Dirut BPJS Kesehatan Sebut ini yang akan Terjadi di Tahun 2024 jika Iuran tak Naik
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Fahmi Idris menyebut, defisit keuangan BPJS Kesehatan
TRIBUNKALTIM.CO - Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Fahmi Idris menyebut, defisit keuangan BPJS Kesehatan akan semakin besar jika kenaikan iuran tidak disetujui DPR RI.
Sebab, ia memprediksi bahwa defisit BPJS kesehatan akan naik setiap tahunnya, bahkan pada 2024 diprediksi mencapai Rp 77,9 triliun.
//
Hal itu disampaikan Fahmi Idris dalam rapat kerja bersama Komisi IX dan Komisi XI DPR RI dan pemerintah di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/9/2019).
"Proyeksi di 2019-2024 kalau kita melihat ini, artinya kalau kita tidak melakukan upaya-upaya yang bersifat policy mix, artinya meningkatkan iuran kaitannya dengan upaya-upaya bauran kebijakan, maka akan terjadi defisit ini semakin lebar," ucap Fahmi.
Bahkan, ia menyebutkan bahwa di tahun 2020 BPJS akan defisit sebesar Rp 39,5 triliun.
Kemudian pada 2021 sebesar Rp 50,1 triliun, tahun 2022 Rp 58,6 triliun, tahun 2023 Rp 67,3 triliun, serta di tahun 2024 mencapai Rp 77,9 triliun.
Maka dari itu, Fachmi berharap DPR menyetujui besaran kenaikan iuran yang diusulkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu.
"Harapannya dengan perbaikan fundamental iuran yang kemarin dipaparkan, persoalan defisit kita dapat selesaikan dengan lebih struktural," kata Fahmi.
• Tunggu Keputusan Resmi Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan, Pemkab PPU Koordinasi dengan Kacab Balikpapan
• Rencana Kenaikkan Iuran BPJS Kesehatan 100 Persen Mendapat Penolakan Dari Buruh di Bogor
• Harga BBM Naik Mengikuti Iuran BPJS Kesehatan? Simak Penjelasan dari Pertamina Ini
Sebelumnya, Sri Mulyani mengusulkan, iuran BPJS Kesehatan kelas mandiri I naik 100 persen mulai 1 Januari 2020 mendatang.
Dengan kenaikan ini berarti, peserta yang tadinya membayar iuran Rp 80 ribu akan naik menjadi Rp 160 ribu per orang per bulan.
Untuk peserta kelas mandiri II, diusulkan agar iuran dinaikkan dari Rp 59 ribu per bulan menjadi Rp 110 ribu.
Sementara, peserta kelas mandiri III dinaikkan Rp 16.500 dari Rp 25.500 per bulan menjadi Rp 42 ribu per peserta.
Sri Mulyani beralasan kenaikan iuran ini akan membuat kinerja keuangan BPJS Kesehatan semakin sehat.
Hitungannya, kalau kenaikan iuran dilakukan sesuai usulan Kementerian Keuangan dan mulai diberlakukan 1 Januari 2020, kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang selama ini defisit bisa berbalik menjadi surplus Rp 17,2 triliun.
Semua Daerah Alami Defisit
Iuran BPJS Kesehatan Naik, Kepala Cabang Akui Semua Daerah Alami Defisit.
Kepala Cabang BPJS Kesehatan Balikpapan Sugiyanto mengaku belum mendapat kabar soal iuran BPJS Kesehatan naik, pihaknya siap menjalankan regulasi
Diketahui, informasi iuran BPJS Kesehatan naik, sudah beredar di masyarakat.
Bahwa, Pemerintah akan menaikkan iuran program jaminan kesehatan nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan.
Kenaikan iuran itu diusulkan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Kementerian Keuangan.
DJSN mengusulkan iuran untuk PBPU kelas I naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 120.000 per bulan atau naik 50%.
Sedangkan untuk PBPU kelas II, DJSN mengusulkan iurannya naik dari Rp 51.000 per bulan menjadi Rp 75.000 per bulan untuk setiap peserta.
Kenaikan besaran iurannya sekitar 47,05%.
Kepala Cabang BPJS Kesehatan Balikpapan, Sugiyanto mengatakan, hingga saat ini BPJS Kesehatan Cabang Balikpapan belum ada menerima informasi resmi dari BPJS Kesehatan Pusat, soal iuran BPJS Kesehatan naik.
Karena ini bukan kewenangan BPJS Kesehatan melainkan Kementerian Keuangan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
"Selama ini yang tersebar di media sosial itu adalah usulan DJSN dan Kementerian Keuangan.
Kami dari BPJS Kesehatan siap melakukan semua regulasi yang ada," kata Sugiyanto.
Dia pun menyampaikan, Kondisi keuangan BPJS Kesehatan untuk semua daerah memang mengalami defisit.
Karena jika dilihat dari segi iuran yang terkumpul, dan biaya manfaat atau biaya yang dibayarkan ke fasilitas kesehatan lebih banyak dibayarkan ke fasilitas kesehatan.
"Menurut saya ini bukan kenaikkan melainkan penyesuaikan.
Dari pertama berdirinya BPJS Kesehatan iurannya memang belum pas.
Dulu BPJS Kesehatan menetapkan iuran kelas tiga itu senilai Rp 35.000 dan disepakati Rp 25.000," katanya.
Beralih ke Asuransi Swasta
Menteri Keuangan Sri Mulyani menaikkan iuran BPJS Kesehatan dua kali lipat, akibatnya masyarakat mulai memertimbangkan beralih ke asuransi swasta.
Dilansir dari Kompas.com, upaya pemerintah untuk menyelesaikan masalah defisit BPJS Kesehatan terus dilakukan.
Pasalnya, setiap tahun, lembaga tersebut terus mengalami defisit dengan nilai yang terus meningkat.
Bahkan, hingga akhir tahun ini, BPJS Kesehatan diprediksi bakal defisit hingga Rp 32,8 triliun.
Yang terakhir, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bakal menaikkan besaran iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan hingga dua kali lipat.
Banyak pihak pun keberatan dengan langkah pemerintah tersebut.
Pasalnya, besaran kenaikan iuran dinilai terlalu tinggi.
Meski sejak awal tahun, pemerintah pun telah menggaungkan hal ini lantaran besaran iuran BPJS Kesehatan yang sudah terlalu murah (underpriced).
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo pun mengatakan, Peraturan Presiden terkait kenaikan upah ini telah diajukan kepada Presiden Joko Widodo dan akan segera ditandatangani.
Iuran JKN BPJS Kesehatan terakhir kali mengalami kenaikan sejak tahun 2016 lalu.
Sementara, dalam pasal 16i Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan disebutkan, bahwa kenaikan iuran adalah kewajiban yang perlu dilakukan dalam dua tahun sekali.
Namun, untuk kenaikan iuran Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) kelas II dan kelas III, pertimbangan utamanya harus berdasarkan pada kemampuan untuk membayar dan daya beli masyarakat.
Sementara itu, kenaikan iuran kelas I harus didasarkan pada survei kemauan masyarakat untuk membayar.
Masyarakat keberatan Kenaikan besaran iuran JKN dinilai justru membuat masyarakat enggan untuk menggunakan layanan yang diberikan oleh negara tersebut.
Sebab, nilai kenaikan iuran cukup fantastis.
Untuk peserta kelas I naik 100 persen mulai 1 Januari 2020 mendatang.
Artinya, peserta harus membayar Rp160.000 per bulan dari saat ini yang hanya dikenakan Rp 80.000 per bulan.
Kemudian, peserta kelas mandiri II diusulkan naik Rp59.000 per bulan menjadi Rp 110.000 dari posisi sekarang sebesar Rp 51.000 per bulan.
Sementara, peserta kelas mandiri III naik dari Rp 25.500 per bulan menjadi Rp 42.000 per peserta setiap bulannya.
Tanggapan Peserta BPJS
Ristiana Budi, salah satu peserta BPJS Kesehatan mandiri kelas I mengaku sangat keberatan dengan langkah pemerintah ini.
Sebab, dalam sebulan, dirinya harus menanggung iuran untuk empat orang anggota keluarganya.
Setidaknya, dia harus merogoh kocek hingga Rp 640.000 untuk membayarkan iuran JKN BPJS Kesehatan.
"Kalau bayarnya segitu mending enggak ikutan BPJS.
Mending ikutan asuransi yang lain aja," ujar dia ketika berbincang dengan Kompas.com, Kamis (29/8/2019).
Dia menilai langkah pemerintah tersebut bukan menjadi solusi untuk menambal masalah defisit BPJS Kesehatan.
Menurut dia, tak hanya dirinya saja yang merasa keberatan dengan kenaikan besaran iuran yang hingga 100 persen tersebut.
"Kayaknya itu bukan solusi, karena banyak teman-teman yang bakalan stop nggak mau bayar semisal dinaikin deh," ujar dia.
Nada serupa juga diungkapkan oleh peserta BPJS Kesehatan kelas I lainnya, Giri Cahyo.
Menurut dia, dengan naiknya besaran iuran BPJS Kesehatan tidak bakal memperbaiki masalah inti dari lembaga tersebut.
"Merasa terbebani, asuransi swasta akan lebih menarik nantinya," ujar dia.
Tanggapan Anggota DPR Banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang hadir dalam rapat dalam penentuan nasib BPJS Kesehatan beberapa hari yang lalu tak sepakat iuran BPJS Kesehatan naik dua kali lipat seperti yang diusulkan Sri Mulyani.
Menurut mereka, dengan dinaikkannya nilai iuran, peserta justru bakal kian malas membayar, jumlah peserta yang menunggak pembayaran iuran bakal semakin meningkat.
"Setiap kenaikan apapun yang mengalami kenaikan yang cukup drastis harus dimitigasi oleh pemerintah.
Saya tidak sepakat kalau kenaikannya 100 persen," ujar Ichsan Anggota Komisi XI Ichsan Firdaus.
Sebab, masyarakat bisa saja justru lebih memilih menggunakan perusahaan asuransi swasta ketimbang menjadi peserta di BPJS Kesehatan karena perbedaan tarifnya semakin kecil.
Bila itu terjadi, maka lembaga itu akan kehilangan pangsa pasarnya.
"Perlu dilihat apakah masyarakat mampu atau tidak.
BPJS Kesehatan kan bersaing dengan perusahaan asuransi swasta," tegas dia.
Adapun Anggota Komisi IX Mafirion mengatakan, tidak ada artinya iuran BPJS Kesehatan jika tidak ada perbaikan tata kelola lembaga.
"Saya kira usul kenaikan iuran akan sia-sia apabila tidak diikuti dengan tata kelola kita sebagai badan pelayanan publik.
Tata kelola perlu diperbaiki karena itulah sumber masalah yang utama," ujar dia.
Tak Serta Merta Turunkan Defisit Koordinator advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, kenaikan iuran yang diinisiasi oleh menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tersebut tak bisa begitu saja menurunkan defisit BPJS Kesehatan yang sudah terjadi secara menahun.
Sebab, bakal ada risiko penurunan jumlah penerimaan iuran di kelas II dan I akibat besaran kenaikan yang terlampau tinggi.
Sehingga, jumlah penerimaan iuran PBPU berpotensi turun.
"Lalu kenaikan yg signifikan di kelas II dan I ini akan mendorong peserta kelas I dan II turun ke kelas III.
Nah kalau ini terjadi maka potensi penerimaan dari kelas I dan II akan menurun.
Penerimaan PBPU justru akan menurun.
Ini harus dipertimbangkan pemerintah," ujar Timboel ketika dihubungi Kompas.com, Kamis (29/8/2019).
Berkaca dari pengalaman 2016 lalu, pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 19 tahun 2016 menetapkan besaran kenaikan iuran menjadi Rp 30.000.
Berbagai protes pun muncul sebagai bentuk reaksi atas kenaikan tersebut.
Maka sebulan kemudian muncul Peraturan Presiden nomor 28 tahun 2016 di mana besaran iuran kelas III untuk peserta mandiri menjadi Rp 25.500.
Timboel menilai, seharusnya kenaikan iuran untuk peserta mandiri tidak serta merta dilakukan.
Pemerintah perlu untuk melakukan pengkajian terlebih dahulu kepada publik.
"Nah kenaikan yang tinggi berpotensi menciptakan protes masyarakat.
Khawatir kejadian 2016 terulang hendaknya kenaikan iuran untuk mandiri harus dikaji dan diuji publik dulu.
Jangan langsung-langsung aja," ujar dia.
Selain itu, juga perlu dilakukan perbaikan dan kontrol yang lebih terhadap fasilitas kesehatan (faskes) yang melakukan tindak kecurangan.
Selain itu, perlu juga dilakukan penertiban badan usaha yang melakukan kerja sama dengan badan pemerintah tersebut.
Dari temuan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terdapat 50.475 badan usaha yang belum tertib bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Ada sekitar 528.120 pekerja yang belum didaftarkan oleh 8.314 badan usaha.
Selain itu, ada 2.348 badan usaha yang tidak melaporkan gaji dengan benar.
"Kenaikan iuran tdk otomatis menyelesaikan defisit karena defisit dikontribusi juga oleh kegagalan mengendalikan biaya dan menghentikan fraud di RS.
Jadi menaikan iuran harus didukung pengendalian biaya khsusunya fraud-fraud," ujar Timboel. (*)
• Iuran BPJS Kesehatan Naik Dua Kali Lipat, Warga Mulai Berpikir Beralih ke Asuransi Swasta
• Cara Menkeu Sri Mulyani Atasi Defisit BPJS Kesehatan, Iuran Bulanan Dinaikan Sebesar Ini
• INI SEBAB Iuran BPJS Kesehatan Naik hingga 100 Persen, Berlaku tak Lama Lagi
• Meninggal Dunia di Luar Hubungan Kerja, Peserta BPJS Ketenagakerjaan Dapat Santunan Rp 24 juta
• Iuran BPJS Kesehatan Akan Dinaikkan, Kelas Tiga Dari Rp 25.500 Jadi Rp 42 Ribu