KPK Periksa Ahmad Heryawan Terkait Proyek Meikarta, Ungkap Soal Keberadaan BKPRD

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya memeriksa mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan.

TRIBUN/DANY PERMANA
Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, memaparkan pandangannya terkait perkembangan dan situasi di Jawa Barat saat berkunjung ke Kantor Tribun Network dan Warta Kota, Rabu (3/8/2016). 

TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya memeriksa mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan.

KPK memeriksa Ahmad Heryawan sebagai saksi kasus dugaan suap terkait perizinan proyek Meikarta, dalam hal ini menyangkut keberadaan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD).

Pria yang akrab disapa Aher itu diperiksa untuk tersangka Sekretaris Daerah Jawa Barat, Iwa Karniwa.

"Ditanya fungsinya, saya katakan memberikan rekomendasi atas izin atau non izin sebelum izin tersebut diproses lebih lanjut oleh DPM PTSP. Ketika sebuah izin atau non izin ada kaitan tata ruang, maka sebelum izin mengizin tersebut dikeluarkan oleh DPM PTSP harus ada rekomendasi terlebih dahulu dari BKPRD," kata dia di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (27/8/2019).

Menurut Aher, sejak BKPRD Jawa Barat dibentuk, lembaga itu dipimpin oleh Iwa.

Kemudian digantikan oleh mantan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar.

Pada awal tahun 2018, lanjut Aher, Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) dibubarkan.

Sehingga BKPRD Jawa Barat juga turut dibubarkan dan kewenangannya diserahkan ke dinas terkait.

"Diserahkanlah Tupoksinya ke Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang, sampai di situ. Makanya ketika saya ditanya tentang proses Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi, yang ditetapkan atau yang sudah disepekati oleh Bupati (Neneng Hasanah Yasin) dan oleh DPRD saya enggak tahu proses itu sama sekali," ungkap Aher.

"Saya juga tidak tahu ketika (RDTR) sudah sampai di provinsi diproses provinsi, kemudian keburu saya pensiun, itu saja," tambah Aher.

Dalam kasus ini, Iwa menjadi tersangka lantaran diduga meminta uang sebesar Rp 1 miliar kepada pihak PT Lippo Cikarang melalui Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi Nurlaili.

Uang itu untuk memuluskan proses RDTR di tingkat provinsi.

Kasus ini bermula ketika Neneng Rahmi menyampaikan pengajuan Raperda RDTR itu pada April 2017.

Saat itu, Neneng diajak oleh Sekretaris Dinas PUPR Kabupaten Bekasi untuk bertemu pimpinan DPRD Kabupaten Bekasi.

Pada pertemuan tersebut Sekretaris Dinas PUPR menyampaikan permintaan uang dari Pimpinan DPRD terkait pengurusan itu.

Singkat cerita, Raperda RDTR Kabupaten Bekasi itu disetujui oleh DPRD Bekasi dan dikirim ke Provinsi Jawa Barat untuk dilakukan pembahasan.

Namun, pembahasan Raperda tingkat provinsi itu mandek. Raperda itu tidak segera dibahas oleh Kelompok Kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD), sedangkan dokumen pendukung sudah diberikan.

Neneng Rahmi kemudian mendapatkan Informasi bahwa Iwa meminta uang Rp 1 miliar untuk penyelesaian proses RDTR di provinsi.

Pada Desember 2017, Iwa diduga telah menerima uang sebesar Rp 900 juta dari Neneng melalui perantara. Neneng mendapat uang tersebut dari pihak PT Lippo Cikarang.

Peran Sekda Jabar

Muluskan Proyek Meikarta, Sekda Jabar Ternyata Minta Upeti Rp 1 Miliar, Ini Penjelasan KPK.

Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK membeber fakta baru kasus suap di megaproyek Meikarta.

KPK menyebut bahwa Sekretaris Daerah atau Sekda Jabar, Iwa Karniwa, meminta uang senilai Rp 1 miliar kepada Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi, Neneng Rahmi Nurlaili.

Permintaan uang tersebut dilakukan terkait pengurusan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi Tahun 2017.

RDTR itu menjadi bagian penting untuk mengurus proyek pembangunan proyek Meikarta di Kabupaten Bekasi.

Awalnya, pada 2017 Neneng Rahmi menerima sejumlah uang terkait dengan pengurusan RDTR Kabupaten Bekasi yang kemudian diberikan kepada beberapa pihak dengan tujuan memperlancar proses pembahasannya.

"Sekitar Bulan April 2017, setelah masuk pengajuan Rancangan Perda RDTR, Neneng Rahmi Nurlaili diajak oleh Sekretaris Dinas PUPR untuk bertemu pimpinan DPRD di Kantor DPRD Kabupaten Bekasi.

Pada pertemuan tersebut Sekretaris Dinas PUPR menyampaikan permintaan uang dari Pimpinan DPRD terkait pengurusan tersebut," ucap Wakil Ketua KPK, Saut Situmotang, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (29/7/2019).

Saut mengatakan setelah disetujui DPRD, rancangan Perda RDTR Kabupaten Bekasi Bekasi kemudian dikirim ke Provinsi Jawa Barat untuk dilakukan pembahasan.

Namun, Raperda itu tidak segera dibahas oleh kelompok kerja (Pokja) Badan Koordinasi Penataan ruang Daerah (BKPRD) padahal dokumen pendukung sudah diberikan.

Untuk memproses RDTR itu, Neneng Rahmi harus bertemu dengan Sekda Jabar, Iwa Karniwa.

"Neneng Rahmi kemudian mendapatkan Informasi bahwa tersangka IWK (Iwa Karniwa) meminta uang Rp 1 miliar untuk penyelesaian proses RDTR di Provinsi," kata Saut.

Saut menyatakan permintaan tersebut diteruskan kepada salah satu karyawan PT Lippo Cikarang dan direspons bahwa uang akan disiapkan.

Beberapa waktu kemudian, pihak Lippo menyerahkan uang kepada Neneng Rahmi.

 Terima Uang Suap Perizinan Meikarta, PNS Pemkab Bekasi: Saya Kira Uang THR

 Saksi Sebut Mendagri Telepon Minta Tolong Bantu Izin Meikarta, Begini Tanggapan Tjahjo

 KPK Dalami Dugaan Meikarta Biayai Plesir Anggota DPRD Bekasi dan Keluarganya ke Luar Negeri

"Kemudian, sekitar Desember 2017 dalam dua tahap, Neneng Rahmi melalui perantara menyerahkan uang pada tersangka IWK dengan total Rp 900 juta terkait dengan pengurusan RDTR di Provinsi Jawa Barat," tutur Saut.

Atas perbuatannya KPK menetapkan Iwa Karniwa sebagai tersangka suap suap terkait dengan Pembahasan Substansi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten Bekasi Tahun 2017.

Ia disangkakan melanggar pasal Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Ditetapkan sebagai tersangka

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Daerah Jawa Barat, Iwa Karniwa, sebagai tersangka kasus suap terkait perizinan proyek pembangunan Meikarta.

"Pada dua perkara sebagaimana dijelaskan di atas, sejak 10 Juli 2019 KPK melakukan penyidikan dengan dua orang sebagai tersangka yaitu IK dan BTO," kata Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (29/7/2019).

Iwa ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan suap terkait dengan Pembahasan Substansi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail tata Ruang Kabupaten Bekasi Tahun 2017.

Sementara Bortholomeus yang tercatat sebagai mantan Presiden Direktur PT Lippo Cikarang jadi tersangka dalam perkara dugaan suap terkait dengan pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi.

Saut mengatakan Iwa diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara tersangka Bortholomeus melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2-001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP dan pasal 55 ayat (`1) ke-1 KUHP.

Iwa Karniwa sebelumnya telah memberi kesaksian dalam kasus suap Meikarta yang menyeret Bupati Neneng.

Jaksa di persidangan mempertanyakan soal pertemuannya dengan Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Bekasi, Neneng Rahmi Nurlaili, di KM 72 tol Purbaleunyi pada Desember 2017.

Iwa pun membenarkan pertemuan tersebut. Namun dia diminta oleh anggota DPRD Jabar asal Partai Demokrarasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Waras Wasisto, untuk datang, dan akhirnya dikenalkan dengan Neneng Rahmi.

"Saya tidak tahu hanya diminta ketemu di rest area KM 72. Saya bilang kebetulan baru hadir rapat di pusat.

Saya dikontak Pak Waras, ada yang minta ketemu saya.

Saya bilang di kantor saja selesai saya pulang ke rumah," kata Iwa saat persidangan di Tipikor, Bandung, Senin (28/1/2019).

Pertanyaan itu dilontarkan jaksa karena Iwa disebut-sebut menerima duit Rp1 miliar terkait pengurusan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) proyek Meikarta.

Nama Iwa pertama kali disebut oleh Bupati nonaktif Bekasi, Neneng Hasanah Yasin.

Dalam persidangan disebutkan Iwa menerima uang dari Neneng Rahmi Nurlaili yang menjabat Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi.

Neneng menyebut permintaan itu terkait kepentingan Pilgub Jabar.

 Terbaru, Dituding Tengku Zulkarnaen Terima Uang Suap Meikarta, Ini Jawaban Gubernur Ridwal Kamil

 Jubir KPK Febri Diansyah Ungkap 2 Hal dari Pemeriksaan Mendagri Tjahjo Kumolo dalam Kasus Meikarta

Divonis 6 tahun

Majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung menyatakan eks Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yassin terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, menerima suap sebagaimana diatur di Pasal 12 huruf b Undang-undang Pemberantasan Tipikor.

"‎Menjatuhkan pidana penjara pada Neneng Hasanah Yasin selama 6 tahun, pidana denda Rp 250 juta subsidair 4 bulan penjara, membayar uang pengganti Rp 68 juta lebih subsidair 6 bulan pidana penjara," ujar Judijanto Hadilesmana, Ketua Majelis Hakim.

‎Pidana penjara yang dijatuhkan hakim untuk Neneng lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK yakni 7 tahun 6 bulan.

Majelis hakim juga sependapat dengan jaksa yang mememinta pencabutan hak politik pada Neneng Hasanah Yassin.

"Mencabut hak pilih Neneng Hasanah Yassin selama 5 tahun terhitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok," ujar Judijanto.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai Neneng sebagai Bupati Bekasi, terbukti menerima uang Rp 10,83 miliar dari E Yusuf Taufik.

Sumber uang berasal dari Edi Dwi Soesianto dan Satriyadi dari pengembang Meikarta. Pemberian uang terkait pengurusan izin peruntukan dan penggunaan tanah (IPPT) seluas 83,4 hektare.

Selain itu, majelis hakim juga menolak permohonan justice collaborator yang diajukan Neneng karena selama persidangan, dianggap tidak mengungkap siapa saja yang terlibat dalam kasus ini.

Sehingga, baik Neneng maupun terdakwa lainnya tidak memenuhi syarat untuk diberikan justice collaborator.

Majelis hakim juga menyatakan Kepala DPMPTSP Dewi Tisnawati, Kepala Dinas Damkar Sahat Banjarnahor, Kepala Dinas PUPR Jamaludin dan anak buahnya, Kabid Perumahan Neneng Rahmi Nurlaeli bersalah melakukan tindak pidana korupsi, menerima suap sebagaimana diatur di Pasal 12 huruf b Undang-undang Pemberantasan Tipikor.

Ke empat terdakwa yang menerima suap perizinan IMB hingga alat proteksi pemadam kebakaran di 53 tower, dijatuhi pidana penjara masing-masi‎ng selama 4,5 tahun.

Dalam perkara ini, Dewi Tisnawati terbukti menerima Rp 400 juta terkait pengurusan 53 IMB, Sahat Banjarnahor ‎senilai Rp 636 juta terkait suap pemasangan alat proteksi pemadam kebakaran,

Neneng Rahmi Nurlaili terbukti menerima Rp 170 juta dan Jamaludin menerima Rp 1 miliar lebih terkait pengurusan sarana teknis, siteplan dan block plan.

Atas vonis hakim dan pidana penjara yang dijatuhkan, ke empat terdakwa menyatakan pikir-pikir.

Pantauan Tribun, terdakwa Neneng Hasanah Yassin, Jamaludin, Dewi Tisnawati dan Neneng Rahmi Nurlaili tampak lebih tenang dibanding pada sidang sebelumnya.

Neneng Hasanah Yasin tampak Terkecuali Sahat Maju Banjarnahor yang tampak menangis sesenggukan.

Neneng Hasanah Yassin misalnya, tampak menggoyang-goyangkan badannya serta tanganya menepuk-nepuk kaki kirinya.

Atas vonis dan putusan hakim, jaksa KPK, Yadyn menilai putusan hakim mengadopsi tuntutan dan replik dari tim jaksa KPK.

KPK masih menungu putusan lengkap diterima untuk kemudian berkoordinasi dengan pimpinan KPK terkait upaya hukum.

"Soal putusan 6 tahun dan 4,5 tahun untuk terdakwa, itu sudah 2/3 dari tuntutan kami," ujar Yadyn.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Diperiksa KPK, Ahmad Heryawan Mengaku Dikonfirmasi soal BKPRD", https://nasional.kompas.com/read/2019/08/27/15154731/diperiksa-kpk-ahmad-heryawan-mengaku-dikonfirmasi-soal-bkprd?page=2.

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved