Akademisi Universitas Mulawarman Nilai Upaya Mencegah Proses Penyidikan KPK Melanggar Hukum
Akademisi Universitas Mulawarman , Herdiansyah Hamzah menilai upaya mencegah proses penyidikan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
TRIBUNKALTIM.CO,SAMARINDA -Akademisi Universitas Mulawarman , Herdiansyah Hamzah menilai upaya mencegah proses penyidikan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melanggar hukum.
Akademisi yang tergabung dalam Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), menyorot kasus korupsi terkini yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut pengurus SAKSI Fakultas Hukum Unmul, Herdiansyah Hamzah, banyak isu yang mengambang terkait operasi tangkap tangan Komisioner KPU Wahyu Setiawan beberapa hari lalu yang memancing rasa penasaran publik.
Salah satunya adalah terkait informasi upaya penghalang-halangan penyidik KPK, dalam melakukan upaya penyitaan, penggeledahan,
penyegelan, serta penangkapan terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa OTT tersebut.
Dosen yang akrab disapa Castro tersebut mengungkapkan, tindakan mencegah, merintangi atau menggagalkan proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK,
dapat dikategorikan sebagai kejahatan merintangi proses hukum (obstruction of justice), sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
• Dua Staf Hasto Diduga Terlibat OTT Wahyu Setiawan, Begini Jawaban Sekjen PDIP, Singgung Hal Ini
• Operasi Tangkap Tangan di Pasuruan, KPK Amankan Walikota serta Uang Rp 120 Juta
• Kini DPO KPK, Harun Masiku Penyuap Komisioner KPU di Mata Sekjen PDIP Hasto: Dia Sosok yang Bersih
• KPK Batal Segel Ruang Hasto Kristiyanto, Begini Faktanya
• 2 Staf Anak Buah Megawati Terseret OTT KPK, Nama Sekjend PDIP Hasto Kristiyanto Mencuat di Twitter
"Kejahatan obstruction of justice ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit 150 juta dan paling paling banyak 600 juta," kata Castro melalui keterangan tertulis, Minggu (12/1/2020).
SAKSI Fakultas Hukum Unmul menilai, ada dua peristiwa yang diduga mengarah kepada tindakan merintangi proses hukum (obstruction of justice) berdasarkan ketentuan Pasal 21 UU Tipikor tersebut.
Pertama, dugaan tindakan penghalangan terhadap penyidik KPK saat berupaya melakukan penyitaan, penggeledahan, dan penyegelan kantor PDI-P yang diduga berkaitan erat dengan OTT ini.
Kedua, dugaan tindakan penghalangan terhadap penyidik KPK saat berupaya melakukan penangkapan seorang politisi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), yang diduga peran penting dalam peristiwa OTT ini.
Berdasarkan situasi tersebut, SAKSI Fakultas Hukum Unmul menyatakan sikap yang terdapat empat poin.
Pertama, SAKSI Fakultas Hukum Unmul menilai KPK harus memiliki sikap keberanian untuk segera menetapkan tersangka dan menangkap siapapun,
termasuk elit politik dari partai berkuasa, yang diduga terlibat dalam peristiwa OTT ini.
Kedua, KPK juga diminta harus berani menjerat siapapun yang merintangi proses hukum (obstruction of justice),
dengan ketentuan Pasal 21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketiga, SAKSI Fakultas Hukum Unmul mendesak untuk dilakukannya evaluasi terhadap desain penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan,
yang cenderung birokratis serta tidak efektif dan efisien dalam pelaksanaan OTT.
Keempat, organisasi para akademisi tersebit mengajak kepada seluruh kalangan masyarakat sipil (civil society organization) untuk memberikan dukungan kritis kepada KPK,
dalam makna memberikan sokongan ketika KPK dilemahkan, namun juga berani melontarkan kritik ketika KPK keluar dari koridor amanah rakyat.
Apalagi, kasus tersebut melibatkan persekongkolan antara oknum dalam tubuh Partai Politik, Calon Anggota Legislatif, dan salah satu komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Wahyu Setiawan Ditangkap KPK
Sementara itu, kabar gemparkan Komisi Pemilihan Umum salah satu personelnya tersandung persoalan hukum dugaan korupsi.
Kali ini KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Wahyu Setiawan.
Bahkan kabarnya lagi dikait-kaitkan adanya orang partai politik.
Setelah lama tak melakukan operasi tangkap tangan, Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) kembali melakukan langkah serupa pada 7 sampai 9 Januari 2020.
Tak tanggung-tanggung, dua operasi berhasil menangkap dua pejabat penting.
Satu Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan.
Baca Juga:
• Nagara Rimba Nusa Jadi Juara I Sayembara Desain Ibu Kota Baru, Berikut Daftar Pemenang dan Desain
• Selain Resmikan Tol dan Lihat Ibu Kota Baru di Penajam, Jokowi Bakal Lakukan Ini di Balikpapan
• 3 Juara Sayembara Desain Ibu Kota Baru Bersinergi, Jadwal Pelaksanaan Konstruksi Fisik di Sepaku
• Inilah Pemenang Sayembara Desain Ibu Kota Baru, Tema Nagara Rimba Nusa Jadi Juara I
Satu lagi, Bupati Sidoarjo Saiful Ilah.
Dengan hasil operasi tersebut, KPK seakan menjawab keraguan publik pasca-berlakunya Undang-Undang (UU) KPK yang baru, UU Nomor 19 Tahun 2019.
UU yang dinilai banyak pihak akan melemahkan kerja penindakan KPK, termasuk dalam melakukan operasi tangkap tangan (OTT).
Meski demikian, ada yang janggal dalam OTT KPK di era kepemimpinan Ketua KPK yang baru, Firli Bahuri.
Ini terutama saat OTT terhadap Wahyu Setiawan.
Jawaban dari KPK atas kejanggalan itu pun tidak meyakinkan sehingga membuat kejanggalan yang ada justru semakin janggal.
Kejanggalan pertama terkait kehadiran personel KPK di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Perjuangan (DPP PDI-P), kawasan Menteng, Jakarta Pusat, sejak Kamis (9/1/2020) pagi.
Wahyu ditangkap KPK di Jakarta pada Rabu (8/1/2020) karena diduga menerima suap.
Pimpinan PDI-P mengakui ada upaya penggeledahan dari KPK.
Baca Juga:
• Pasca Batu Bara Tumpah di Perairan Muara Berau, Begini Tanggapan Kapolres Kukar
• Video Viral Tongkang Jebol, Batu Bara Tumpah ke Laut di Muara Berau Kukar, Polisi Mulai Telusuri
• Bupati Sebut Berau Sedang Galau, Berkali-kali Dipukul Harga Batu Bara, Pemkab Seriusi Pariwisata
• Kapal Tongkang Bersenggolan di Perairan Teluk Balikpapan Ratusan Ton Batu Bara Nyaris Tumpah ke Laut
Namun, PDI-P menolaknya karena penggeledahan tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku.
”Informasinya, penggeledahan di ruangan tersebut tidak dilengkapi dengan bukti-bukti yang kuat.
Selain itu, tidak memenuhi prosedur karena tidak ada surat izin penggeledahan,” kata Ketua DPP PDI-P Djarot Saiful Hidayat.
Sementara Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar menepis penggeledahan itu.
Kehadiran petugas KPK di DPP PDI-P bukan untuk penggeledahan.
”Mau buat KPK line (garis) untuk mengamankan ruangan,” katanya.
Persoalannya, menurut dia, sekuriti harus pamit ke atasan.
”Ketika mau pamit ke atasannya, telepon itu enggak terangkat-angkat oleh atasannya.
Karena lama, mereka (petugas KPK) mau beberapa obyek lagi, jadi ditinggalkan,” ujarnya.
Dia pun membantah kehadiran petugas tanpa dibekali surat-surat yang dibutuhkan.
”Surat tugasnya lengkap,” ucapnya.
Padahal, dalam pengalaman OTT KPK selama ini, KPK selalu tegas.
Tak ada yang bisa menghalangi kerja penindakan KPK.
Kejanggalan kedua, insiden di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Saat OTT Wahyu Setiawan, ada pergerakan petugas KPK ke PTIK.
Dan KPK beralasan, petugas di sana untuk shalat.
BACA JUGA:
• Jokowi Mau Datang, Ini Permintaan Warga Penajam Dalam Pembangunan Ibu Kota Baru atau IKN
• Musim Hujan 5 Titik di Sepaku Ini Calon Lokasi Ibu Kota Negara Indonesia, Jadi Langganan Banjir
• Siap Hadapi Ekspansi Ibu Kota Negara Baru di Kalimantan Timur, Begini Persiapan Plaza Balikpapan
• Bangun 3 Bendungan Sumber Air Baku Bersih di Ibu Kota Baru, Masuk Dalam Desain, Lelang Tahun Depan
Sebagai informasi, PTIK yang berada di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, berjarak cukup jauh.
Sekitar 7 kilometer, dari gedung KPK di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
”Kemudian di sana sedang ada pengamanan dan sterilisasi tempat," tuturnya.
Petugas sempat dicegah dan ditanya identitasnya kemudian sampai tes urine.
Tentunya ada kesalahpahaman di sana. Setelah diberi tahu petugas KPK, kemudian dikeluarkan,” tutur pelaksana tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri.
Sebelum jawaban ini disampaikan, sempat beredar kabar KPK hendak menjemput Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto di PTIK. Selain KPK yang membantah kabar itu, Hasto juga membantahnya. ”Tidak benar,” kata Hasto.
Dia tak terlihat sejak Kamis pagi dengan alasan sibuk menyiapkan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDI-P yang akan dimulai pada Jumat (10/1/2020), di Kemayoran, Jakarta Pusat.
Semula dia dijadwalkan menemui wartawan dalam acara jumpa pers terkait persiapan Rakernas PDI-P tersebut, Kamis siang, tetapi Hasto tak terlihat.
Dia baru terlihat pada Kamis sore di arena rakernas.
Hasto ikut masuk dalam pusaran OTT Wahyu Setiawan tak pelak karena stafnya, Saeful, ditangkap KPK dan ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap kepada Wahyu. Dugaan suap itu sendiri terkait permohonan penggantian antarwaktu anggota DPR dari PDI-P.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Adnan Topan Husodo, menilai, ketika KPK menyasar target yang memiliki pengaruh cukup besar, memang terkadang tidak mulus.
Setidaknya ada dua faktor yang menjadi penyebab.
”Misalnya informasi mengenai OTT secara parsial bocor sehingga antisipasi sudah dilakukan.
Selain itu, jejaring target cukup kuat sehingga bisa memanfaatkan berbagai akses untuk menghalang-halangi upaya penegakan hukum KPK,” tutur Adnan.
Artinya, KPK perlu kembali diperkuat melalui pembatalan UU No 19/2019.
Sebab, konsep Dewan Pengawas yang ada dalam UU menambah panjang rute birokrasi penegakan hukum KPK.
”Inilah celah yang membuat kerja KPK terhambat,” ujarnya menegaskan.
Kejanggalan-kejanggalan ini mudah-mudahan bukan sinyal KPK kini tebang pilih saat melakukan penindakan.
Berita ini telah tayang di Kompas.id dengan judul Yang Janggal dari Penangkapan Wahyu Setiawan https://bebas.kompas.id/baca/utama/2020/01/10/yang-janggal-dari-penangkapan-wahyu-setiawan/?utm_source=external_kompascom&utm_medium=berita_terkini&utm_campaign=kompascom