Salam Tribun
Memetik Hikmah Dongeng Malin Kundang sebagai Senjata Peperangan Terbuka
Saat ‘perang terbuka’ MEA tiba, semuanya sudah siap. Produk dalam negeri tidak tersisihkan, melainkan menjadi tuan dan nyona di rumah sendiri.
DONGENG atau cerita rakyat Malin Kundang sudah sering sekali kita dengar. Saking populernya, cerita ini kerap menjadi perumpamaan saat mendidik anak-anak supaya menjadi baik, soleh/solohah dan tidak durhaka pada orang tua.
Malin Kundang, konon, seorang pemuda asal Sumatera Barat. Dia orang desa yang sukses di perantauan. Kaya raya. Ketika pulang kampung, pura-pura tidak mengenali ibunya, menyangkal seorang nenek renta yang kumal dan lusuh sebagai ibunya. Kesombongan membuatnya tega mencampakkan ibu tua itu.
Lalu, konon pula, saking sedihnya, merasa malang nasibnya, ibunya Maling Kundang yang diingkari anak, berdoa kepada Allah, memohonkan kutukan. Lalu Malin Kundang pun terkutuk seketika berubah menjadi batu. Batu menyerupai orang dewasa bersujud masih tampak di Pantai Air Manis, Padang Selatan.
BACA JUGA:
Sering Bacakan Dongeng, Anak Bakal Punya Kemampuan Bahasa yang Baik
Cerita Rakyat Indonesia Jadi Film Animasi Produksi Pixar?
Sambut MEA, Pekerja di Daerah Ini Harus Punya Sertifikasi
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Pesan moral cerita ini adalah, barangkali bukan sebatas kecintaan pada ibu, bukan sebagai ajaran pantang durhaka pada orang tua, tetapi lebih luas lagi. Kecintaan seorang perantau akan kampung halamannya, kebanggaan pada tradisi nenk-moyang –tentu saja dalam konteks kebaikan dan mengandung nilai-nilai positif. Tradisi disini bisa menyangkut bidang sosial budaya, ekonomi, serta kearifan lokal.
BACA JUGA: Hadapi MEA, Komunitas Dayak Indonesia dan Malaysia Bangun Kerjasama

Ya, diskusi mengenai hal-hal berbasis tradisional, tampaknya akan selalu menarik, dan perlu. Mengapa? Kini saatnya, negara kita, bahkan lebih dekat, penduduk Kalimantan yang tinggal di perbatasan dengan negara sahabat, sudah dan akan terus merasakan dampaknya.
Mulai awal tahun 2016 mendatang, 10 negara anggota Perhimpunan Nangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) secara penuh akan menerapkan perdagangan bebas. Semua negara seakan-akan menyatu. Menyatu dalam hal bidang ekonomi, misalnya perpindahan barang, perpindahan manusia, perpindahan modal-investasi, penyeragaman standar industri dan penyatuan pasar modal.
BACA JUGA: Ini Alasan Bankaltim Tidak Pernah Khawatir Hadapi Persaingan MEA
Betul, perdagangan antarnegara akan menjadi seakan tanpa batas, karena tanpa pajak impor yang memberatkan. Dalam ukuran kecil, hal ini sudah sering dirasakan warga perbatas, seperti di Tarakan, Sebatik, Nunukan, Malinau dan daerah lain.
Produk-produk dari Malaysia, semisal produk hasilindustri susu cokelat Milo, produk cokelat olahan, dan penganan lainnya telah merajai pasaran.
Luar biasanya adalah, menurut konsumen, kualitas dan rasa produk negara tetangga itu jauh lebih baik, lebih enak, dibandingkan produk domestik. Tidak heran, ketika warga Kaltim bepergian ke Tarakan, maka oleh-oleh yang diburu adalah susu cokelat Milo produksi Malaysia. Ada benarnya juga, oleh-oleh luar negeri, padahal bepergian di dalam negeri.
Cerita Malin Kundang di atas, dan fenomena produk asing ke Kalimantan, dan mungkin sudah masuk wilayah Indonesia, sengaja dibuatkan benang merahnya supaya sejak dini kita sadar terhadap peluang dan tantangan di depan mata.
BACA JUGA: Resmikan ATM Drive Thru, Bankaltim Siap Hadapi Persaingan Bebas
Dalam praktek pasar bebas, ilmu ekonomi mengajarkan, ada syarat persaingan terbuka atau persaingan sempurna. Maka dalma kaitan ini, siap atau tidak siap, mau atau tidak mau, pedagang tradisional sekalipun harus bersiap mengahapi ‘tsunami’ produk asing yang ditangani perusahaan raksasa multinasional.