Upah Minimum 2026
Penetapan UMP Kaltim 2026 Diperkirakan Bakal Molor, Buruh Minta Naik, Pengusaha Pasang Rem
Serikat buruh Kaltim desak kenaikan UMP 2026 lebih besar, menilai kenaikan sebelumnya tak cukup penuhi kebutuhan riil pekerja.
Ringkasan Berita:
- Serikat buruh Kaltim desak kenaikan UMP 2026 lebih besar, menilai kenaikan sebelumnya tak cukup penuhi kebutuhan riil pekerja.
- Pengusaha minta penetapan UMP berhati-hati karena ekonomi melambat dan banyak UMKM belum mampu bayar upah sesuai aturan.
- Regulasi pusat molor, membuat penetapan UMP terancam terlambat dan menimbulkan ketidakpastian bagi buruh serta dunia usaha.
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Menjelang penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Kalimantan Timur (Kaltim) tahun 2026, serikat buruh mendorong pemerintah bersikap lebih adil dalam menentukan besaran kenaikan. Mereka menilai situasi ekonomi yang perlahan membaik harus tercermin dalam peningkatan upah pekerja.
Ketua Koordinator Wilayah Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBI) Kaltim, Bambang Setiono, menegaskan buruh membutuhkan kenaikan yang lebih besar dari formula sebelumnya.
“Jangan hanya lima persen. Kalau ekonomi baik, harus ada penghargaan kepada buruh. Harapan kami UMP 2026 naik,” ujarnya kepada Tribun Kaltim, Rabu (19/11).
KSBI mengusulkan kenaikan Rp300 ribu, lebih tinggi dibanding kenaikan tahun 2025 yang hanya Rp232 ribu.
“Tuntutan ini bukan soal keras kepala. Kalau buruh minta naik 10 persen, Apindo minta 5 persen, masa langsung ambil tengah? Harus ada keadilan, lihat inflasi dan kebutuhan hidup,” tambahnya.
Baca juga: DPRD Kaltim Soroti UMP 2026 Belum Diumumkan Pusat, Sarankan Kaltim Diberi Formula Khusus
Kebutuhan Riil Buruh
Sorotan serikat buruh bukan sekadar persentase kenaikan, tetapi kemampuan upah untuk memenuhi kebutuhan pokok. Ketua Serikat Buruh Borneo Indonesia (SBBI), Nason Nadeak, menegaskan bahwa buruh Kaltim masih jauh dari sejahtera.
“Kalau UMP sekarang Rp3,4 juta dan naiknya cuma Rp100 ribu, apakah cukup bayar listrik, air, dan kebutuhan lain selama 30 hari?” katanya.
Menurutnya, UMP harus dihitung berdasarkan kebutuhan riil sandang, pangan, papan, serta biaya pendidikan anak, bukan sekadar angka kompromi.
Ia juga mengingatkan bahwa Kaltim pernah hampir sejajar dengan DKI Jakarta pada 2000–2010. Kini, UMP Jakarta sudah lebih dari Rp5 juta, sementara Kaltim tertinggal jauh.
“Padahal harga kebutuhan tidak jauh berbeda. Ini jadi catatan agar stabilitas ekonomi dan kebutuhan hidup layak diperhatikan,” tegas Nason.
Konsisten Ikuti Putusan MK
Bambang menyoroti regulasi pengupahan yang masih menunggu revisi pemerintah pusat. Ia menegaskan PP 51/2023 sudah tidak relevan karena Mahkamah Konstitusi menyatakan aturan tersebut harus direvisi.
“Formulasinya jelas. Lihat inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks kebutuhan hidup layak. Tidak boleh ada rumus lain,” ujarnya.
Serikat buruh menilai, jika regulasi baru tidak segera disahkan, penetapan UMP akan rawan molor dan menimbulkan ketidakpastian bagi pekerja.
Baca juga: Apindo Kaltim Prediksi Penetapan UMP Kaltim 2026 Terancam Molor, Buruh Tunggu Disnakertrans
Ingatkan Hati-hati
Koordinator Dewan Pengupahan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kaltim, Slamet Brotosiswoyo, memprediksi laju bisnis tahun depan tidak akan sekuat sebelumnya.
"Pemotongan ini di 2026 mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan daya beli. Jika kabupaten/kota itu padat industri mungkin tidak terlalu signifikan, tapi banyak daerah lain pasti terimbas," ujarnya kepada Tribun Kaltim, Rabu (19/11).
Meski pertumbuhan ekonomi Kaltim tahun 2024 sempat tembus 6,17 persen, pada triwulan I–III tahun 2025 mulai melambat di kisaran 5 persen. Sementara anggaran pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebesar Rp14 triliun juga tidak sepenuhnya berputar di Bumi Etam.
"IKN memang dianggarkan Rp14 triliun, tapi tidak semua uangnya beredar di sini. Karena itu, penetapan UMP perlu hati-hati. Jangan sampai berdampak ke sektor riil hingga memicu PHK," tegas Slamet.
Menurutnya, keberlanjutan usaha harus menjadi pertimbangan utama. UMP yang naik agresif tanpa melihat kemampuan pengusaha justru bisa menutup pintu kerja.
"Keberlanjutan usaha itu penting. Kalau naiknya tinggi tapi perusahaan malah tidak mampu membayar, ujungnya PHK. Itu bukan kesejahteraan," katanya.
Baca juga: UMP Kaltim Pernah Hampir Setara Jakarta Kini Melemah, Buruh: Perhatikan Kebutuhan Riil Pekerja
Contoh Karawang
Slamet menyinggung kasus UMK Karawang 2025 yang mencapai Rp5,5 juta. Kenaikan tinggi itu tidak berujung positif karena sejumlah investor memilih hengkang ke daerah dengan biaya tenaga kerja lebih rendah.
"Contoh Karawang itu jangan terjadi di Kaltim. Kalau industri punya seribu sampai tiga ribu pekerja, bayangkan beratnya cost SDM. Investor bisa berpikir ulang," ujarnya.
Ia menegaskan hubungan buruh–pengusaha di Kaltim selama ini kondusif. Serikat pekerja pun dinilainya memahami kondisi dunia usaha.
Namun, fakta bahwa 40 persen perusahaan, terutama UMKM, belum mampu membayar gaji sesuai UMP juga perlu menjadi pertimbangan serius.
"UMP Itu Jaring Pengaman, Bukan Penentu Upah Semua Level"
Slamet mengingatkan bahwa UMP sejatinya adalah jaring pengaman bagi pekerja lajang dengan masa kerja di bawah satu tahun, bukan standar gaji untuk pekerja berpengalaman.
"Yang baru lulus SMP atau SMA dan baru masuk bekerja tetap berhak pada UMP. Tapi jangan sampai UMP dijadikan standar tunggal semua level sehingga memberatkan usaha kecil," tandasnya.
Terancam Molor
Dewan Pengupahan Kaltim kini masih membahas formulasi UMP 2026. Draft belum final karena menunggu regulasi baru dari pemerintah pusat.
"Masih dibahas. Permen belum keluar, PP juga belum. Jadi kemungkinan penetapan molor," kata Slamet.
Ia memperkirakan UMP baru bisa dituntaskan pada 27 atau 28 November 2025, melebihi tenggat 21 November seperti ketentuan PP 51/2023.
Baca juga: Dewan Pengupahan Kaltim Tak Ingin UMP 2026 Picu Gelombang PHK
Cerminkan Kebutuhan Hidup
Pemerintah baru saja memastikan bahwa pengumuman besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 meleset dari tenggat yang semestinya jatuh pada 21 November 2025.
Hal ini disampaikan langsung oleh Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli dalam konferensi pers di Kantor Kemnaker, Jakarta Selatan, Kamis (20/11).
Anggota Komisi IV DPRD Kaltim dari PKS, Agusriansyah Ridwan, menilai keterlambatan penerbitan regulasi pusat telah membuat daerah, termasuk Kaltim, berada dalam posisi menunggu tanpa kepastian hukum.
Padahal, penetapan UMP idealnya dilakukan pada bulan November setiap tahun untuk memastikan keberlangsungan usaha dan perlindungan hak-hak pekerja.
“Kaltim membutuhkan kepastian kebijakan. Kekosongan regulasi berpotensi menimbulkan kegelisahan di kalangan pekerja dan menyulitkan perusahaan dalam menyusun rencana anggaran tahun depan. Pemerintah pusat harus segera menghadirkan aturan transisi maupun formula baru sebagai dasar penetapan UMP,” tegasnya, Kamis (20/11) malam kepada Tribun Kaltim.
Ia juga mendorong Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kaltim untuk lebih proaktif melakukan konsultasi langsung ke Kementerian Ketenagakerjaan guna memperoleh kejelasan mengenai formulasi penggajian baru.
Kaltim, kata dia, memiliki karakteristik ekonomi yang berbeda dengan daerah lain, termasuk tingkat inflasi yang fluktuatif dan kebutuhan hidup layak yang terus meningkat.
“Ditambah lagi dengan dampak pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), sehingga formula pengupahan harus mempertimbangkan kondisi riil di lapangan,” ujarnya.
Menanggapi pernyataan Menaker Yassierli yang ingin mengoptimalkan peran Dewan Pengupahan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, Agusriansyah menilai langkah tersebut positif selama diikuti parameter yang jelas dari pemerintah pusat.
“Dewan Pengupahan Kaltim perlu memastikan data Kebutuhan Hidup Layak (KHL), inflasi, dan pertumbuhan ekonomi daerah menjadi rujukan utama,” ungkapnya.
Ia menambahkan, kenaikan UMP Kaltim tahun 2026 harus sejalan dengan peningkatan biaya hidup dan tuntutan pekerja yang sebelumnya berkisar di atas 6,5 persen.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Kaltim yang stabil serta meningkatnya tekanan biaya hidup akibat pembangunan IKN menjadi dasar perlunya penyesuaian upah yang memadai untuk menjaga daya beli masyarakat.
Komisi IV DPRD Kaltim, lanjutnya, berkomitmen untuk terus mengawal proses penetapan UMP agar berjalan transparan, akuntabel, dan memenuhi prinsip keadilan bagi seluruh pemangku kepentingan.
“Pada prinsipnya, kami mendukung kenaikan UMP yang proporsional, adil, dan berpihak pada peningkatan kesejahteraan pekerja. UMP harus mencerminkan kondisi ekonomi dan kebutuhan hidup di Kaltim tanpa mengabaikan keberlanjutan industri dan dunia usaha,” tandasnya. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltim/foto/bank/originals/20251121_hl.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.