditemui di kediamannya, Kamis (6/11).

Ramadhan, yang telah menetap di kawasan itu sejak menikah dengan warga Samarinda, mengatakan pernah mendengar cerita tentang asal-usul bangunan Belanda tersebut dari kerabatnya.

Ia juga membenarkan bahwa lokasi itu dulunya adalah Polresta Samarinda sebelum pindah ke Jalan Slamet Riyadi.

“Itu dulunya Polresta, terus pindah, terus di sini jadi Polsek dan ada Puskesmas juga di sekitar,” jelasnya.

Sebagai ketua RT yang juga menjabat sejak 2009, Ramadhan sudah 16 tahun mengamati perkembangan kawasan tersebut.

Ia menilai, tidak ada yang terlalu istimewa dari bangunan itu selain usianya yang tua dan arsitektur khas kolonial.

“Hubungan warga dengan polisi biasa saja, nggak ada yang spesial,” ujarnya singkat.

Terkait kasus kaburnya 15 tahanan dari sel Polsek Samarinda Kota pada 19 Oktober lalu, Ramadhan menyebut insiden serupa bukan yang pertama.

Baca juga: Akademisi Unmul Minta Edukasi Publik Soal Cagar Budaya Polsek Samarinda Kota

“Kayaknya udah pernah tiga kali kejadian, tapi dulu paling satu atau dua orang aja yang kabur,” tuturnya.

Soal rencana Pemerintah Kota Samarinda untuk memindahkan lokasi Polsek, ia tidak keberatan.

Namun, ia berharap perencanaan dilakukan secara matang agar kejadian serupa tidak terulang.

“Kita setuju aja, itu kan kewenangan pimpinan. Tapi yang penting nanti tata kelolanya harus lebih baik,” pungkasnya.

Dari Barak Belanda jadi Polsek Kota

Nama Bangunan eks Politie Kazerne (barak polisi kolonial Belanda)

Fungsi saat ini:

  • Polsek Samarinda Kota
  • UPT Perlindungan Perempuan dan Anak
  • Puskesmas Samarinda Kota

Asal-Usul dan Sejarah

  • Berdiri sejak era kolonial Belanda, tercatat dalam peta tahun 1930 dan 1941 sebagai Politie Kazerne.
  • Merupakan pusat aktivitas kepolisian Hindia Belanda di Samarinda.
  • Bersebelahan dengan Hospitaal O.B.M (rumah sakit kolonial).
  • Fungsi kepolisian di lokasi tersebut sudah aktif sejak minimal tahun 1941.
  • Setelah kemerdekaan, tetap digunakan sebagai fasilitas kepolisian hingga kini.
  • Sekitar tahun 2010–2011, kepemilikan beralih dari Polresta Samarinda ke Pemerintah Kota Samarinda. (*)
Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved