PDIP Nilai Kabar Ahok dan Antasari Azhar Jadi Dewan Pengawas KPK Picu Sentimen Anti Revisi UU KPK
Politikus PDI Perjuangan Masinton Pasaribu menilai isu Ahok dan Antasari Azhar jadi Dewan Pengawas KPK hanya picu sentimen anti revisi UU KPK
TRIBUNKALTIM.CO - PDI Perjuangan Kabar Ahok dan Antasari Azhar Jadi Dewan Pengawas KPK Hanya Munculkan Sentimen Anti Revisi UU KPK.
Diketahui, belakangan marak berembus isu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Antasari Azhar bakal menjadi Dewan Pengawas KPK.
Namun, hampir semua kalangan menepis isu masuknya Ahok dan Antasari Azhar dalam Dewan Pengawas KPK.
• UU KPK Dianggap Tidak Sah, Sidang Pengesahan Disebut tak Penuhi Kuorum
• Disinggung soal UU KPK, Begini Jawaban Tegas dari Mulan Jameela
• Diungkap Mahfud MD, Ini Poin UU KPK yang Terang-terangan Abaikan Pesan Presiden Jokowi
Kabar tersebut hanyalah hoaks.
Ramai di media sosial dan pesan aplikasi WhatsApp beredar sebuah unggahan konten yang memuat foto mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar, disebut telah dipilih sebagai Dewan Pengawas KPK.
Foto itu disertai tulisan, "
Selamat dan Sukses Kami Ucapkan atas Terpilihnya Basuki Tjahaja Purnama dan Antasari Azhar Sebagai Dewan Pengawas KPK. Musnahkan Kelompok Taliban di tubuh KPK Agar tidak dijadikan untuk kepentingan politik".
Politikus PDI Perjuangan Masinton Pasaribu menilai konten semacam itu merupakan informasi palsu atau hoaks.
Anggota DPR RI ini menegaskan, hoaks itu sengaja disebarkan pihak tertentu guna membangun sentimen anti revisi Undang-undang KPK.
"Itu informasi hoaks yang sengaja dibunyikan oleh pihak tertentu untuk membangun sentimen anti revisi UU KPK," ujar anggota Komisi III DPR RI pada periode 2014-2019 lalu ini kepada Tribunnews.com, Senin (7/10/2019).
Aktivis '98 itu menegaskan, terlalu jauh mendesain komposisi orang-orang yang akan mengisi Dewan Pengawas KPK.
Karena revisi UU KPK saja belum disahkan menjadi Undang-undang.
"Belum ada dasar hukumnya dalam bentuk Perundang-undangan dan peraturan pemerintah," jelasnya.
Hal senada juga disampaikan Peneliti Indonesia Corruption Watch ( ICW) Kurnia Ramadhana.
Ketentuan Dewan Pengawas KPK memang baru dicantumkan setelah DPR dan pemerintah melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
"Banyak sekali hoaks yang beredar ya, di media sosial. Padahal UU KPK yang baru (hasil revisi) kan belum disahkan, dan belum bisa diterapkan," kata Kurnia saat ditemui di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Minggu (6/10/2019), seperti dikutip dari Kompas.com.
Pengesahan baru dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR pada 17 September 2019.
Saat ini, UU KPK hasil revisi baru saja dikembalikan Istana Kepresidenan ke DPR karena ada salah ketik.
Dengan demikian, informasi bahwa Ahok dan Antasari telah dipilih sebagai Dewan Pengawas KPK jelas hoaks.
"Maka dari itu harusnya tidak ada berita-berita yang mengatakan tentang adanya anggota dewan pengawas yang baru atau yang sudah dipilih," ujar Kurnia.
ICW Merespon
Beredar informasi bahwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, bersama Antasari Azhar menjadi Dewan Pengawas KPK.
Diketahui, revisi UU KPK membuat lembaga antirasuah itu bakal memiliki Dewan Pengawas KPK.
Dilansir dari Kompas.com, di media sosial dan pesan aplikasi WhatsApp beredar sebuah unggahan konten yang memuat foto mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar.
• Diungkap Mahfud MD, Ini Poin UU KPK yang Terang-terangan Abaikan Pesan Presiden Jokowi
• Baru Dilantik, 4 Anggota DPR RI Ini Diperiksa KPK Terkait Dugaan Suap, 1 Orang dari PDIP, 3 dari PKB
• Andi Arief: Jokowi akan Keluarkan Perppu KPK dalam Waktu Dekat, tapi Isinya Belum Tentu Memuaskan
Keduanya disebut telah dipilih sebagai Dewan Pengawas KPK.
Foto itu disertai tulisan, "Selamat dan Sukses Kami Ucapkan atas Terpilihnya Basuki Tjahaja Purnama dan Antasari Azhar Sebagai Dewan Pengawas KPK.
Musnahkan Kelompok Taliban di tubuh KPK Agar tidak dijadikan untuk kepentingan politik".
Peneliti Indonesia Corruption Watch atau ICW Kurnia Ramadhana menilai konten semacam itu merupakan informasi palsu atau hoaks.
Kurnia pun mengungkap sejumlah alasan kenapa informasi semacam itu patut disebut sebagai hoaks.
"Banyak sekali hoaks yang beredar ya, di media sosial.
Padahal UU KPK yang baru (hasil revisi) kan belum disahkan, dan belum bisa diterapkan," kata Kurnia saat ditemui di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Minggu (6/10/2019).
Ketentuan Dewan Pengawas KPK memang baru dicantumkan setelah DPR dan pemerintah melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Pengesahan baru dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR pada 17 September 2019.
Saat ini, UU KPK hasil revisi baru saja dikembalikan Istana Kepresidenan ke DPR karena ada salah ketik.
Dengan demikian, informasi bahwa Ahok dan Antasari Azhar telah dipilih sebagai Dewan Pengawas KPK jelas hoaks.
"Maka dari itu harusnya tidak ada berita-berita yang mengatakan tentang adanya anggota dewan pengawas yang baru atau yang sudah dipilih," ujar Kurnia.
Kurnia juga mempertanyakan muatan konten tersebut bahwa ada kelompok Taliban di KPK.
Selama ini, Taliban dikenal sebagai kelompok berkuasa di Afghanistan yang memperlakukan ajaran radikal.
"Pihak yang menuding isu Taliban dan lain-lain itu harusnya yang bersangkutan bisa menjelaskan Taliban seperti apa?
Buktinya apa?
Tudingan itu apakah ada pembuktian yang dilakukan?" kata Kurnia.
Selembar kain hitam yang menutupi logo KPK tersibak saat berlangsungnya aksi dukungan untuk komisi anti rasuah itu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Ia menilai, isu-isu semacam itu dihembuskan pihak tertentu yang tidak suka dengan perkembangan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.
Kurnia juga memandang, isu itu tidak sehat karena menggeser perdebatan dari persoalan penyelamatan KPK yang lebih penting ke persoalan yang tidak substansial.
"Ini kan tidak baik ya untuk pencerdasan masyarakat.
Kami berharap masyarakat selalu cek beberapa pemberitaan terkait tudingan kepada KPK.
Banyak sekali media kredibel yang dijadikan rujukan untuk menilai apakah informasi narasi itu benar atau salah," kata dia.
"Jangan sampai terjebak pada narasi pihak tertentu yang memang tidak senang dengan KPK yang mengeluarkan pendapat yang tidak ada obyektivitasnya.
Hanya pendapat yang subyektif sehingga masyarakat justru dikaburkan pandangannya," ujar Kurnia.
Ia meminta masyarakat tak terlibat dalam perdebatan isu yang tidak substansial dan validasinya diragukan.
Komentar Mahfud MD
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD menuturkan ada poin di dalam Undang Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi yang berbeda dengan keinginan presiden.
Dikutip TribunWow.com, hal itu diungkapkan Mahfud MD saat menjadi narasumber dalam Indonesia Lawyers Club (ILC), yang diunggah dalam saluran YouTube ILC, Selasa (1/10/2019).
Mulanya Mahfud MD menyakinkan bahwa dalam melakukan penerbitan Perppu dengan judicial review tak akan bisa terlaksana.
• Andi Arief: Jokowi akan Keluarkan Perppu KPK dalam Waktu Dekat, tapi Isinya Belum Tentu Memuaskan
• Para Tokoh Tak Akan Lagi Temui Jokowi soal Perppu KPK, Mochtar: Yang Kita Sampaikan Semoga Didengar
• Beri Ancaman Andai 14 Oktober Jokowi Tak Terbitkan Perppu, Ngabalin Beri Nasihat Ini ke Mahasiswa
• Pengamat Yakin Jokowi Bisa Atasi Tekanan Parpol Soal Perppu UU KPK, Ada yang Harus Diingatkan
Judicial review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan.
Dalam praktiknya, judicial review (pengujian) undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun Mahfud MD melihat hal itu sia-sia lantaran MK tak memiliki hak untuk membatalkan UU yang tidak bertentangan dengan konstitusional.
"Kalau dibahas biasa (judicial review) yang dipertentangkan tetap kalah di DPR karena partainya sudah setuju. Padahal rakyat itu menghendaki bukan itu. Pasti enggak ada gunanya. Judicial review enggak mungkin lagi," ujar Mahfud MD.
"Karena Mahkamah Konstitusi dilarang membatalkan undang-undang yang tidak disukai rakyat selama tidak bertentangan dengan konstitusi, ini tidak disukai oleh rakyat tapi tidak bertentangan dengan konstitusi," ujarnya.
"Ini yang disebut dengan open legalcy policy. Saya dulu menolak untuk membatalkan undang-undang penodaan agama, meskipun saya tahu itu jelek, tetapi itu konstitusional," kenangnya saat dahulu menjabat sebagai ketua MK.
Dirinya sangat yakin jika UU KPK dibawa ke MK tak akan diterima.
"Nah hal yang konstitusional tapi jelek itu yang merubah legislatif. Bukan hanya MK. Ini kalau dibawa ke MK pasti MK akan bilang, lha ini urusan legislatif, pasti ditolak. Kok bermimpi orang kalau ke MK," jelasnya.
Menurut Mahfud MD, jika pun terlaksana bisa dibatalkan oleh MK, hanya sebagian poin yang kecil.
"Saya mantan ketua MK menangani hal-hal yang begini, pasti ditolak. Paling dikabulkan satu bagian-satu bagian. Empat belas masalah itu, paling yang dikabulkan dua yang kecil-kecil. Dikabulkan sebagian, selalu begitu karena MK enggak berani, enggak boleh," ungkap Mahfud MD.
Dirinya lantas mengatakan saat itu ada usulan yang bagus dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk UU KPK, yakni KPK tak perlu koordinasi dengan Kejaksaan Agung (KA).
"Misalnya yang jadi masalah besar itu, misalnya presiden mengusulkan begini, dan bagus sekali. Bahwa penuntutan oleh KPK tidak usah koordinasi dengan kejaksaan Agung, itu bagus sekali," ujar Mahfud MD.
Disebutkannya, saat itu justru yang keluar tak seperti yang diusulkan.
Justru dalam isi UU KPK revisi menghapus wewenang penyidik KPK.
Mahfud MD lantas mengatakan pesan presiden tak diikuti dalam pembentukan UU KPK tersebut.
"Tapi yang keluar, KPK yang penyidik dan penuntut dicoret komisionernya, malah lemah, itu enggak ikut. Pesennya presiden enggak diikuti. Wong presiden minta agar tidak ada koordinasi, malah dicabut haknya. Nah ini kan keliru," sebut Mahfud MD.
Kembali ia mengatakan bahwa pengujian UU KPK itu jika dibawa ke MK akan dikembalikan kewenangannya ke DPR.
"Kalau dibawa ke Mahkamah Konstitusi, MK bakal bilang 'Lah itu kan DPR, jangan diubah di sini, di sana'. Lah kalau MK boleh membatalkan undang-undang yang tidak disukai orang, semua UU dibatalkan secara sewenang-wenang oleh MK," paparnya.
"MK jangan membatalkan hal yang jelek tapi tidak inkonstitusional. Dia hanya pilihan politik hukum saya kembalikan saja ke DPR," pungkas Mahfud MD. (*)