Bocah Tenggelam di Balikpapan Utara

Ketua RT Beberkan Fakta Lumpur Hidup yang Tewaskan 6 Bocah di Balikpapan

Enam anak tewas usai tercebur ke kubangan lumpur hidup yang terbentuk akibat penggusuran dan tertutupnya aliran air di Balikpapan.

Editor: Heriani AM
Tribun Kaltim
BOCAH TEWAS TENGGELAM - Tangkapan layar HL Tribun Kaltim hari ini, Kamis (20/11/2025). Enam anak tewas usai tercebur ke kubangan lumpur hidup yang terbentuk akibat penggusuran dan tertutupnya aliran air di lahan proyek Balikpapan Utara. 
Ringkasan Berita:
  • Enam anak tewas usai tercebur ke kubangan lumpur hidup yang terbentuk akibat penggusuran dan tertutupnya aliran air di lahan proyek Balikpapan Utara.
  • RT dan ahli hukum menilai ada kelalaian fatal karena area galian tanpa pagar, rambu, maupun pengamanan, meski aktivitas dilakukan pengembang.
  • Polisi tetap selidiki kasus sementara SinarMas Land memasang pagar seng dan menyerahkan santunan kepada keluarga korban.

 

TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Enam anak tewas setelah tercebur ke kubangan lumpur hidup di lahan proyek, Balikpapan Utara.

Ketua RT setempat menyebut kubangan itu terbentuk karena penggusuran dan penutupan aliran air alami yang membuat cekungan berubah menjadi perangkap.

Ketua RT 37 Graha Indah, Kecamatan Balikpapan Utara, Andi Firmansyah, mengungkap fakta terbaru terkait terbentuknya kubangan besar yang menelan enam bocah beberapa hari lalu.

Ia menegaskan bahwa cekungan itu bukan terbentuk karena genangan air dalam, melainkan akibat aktivitas penggusuran lahan yang membuat tanah turun hingga belasan meter.

“Lahannya itu sebelumnya digusur sampai turun sekitar 10 meter. Setelah itu ditimbun untuk pembuatan jalan Grand City, tapi aliran air jadi tertutup. Akhirnya terbentuk kubangan-kubangan berisi lumpur hidup,” jelas Andi kepada Tribun Kaltim, Rabu (19/11).

Baca juga: Tragedi 6 Bocah Tewas di Kubangan KM 8 Balikpapan, Pakar Hukum Sebut Kelalaian Luar Biasa Grand City

Menurutnya, kedalaman air di lokasi sebenarnya hanya sekitar satu setengah meter. Namun bahaya utama bukan dari air, melainkan dari lumpur hidup yang menyeret siapa pun yang tercebur.

“Kedalamannya kurang lebih satu setengah meter, tapi isinya lumpur hidup. Itu yang membahayakan. Anak-anak bisa langsung tenggelam karena lumpurnya narik ke bawah,” ungkapnya.

Sebelum ada aktivitas pembangunan, area tersebut merupakan tanah kosong dan rawa dengan aliran air yang mengalir lancar. Setelah penimbunan untuk akses jalan dilakukan dan parit-parit kecil tertutup, genangan dangkal itu berubah menjadi cekungan lumpur dalam yang sulit dikenali sebagai titik berbahaya.

“Dulu itu rawa biasa. Tidak ada rumah warga. Alirannya lancar,” kata Andi.

Ia juga mengungkap bahwa lahan itu berada dalam kondisi sengketa sehingga pekerjaan di lokasi sempat terhenti. Meski demikian, warga selama ini mengira lahan tersebut milik Grand City karena terdapat papan kepemilikan perusahaan di lokasi.

Andi menjelaskan alasan warga tidak pernah meminta pemasangan pagar atau tanda bahaya sebelumnya.

“Dulu kubangannya tidak pernah dalam, anak-anak juga tidak pernah main ke situ. Airnya selalu jalan. Sekarang beda karena jalur air tertutup,” ujarnya.

Mayoritas warga di kawasan tersebut berprofesi sebagai petani sehingga menganggap lahan kosong itu tidak berbahaya.

Baca juga: Buntut 6 Bocah Tewas Tenggelam, Wawali Balikpapan Bagus Susetyo Minta Pengembang Pasang Pagar Duri

Laporan dari Anak

Dalam peristiwa tragis itu, seorang anak berusia sekitar lima tahun adik dari salah satu korban menjadi penolong pertama. Dialah yang memberi tahu ibunya bahwa kakaknya dan teman-temannya tenggelam.

“Kalau anak itu tidak ikut hari itu, mungkin kita tidak tahu ada kejadian. Dia yang melapor ke ibunya,” ujar Andi.

Seorang warga bernama Isur menjadi orang pertama yang turun ke kubangan untuk mencari para korban.

Bukan Milik Pengembang

Kepala DLH Balikpapan, Sudirman Djayaleksana mengatakan secara kepemilikan kubangan tersebut mungkin memang bukan lahan milik pengembang.

Terlebih, lahan tersebut berstatus sengketa yang masih dalam proses penyelesaian hukum.

Sudirman menyampaikan, jika dilihat secara kasat mata, posisi tanah lebih rendah daripada elevasi tanah yang digarap oleh pengembang Grand City Balikpapan.

"Tetapi akibat dari pembangunan dan pengupasan lahan, air itu masuk ke tanah. Artinya bukan kolam buatan yang memang disengaja," ujarnya.

DLH Balikpapan mencatat pengembang sudah melakukan perizinan analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal) yang terbit pada tahun 2012.

Dengan luas lahan kurang lebih 224 hektar, pengembang kemudian melakukan adendum Amdal pada tahun 2018. 

"Itu dilakukan karena ada penambahan untuk air tanah dan pemanfaatan bangunan komersial," jelas Sudirman.

Selanjutnya, di dalam adendum itu juga ada penambahan luas bendali sekitar 5,6 hektar yang terbagi menjadi tiga bendali.

Bendali pertama memilik luas 5,3 hektar, bendali kedua seluas 1,2 hektar, dan bendali ketiga dengan luasan sekitar setengah hektar. Sehingga total luas semua bendali menjadi lebih kurang 7,7 hektar.

"Bendali ini memang dipilih di lokasi paling rendah dari elevasi tanah dan dilengkapi dengan pintu air," ulas Sudirman.

Demikian dokumen Amdal yang telah dilakukan adendum pada 2018, pengembang mengemas dalam site plan terakhir 2017.

"Itu terkait perizinan dari pihak DLH Balikpapan," katanya.

Sementara perusahaan pengembang SinarMas Land mulai memasang pagar seng di lokasi tragedi yang menewaskan enam anak di kubangan air proyek pembangunan akses jalan menuju Grand City, Kilometer 8, Kelurahan Karang Joang, Rabu (19/11).

Baca juga: Tragedi 6 Bocah Balikpapan Tewas Tenggelam, Warga Temukan Baju Para Korban di Pinggir Kubangan

Ada Kelalaian

Tragedi tenggelamnya enam bocah di kubangan bekas galian proyek di kawasan Balikpapan Utara, Senin (17/11), memunculkan sorotan tajam dari sejumlah ahli hukum.

Salah satunya datang dari pakar sekaligus pengamat hukum, Dr. Piatur Pangaribuan, yang menilai kasus ini bukan sekadar kecelakaan, tetapi merupakan bentuk kelalaian luar biasa.

Insiden terjadi ketika anak-anak bermain di area bekas galian tanah yang telah terisi air hujan. Dari kejauhan, kubangan itu tampak seperti kolam jernih, padahal di dasar air terdapat lumpur tebal dan kedalaman yang tidak terlihat oleh mata.

Selain itu, tidak adanya pagar, rambu, maupun pengamanan di sekitar lokasi membuat area tersebut terbuka sepenuhnya bagi warga, termasuk anak-anak.

Menurut Piatur, tanggung jawab hukum tidak dapat dilepaskan dari pihak Grand City karena aktivitas penggalian dilakukan oleh pengembang tersebut.

"Area itu dikelola oleh Grand City. Jadi siapa pun yang bersengketa atas lahannya, faktanya Grand City yang menggali. Artinya, mereka pula yang bertanggung jawab menutup atau mengamankan lokasi itu," tegasnya, Rabu (19/11).

Ia menambahkan, tanggung jawab itu tetap melekat meskipun lahan tersebut belum tentu sepenuhnya menjadi milik Grand City.

"Walaupun tanah itu bukan milik mereka, tetapi siapa yang membuat lubang itu? Grand City. Dalam hukum, jika kamu menggali tanah orang lain lalu terjadi masalah, kamu tetap harus mengembalikan kondisi itu seperti semula. Argumen ‘tanahnya belum jelas' tidak bisa menghapus tanggung jawab pidana," jelasnya.

Piatur menilai tragedi ini harus dilihat sebagai peristiwa dengan unsur pidana kelalaian. Bahkan, ia menyebutnya sebagai kelalaian fatal karena telah merenggut enam nyawa anak.

"Enam anak meninggal. Ini bukan perkara kecil. Ini bentuk kelalaian luar biasa. Tidak ada pagar, tidak ada pengamanan, tidak ada rambu. Bagaimana bisa area galian sedalam itu dibiarkan begitu saja?" ujarnya.

Ia juga mengkritik pengawasan Pemerintah Kota Balikpapan yang menurutnya gagal menjalankan fungsi kontrol terhadap aktivitas proyek di wilayahnya.

"Saya ingin mengkritik Pemkot Balikpapan. Pengawasannya kok seperti itu? Bagaimana mungkin area berbahaya tidak dipantau, tidak diberi garis batas, dan tidak ada kontrol? Pihak kelurahan mestinya juga harus tahu karena itu wilayah mereka," katanya.

Dalam aspek hukum, Piatur menyebut bahwa pertanggungjawaban pidana dalam kasus seperti ini dapat langsung diarahkan kepada direksi perusahaan sebagai penanggung jawab badan usaha.

"Undang-undang menegaskan, direktur adalah pihak yang bertanggung jawab atas kejadian di dalam maupun di luar area operasi perusahaan. Jadi jelas, tuntutan pidana dan perdata dapat diarahkan kepada pimpinan perusahaan," tegasnya.

Ia menambahkan bahwa warga memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengajukan tuntutan.

"Warga bisa menuntut. Bukan hanya secara perdata, tetapi juga pidana kelalaian. Tidak ada alasan untuk mengatakan tidak tahu siapa yang harus bertanggung jawab. Grand City-lah yang menggali, baik di tanahnya sendiri maupun tanah orang lain," tutupnya.

Baca juga: Isak Tangis di RSKD Balikpapan, Keluarga Bocah Tenggelam: Kami Akan Menuntut

Proses Penyelidikan

Kepolisian Daerah Kalimantan Timur (Polda Kaltim) memastikan bahwa peristiwa tewasnya enam anak di kubangan bekas galian di KM 8, Kelurahan Graha Indah, Kecamatan Balikpapan Utara, tetap ditangani meski belum ada laporan resmi dari pihak keluarga maupun warga.

Hal itu disampaikan Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Kaltim, Kombes Pol Jamaluddin Farti, saat dikonfirmasi Tribun Kaltim, Rabu (19/11).

Kombes Jamaluddin menjelaskan bahwa pihaknya telah menerima informasi mengenai kejadian tersebut. Namun, terkait ada atau tidaknya laporan polisi (LP) dari warga, ia menyebutkan masih harus dicek lebih lanjut.

"Laporan kejadian sudah ada, namun untuk laporan polisi saya cek dulu apakah sudah ada yang melapor atau belum," ujarnya.

Ia menegaskan bahwa absennya laporan dari warga bukan menjadi kendala bagi kepolisian untuk memproses peristiwa tersebut.

"Kalau tidak ada laporan warga, tidak masalah. Nanti pihak Polri yang akan membuat LP Model A, karena adanya peristiwa yang mengakibatkan korban jiwa," jelasnya.

LP Model A merupakan laporan polisi yang dibuat petugas berdasarkan pengetahuan langsung atau temuan fakta di lapangan, tanpa menunggu aduan masyarakat.

Dengan demikian, penanganan kasus tragedi kubangan KM 8 dipastikan tetap berjalan. Polisi dapat langsung melakukan penyelidikan, termasuk memanggil pihak terkait, memeriksa lokasi, hingga mendalami dugaan kelalaian yang menyebabkan enam anak meninggal di lokasi tersebut.

Hingga saat ini, proses penyelidikan masih berlanjut sambil menunggu data tambahan dari Polresta Balikpapan dan unit terkait.

Pasang Pagar Seng

Perusahaan pengembang SinarMas Land mulai memasang pagar seng di lokasi tragedi yang menewaskan enam anak di kubangan air proyek pembangunan akses jalan menuju Grand City, Kilometer 8, Kelurahan Karang Joang, Rabu (19/11).

Enam anak sebelumnya ditemukan meninggal dunia setelah tercebur ke dalam kubangan yang terbentuk di area land clearing. SinarMas Land menyampaikan duka mendalam dan menyebut telah mengambil langkah cepat untuk mencegah kejadian serupa.

Menurut Land Acquisition, Permit & Security Kalimantan Dept. Head SinarMas, proyek itu masih dalam tahap awal, termasuk proses pengupasan lahan guna membuka akses jalan tembus.

Lokasi kejadian merupakan tanah milik warga yang sebelumnya beberapa kali ditawari untuk dijual kepada pengembang, namun tidak terjadi kecocokan harga.

"Proyek ini masih baru. Land clearing untuk pembuatan akses jalan otomatis membuat ada area yang terkupas," jelasnya.

Sebagai langkah pencegahan, perusahaan langsung melakukan pemagaran di seluruh sisi lokasi, sesuai hasil RDP dengan DPRD Balikpapan yang memberi waktu 2x24 jam untuk pemasangan pagar.

"Pagar seng sudah terpasang dan diperkirakan empat hari ke depan seluruhnya selesai. Ini untuk memastikan tidak ada lagi potensi musibah," ujarnya.

Baca juga: Tak Ikhlas Caramu Pergi: Ucapan yang Buat Kasus Bocah di Samarinda Diduga Tewas Dianiaya Terkuak

Penyerahan Santunan

SinarMas Land juga telah memberikan santunan kepada keluarga seluruh korban.

"Kami mengucapkan belasungkawa sedalam-dalamnya. Santunan sudah diserahkan langsung di Kantor Camat, disaksikan Camat, Lurah, Ketua RT 37, RT 68 dan LPM. Keluarga menerima dengan damai tanpa tuntutan lain," katanya.

Ia menambahkan, kawasan itu memiliki tujuh personel keamanan yang berpatroli secara mobile, termasuk security cluster yang memantau aktivitas sekitar.

"Siapa pun yang masuk ke lokasi itu harus izin. Anak-anak yang ditemukan bermain saat patroli selalu kami larang karena area itu berbahaya. Kalau ada yang memancing, langsung kami usir," tegasnya.

Untuk memastikan lokasi benar-benar tertutup, pengembang memilih pagar seng sepanjang 120 meter dibandingkan kawat duri.

Pihak kepolisian disebut telah memeriksa seluruh legalitas proyek, termasuk dokumen perizinan.

"Semua proses sudah kami lakukan sesuai ketentuan," pungkasnya. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Baca Juga
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved