Opini
Pembalajaran Sosial Solusi Atasi Karhutla Kaltim
KEBAKARAN hutan dan lahan (Karhutla) menjadi masalah tambahan bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo di tengah tahun 2019 ini.
Oleh: Dr Pitoyo M.IKom
Praktisi Media dan Pemerhati Komunikasi Antarmanusia
TRIBUNKALTIM.CO - KEBAKARAN hutan dan lahan (Karhutla) menjadi masalah tambahan bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo di tengah tahun 2019 ini.
Sejak bulan Agustus 2019, media massa diisi dengan berita tentang kebakaran.
Pada tengah Agustus 2019, terjadi aksi bakar di Papua yang disulut oleh tindakan yang diduga rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.
Aksi itu menyulut aksi bakar gedung pemerintah dan BUMN, PT Telkom. Belum usai Papua, muncul aksi bakar hutan.
• Viral Langit Merah di Muaro Jambi Lantaran Sedang Karhutla, BMKG Sebut Hamburan Mie
• Penanganan Karhutla di Lokasi Ibu Kota Baru RI, Bangun Posko Dekat Titik Api, Kehausan Habis Makanan
Kasus bakar hutan ini sebenarnya bukan hal baru karena sudah mendarah daging di negeri yang hutannya dianggap sebagai paru paru dunia ini.
Hutan yang terbentang di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, ini terkesan rutin terbakar ketika musim kemarau tiba.
Kebakaran hutan di Indonesia ini menjadi masalah nasional dan regional ASEAN, mengingat asapnya juga menyebar ke negeri tetangga, Brunai Darussalam, Malaysia dan Singapura.
Ada kesan pemerintah Indonesia kurang serius melakukan upaya pencegahan kebakaran hutan ini.
Hal itu nampak dengan adanya undang-undang yang melindungi aksi pembakaran hutan. UndangUndang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 69 ayat 1 (h) menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara dibakar.
Pada ayat 2 undang-undang tersebut disebutkan bahwa ketentuan terkait ayat 1 (h), memperhatikan dengan sungguhsungguh kearifan lokal di daerah masingmasing.
Ayat 2 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup itu menjadi pintu masuk bagi pemerintah daerah untuk menafsirkan sendiri dengan mengizinkan pembukaan lahan dengan cara membakar.
Kendati pembakaran hutan diberi syarat-syarat tertentu melalui peraturan gubernur dan izinnya dilimpahkan kepada lurah, camat hingga ketua rukun tetangga. (tribunnews.com/2015/10/29)
Pembakaran hutan ini juga bukan tindakan iseng, namun sebagai upaya untuk membuka lahan untuk kepentingan investasi.
Ada kata investasi, sehingg membuat pemerintah, pusat hingg daerah menjadi kurang tegas mengambil kebijakan.
Sebagaimana diketahui, pemerintah sangat mengharapkan adanya investasi asing di negeri ini, untuk kepentingan pembangunan di negeri ini.
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, merupakan pulau yang ditawarkan kepada investor asing. Pulau besar tersebut, memang memiliki kekanyaan alam yang besar.
Kebakaran hutan di Kalimantan menjadi semakin rumit, karena yang terbakar bukan hanya pepohonan yang berdiri rimbun di atas permukaan tanah.
Namun api kekabaran hutan ini justru masuk ke dalam tanah, sehingga kebakaran yang terjadi adalah secara horizontal, pepohonan, dan vertikal, adalah akar dan dalam tanah.
Ini terjadi karena, tanah di lokasi kebakaran hutan adalah tanah gambut yang memiliki kandungan organik tinggi. Tanah gambut ini sebenarnya selalu berdekatan dengan air, sehingga potensi kebakaran dapat diminimalkan.
• Berbekal Ember dan Dahan Pohon, Begini Cara Prajurit TNI di Perbatasan Padamkan Karhutla
• Bekas Karhutla di Lahan Gambut, Akan Ditanami Ubi Kayu dan Nanas
Kenyataannya, lingkungan di sekitar tanah gambut banyak berubah, dari lingkungan berair menjadi kering. Maka, pada saat kemarau, ada setitik api saja bakal membakar semua lahan.
Perhatian masyarakat bukan hanya terfokus pada kebakaran hutan, namun pada rencana pemerintah pusat yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo yang ingin memindahkan ibukota Jakarta ke Penajam Paser Utara (PPU) Kalimantan Timur.
Keputusan Presiden memindahkan ibu kota tersebut sudah diketok palu, artinya sudah tidak ada kata mundur. Tentu saja pilihannya sudah dipertimbangkan secara detail dan bervisi jauh ke depan.
Salah satunya pilihan di PPU karena fasilitas infrastruktur yang sudah disiapkan kendati belum sempurna.
Selama ini Kalimantan juga dikenal sebagai pulau yang tidak tersentuh bencana gempa bumi, dan tidak memiliki gunung berapi sehingga potensi bencana alam relatif minim.
Satu-satunya bencana yang sering terjadi adalah kebakaran hutan. Kini ibukota baru di Kalimantan Timur ini, justru dikepung api, karena kebakaran hutan di PPU justru paling parah di Kaltim. (tribunkaltim.co, 16/09/2019).
Bencana kebakaran hutan, boleh dibilang 90 persen terjadi karena ulah tangan manusia sehingga tindakan preventifnya lebih mudah dibanding bencana alam.
Mengubah perilaku manusia yang sudah terbiasa membuka lahan dengan cara membakar, menjadi dalam betuk menebang pohon tentu bukan hal mudah.
Selain membutuhkan waktu yang lama, juga membutuhkan biaya yang lebih besar.
• Polres Paser Beberkan Penyebab Karhutla Kalimantan Timur, Buang Puntung Rokok Sembarangan
• Polres Paser Beberkan Penyebab Karhutla Kalimantan Timur, Buang Puntung Rokok Sembarangan
Albert Bandura, seorang peneliti perilaku manusia mengatakan perlu empat tahapan agar manusia dapat melakukan proses belajar menjadi lebih baik, dari sebelumnya.
Keempat langkah tersebut: atensi/perhatian, retensi/mengingat, reporduksi gerak, dan motivasi.
Menurut Bandura, Pertama, Atensi / Perhatian. Perlunya pembelajaran kepada masyarakat tentang tata cara membuka lahan baru yang masih dalam bentuk hutan tanpa membakar agar menjadi perhatian masyarakat.
Kedua, Retensi/mengingat. Setiap upaya untuk memperbaiki perilaku tentu akan tersimpan di memori manusia. Guna penyimpanan pesan di memori pikiran manusia memerlukan metode penyandian atau berupa simbol.
Penyandian dalam simbol verbal dipermudah oleh cara orang berpikir secara aktif berdasarkan tindakan yang mereka amati.
Ketiga, reproduksi gerak. Setelah dalam pikiran manusia menyimpan cara terbaik untuk melakukan pembukaan lahan tanpa membakar, maka manusia secara individu maupun kelompok akan mengubah cara dan membuat langkah baru yang sesuai dengan anjuran pemerintah melalui tokoh masyarakatnya.
Sekaligus mengembalikan lingkungan tanah gambut yang berair dan menjaga agar tidak kekeringan lagi.
Keempat, penguatan dan motivasi. Masyarakat yang sudah mulai bersedia mengubah perilakunya tersebut, perlu terus menerus diberi motivasi, agar tidak kembali pada perilaku lamanya, yakni membakar hutan, untuk membuka lahan baru.
Mengacu pada teori Bandura ini, untuk mengubah perilaku manusia agar tidak melakukan pembakaran hutan dengan cara melatih dan melihat repsonnya. Respon akan positif bila ada reward (hadiah) , dan punishment (hukuman).
Sebenarnya pemerintah tidak terlalu sulit melakukannya hanya membutuhkan ketegasan pemerintah dari pusat hingga daerah dan disosialisasikan hingga perangkat pemerintah terbawah yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, yakni Rukun Tetangga atau kepala dusun bahkan kepala suku.
Bila pemerintah melakukannya secara seius, maka kebakaran hutan yang menjadi ancama utama ibukota baru di Penajam Paser Utara, akan teratasi dan bisa menjadi contoh bagi daerah lainnya di negeri ini. Semoga. (*)