Semua Aspek Sudah Diperhitungkan, Begini Cara Warga Adat Dayak Berladang

Sejumlah tokoh adat masyarakat Kabupaten Berau, yang tergabung dalam lembaga adat Kung Kemul mendatangi Polres Berau

TRIBUN KALTIM/ GEAFRY NECOLSEN
Aktivitas membakar lahan untuk membuka lahan pertanian sudah dilakukan secara turun temurun oleh warga suku Dayak di Kabupaten Berau. Banyak aspek yang dipertimbangkan. Jenis tanaman, luas lahan semua sudah diperhitungkan sebelum lahan mulai dibuka untuk menghindari kerusakan hutan. 

TRIBUNKALTIM.CO, TANJUNG REDEB – Semua Aspek Sudah Diperhitungkan, Begini Cara Warga Adat Dayak Berladang

Sejumlah tokoh adat masyarakat Kabupaten Berau, yang tergabung dalam lembaga adat Kung Kemul mendatangi Polres Berau dan Wakil Bupati Berau, Agus Tantomo agar memberikan diskresi atau kebijakan bagi para petani yang bermukim di wilayah pedalaman.

Khususnya bagi masyarakat adat Dayak yang selama ini melakukan aktivitas ladang berpindah. Masyarakat Dayak dikenal dengan kearifan dan kesederhanaannya. Mereka melakukan segala sesuatu secukupnya, sesuai kebutuhan hidupnya.

Soroti Perusahaan Tambang, Gubernur Kaltim Isran Noor Bandingkan Dana CSR Berau Coal, KPC, dan MHU

Jarak Pandang Sudah di Atas 5 Kilometer, BMKG Berau Mengakhiri Peringatan Dini Kabut Asap

Kapolres Berau: Aturan Bakar Lahan Jangan Sampai Jadi Tameng Oknum Tak Bertanggung Jawab

Wakil Bupati Berau Usulkan Perbup Tentang Tata Cara Bakar Lahan untuk Pertanian, Ini Alasannya

Masyarakat Dayak dikenal enggan melakukan eksploitasi hutan secara berlebihan. Karena hingga sekarang, mereka masih mengandalkan hasil hutan dari berburu, berladang di tanah kelahiran mereka.

Ketua Lembaga Adat Kung Kemul, Edwin Sopian mengatakan, masyarakat adat Dayak dalam kegiatan bertani dan berlandang, ada waktu-waktu tertentu.

“Saat musim kemarau ini memang waktunya membuka lahan, (dengan cara) dibakar,” kata Edwin kepada Tribunkaltim.co.

Namun dalam proses bercocok tanam ini, semua aspek sudah diatur dalam hukum adat Dayak.

“Kami sudah sampaikan ke masyarakat kami, khususnya (suku) Dayak, agar tidak lepas dari aturan yang ada. Jangan sampai orang Dayak lupa dengan adatnya,” ujarnya.

Aturan adat dalam bercocok tanam ini biasanya diawali dengan berembuk bersama, kemudian mengajukan izin kepada ketua adat dan kepala kampung.

Dan bercocok tanam biasanya dilakukan secara gotong royong, untuk saling membantu dan saling mengawasi sebaran api, jika cara ini yang dipilih.

Termasuk luasan lahan yang akan dibakar pun disampaikan dalam proses berembuk tadi, lengkap dengan nama-nama warga yang membantu proses pembukaan lahan.

Mereka akan memperhitungkan luasan lahan dan jumlah orang yang bekerja dalam proses pembukaan lahan ini.

Bahkan dalam proses bercocok tanam ini, jenis tanaman dan jumlah bibit yang akan ditanam pun dihitung dan diketahui bersama.

“Biasanya bibit itu mereka sediakan dalam satuan kaleng (yang tidak diketahui volumenya), berapa kaleng mau tanam, misalnya 2 kaleng atau 3 kaleng, biasanya satu kaleng itu sudah ada ketentuan luas lahannya,” jelas Edwin.

Terkait pembakaran ladang untuk pertanian, Lembaga Adat Dayak Kung Kemul kata Edwin juga turut membantu komunikasi aparat kemanan dan masyarakat adat Dayak.

“Di tempat kami di (Kecamatan) Kelay atau Segah, kami selalu membantu sosialisasi aparat keamanan (dari TNI/Polri).

Kami ikut membantu menjelaskan adat istiadat kami. Kami jelaskan, apa yang kami lakukan itu tidak melanggar adat,” imbuhnya.

Dalam adat Dayak, warga yang membakar lahan, kemudian api melahap lahan milik tetangganya, maka akan dikenai sanksi adat.

“Kalau ada kerugian, misalnya saya bakar di ladang saya. Tapi tetangga saya merasa dirugikan karena lahanya ikut terbakar, ada hukum adatnya.

Karena tidak ada irigasi di area perbukitan, masyarakat di daerah pedalaman umumnya bertani dengan pola ladang berpindah. Ladang yang sudah dipanen biasanya ditinggal dalam beberapa musim untuk mengembalikan kesuburan tanah dan petani mencari lahan baru yang belum pernah ditanami.
Karena tidak ada irigasi di area perbukitan, masyarakat di daerah pedalaman umumnya bertani dengan pola ladang berpindah. Ladang yang sudah dipanen biasanya ditinggal dalam beberapa musim untuk mengembalikan kesuburan tanah dan petani mencari lahan baru yang belum pernah ditanami. (TRIBUN KALTIM/ GEAFRY NECOLSEN)

Kung Kemul biasanya menghadirkan tokoh adat untuk musyawarah bersama tetua adat (menentukan sanksi) agar tidak bertetangan dengan (hukum) adat Dayak,” katanya lagi.

Kung Kemul mengklaim, selama ini pihaknya tidak pernah menemukan ada kasus kebakaran hutan dan lahan yang melibatkan masyarakat adat.

Pasalnya, kata Edwin, luas lahan yang dibakar umumnya kurang dari dua hekatre. Bahkan sangat jarang sampai satu hektare.

“Tidak mungkin masyarakat kami berladang seluas-luasnya. Karena kalau sebesar itu (lebih dari satu hektare) pasti membutuhkan tenaga ratusan orang,” ujarnya.

Selama ini masyarakat adat Dayak bercocok tanam hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok, tidak lebih dari itu. Itu sebabnya, ladang yang dimiliki masyarakat adat tidak ada yang sampai berhekatr-hektare luasnya.

“Kalau terkait perkebunan sawit (yang biasanya membutuhkan lahan yang sangat luas), kami tidak tahu dan tidak ikut campur.

Karena masyarakat kami berlandang itu biasanya hanya menanam padi, jagung atau bahan makanan saja,” ungkapnya.

Edwin menambahkan, belum lama ini Kung Kemul menemui Wakil Bupati Berau dan jajaran Polres Berau untuk meminta kebijakan terkait pembukaan lahan dengan cara dibakar.

Masyarakat adat Dayak, menurut Edwin selalu diresahkan dengan prosedur izin pembakaran.

“Karena masyarakat adat ini kebanyakan tidak mengenyam pendidikan. Apalagi orang-orang tua, kalau yang muda kami sosialisasikan mereka sudah paham.

Minimal mereka melapor ke kepala kampung. Selama ini mereka tahunya ini lahan mereka, ya mereka bakar untuk buka ladang, untuk hidup dan untuk makan mereka,” jelasnya.

Diberitakan sebelumnya, Wakil Bupati Berau, Agus Tantomo mengusulkan peraturan bupati tentang tata cara membuka lahan pertanian dengan cara dibakar.

Karena menurutnya, aktivitas pembakaran lahan ini tidak dapat dihindari.

“Dari pada kucing-kucingan, lebih baik dibuatkan aturan yang jelas,” kata Agus Tantomo. Selama ini, para petani di daerah pedalaman melakukan aktivitas pembukaan lahan dengan cara dibakar.

Kisah Kapolres Berau Hadapi Kabut Asap Karhutla, Setiap Malam Dapat Peringatan dari Polda Kaltim

Hujan Turun, Kabut Asap Berkurang, Warga Kabupaten Berau Suka Cita Ikut Car Free Day

Polres Berau Amankan Ratusan Poket Narkoba dari Dua Orang Warga di Kampung Pegat Bukur

Mau Liburan Gratis di Pulau Maratua? Yuk Temui Para Wartawan di Berau Expo

Minimnya minat warga yang menjadi petani, kebun atau ladang yang tidak punya akses jalan dan mahalnya biaya sewa alat berat menjadi alasan, mengapa pembakaran lahan ini dilakukan.

Tapi aktivitas masyarakat ini bukan tanpa dasar, buktinya ada UU PPLH dan Permen LH (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup) nomor 10/2010, yang mengatur tata cara pembukaan lahan dengan cara dibakar.

Seperti yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Permen LH 10/2010: Masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa.

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved