Kasus Rudapaksa Adik Ipar di Samarinda, Psikolog Sebut Pelaku Harus Mendapat Sanksi Berat
Kasus rudapaksa terhadap gadis belia berumur 15 tahun, yang kini ditangani Unit Perlindungan Anak dan Perempuan.
Penulis: Mohammad Fairoussaniy | Editor: Budi Susilo
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Kasus rudapaksa terhadap gadis belia berumur 15 tahun, yang kini ditangani Unit Perlindungan Anak dan Perempuan (PPA) Satreskrim Polresta Samarinda, Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur, dilakukan oleh orang terdekat.
Tidak lain pelakunya adalah paman sang gadis, hal ini turut disesalkan oleh Psikolog di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (P2TP2A) Samarinda, Ayunda Ramadhani.
Ayunda, sapaan akrabnya, mengatakan kasus rudapaksa tentu berimbas pada hubungan yang lebih luas.
Pelaku harus mendapatkan hukuman yang berat.
Baca Juga: Wapres Maruf Amin Beber Sejak Zaman Nabi Ada Pandemi, Ada Pola Pentingnya Cuci Tangan
Baca Juga: Bukan Teori Semata, Kemendikbud Meminta Mahasiswa Sosialisasikan Protokol 3M Tangkal Corona
Sanksi berat, lanjutnya, harus dikenakan pada pelaku lantaran akibat aksi amoral yang dilakukan pria 29 tahun tersebut bisa merusak hubungan rumah tangga bersama istrinya.
Kemudian berimbas pada hubungan korban dengan kakak kandungnya yang merupakan.
Serta merusak hubungan anak dengan orangtua, pelaku diketahui memiliki seorang anak dari pernikahannya.
Hal ini juga berimbas pada hubungan istri dan ibunya yang tidak lain mertua pelaku, serta keluarga besarnya.
Baca Juga: Andai Vaksin Corona Sudah Tersedia, Ketua MPR Bamsoet: Disiplin Protokol 3M Harus Tetap Diterapkan
"Tentu hukuman bagi pelaku harus diperberat karena dengan perbuatannya dia telah mengancam banyaknya kerusakan hubungan (antar keluarga)," tegas Ayunda melalui telpon selulernya, Minggu (18/10/2020) pagi.
Psikolog yang pernah lama bekerja di Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Atma Husada Mahakam Kota Samarinda ini juga mengungkapkan.
Ketika disinggung alasan pelaku melakukan tindakan amoral pada sang adik ipar, pelaku beralasan bahwa melakukan karena spontanitas.
Baca Juga: Ada 6 Klaster Pelaku Kerusuhan dalam Demonstrasi UU Cipta Kerja, Peneliti Senior LIPI Membeberkan
Baca Juga: Harap tak Ada Lagi Demo UU Cipta Kerja, Walikota Balikpapan Rizal Effendi Dekati Rektor Kampus
Ayunda lantas geram dan tidak setuju. Dirinya menggarisbawahi, pelaku yang awalnya akan mengantarkan membeli casing ponsel ke konter terdekat.
Namun membelokan sepeda motornya ke rumah yang dihuni serta melontarkan ancaman ingin mencerai kakaknya (istri pelaku) jika korban membuka suara.
Itu semua adalah sebuah bentuk unsur kesengajaan dan memiliki niat serta motif yang harus dipertanggungjawabkan.
Jika dilakukan secara spontan dari pengakuan pelaku, dibilang spontan itu sangat jarang terjadi (berkaca dari kasus yang pernah ditangani).
Dan bahkan kalau spontan itu misalnya di lokasi tak terhindarkan, biasanya pelaku memiliki kelainan orientasi seksual.
Baca Juga: Siap Tampung Aspirasi Massa Tolak UU Cipta Kerja Omnimbus Law, Ketua DPRD Balikpapan Berikan Syarat
"Kalau pada orang ini (pelaku) kan dia menikah punya anak dia berarti manusia normal," sebut Ayunda.
Ia pun coba membeberkan berbagai dugaan, beberapa faktor kemungkinan yang bisa melatarbelakangi peristiwa rudapaksa itu terjadi.
Mulai dari rendahnya pendidikan pelaku, kurangnya pengendalian diri dan minimnya asupan pendidikan agama yang diterima.
Baca Juga: KPU Ingatkan Peserta Pilkada Sosialisasikan Protokol Kesehatan dalam Setiap Kampanye Politik
Baca Juga: Masuk Tahap Uji Klinis, Wapres Maruf Amin Sebut Vaksinasi Covid-19 Sejalan dengan Ajaran Islam
Faktor-faktor lain, yang bisa berpengaruh yaitu pengaruh pornografi, konsumsi obat-obatan terlarang semisal narkotika, minuman keras yang bisa mengaburkan rasionalitas berpikir seseorang.
"Narkoba bisa memicu seperti sabu yang bersifat stimulan," bebernya.
Membuat seseorang terjaga, bersemangat, adrenalin meningkat.
"Biasa membuat orang melakukan hal-hal yang beresiko (diluar nalar dan rasionalitas)," bebernya.
Hal beresiko yang dimaksud, sambung Ayunda, seperti tindakan yang mengarah pada kriminalitas lain dan kejahatan seksualitas.
Semua penjelasannya masih bersifat dugaan, guna mencari motif pasti, pastinya pihak dari tim penyidik kepolisian yang bisa melakukan pendalaman kepada pelaku sendiri.
"Begini, yang jelas pelaku ini memiliki kontrol kendali yang lemah, memiliki moral kompas yang tidak sesuai norma masyarakat," imbuhnya.
Selain dari persoalan internal, faktor eksternal seperti konflik pelaku dengan istrinya bisa menjadi jawaban lain dari tindak amoral yang dilakukan pada korban.
Dorongan kebutuhan biologis yang tidak didapat pelaku dari sang istri juga bisa melatarbelakangi rudapaksa tersebut.
Baca Juga: Pembatasan Aktivitas Jam Malam Lantaran Pandemi Covid-19, Begini Tanggapan PHRI Samarinda
Baca Juga: Bangun Ibu Kota Negara, Penajam Paser Utara Strategis, Jadi Bahan Penelitian Universitas Pertahanan
Baca Juga: Kapal Ferry yang Tenggelam di Kutai Timur Ditarik Pemilik Kapal, Satu ABK Masih dalam Pencarian
"Jikalau khilaf, itu bahasa agama. Tapi itu juga mempertegas kurangnya kontrol diri (pelaku). Meskipun mengaku tidak sengaja, tapi tetap di bawah kesadaran," tutup Ayunda.
Diberitakan sebelumnya, awal mula korban seorang perempuan yang masih berusia 15 tahun ini ditawarkan jasa mengantarkan oleh pamannya (pelaku) untuk membeli casing ponsel.
Alih-alih diantarkan, gadis belia tersebut malah mendapat perlakuan tak senonoh dari suami kakak kandungnya tersebut pada Kamis (3/9/2020) lalu.
Rudapaksa ini dilakukan pelaku di kontrakannya yang dihuni (pelaku dan istri) di kawasan Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda.
Perbuatan tercela ini dilakukan pelaku memanfaatkan rumah yang dihuninya saat istri dan anak, kebetulan sedang tidak berada di rumah.
Rumah dalam keadaan kosong tersebut membuat pelaku leluasa melakukan rudapaksa sebanyak satu kali.
Pelaku sendiri mengancam gadis tersebut, jika mengadukan hal tersebut pada siapa pun, maka kakaknya akan dicerai oleh pelaku.
Sempat bungkam karena diancam, gadis belia ini memberanikan diri memberitahu ibunya, yang tak lain mertua pelaku.
Mengetahui perlakuan bejat menantunya, sontak saja ibu sang gadis belia marah dan melapor ke Polresta Samarinda.
Berbekal bukti visum dan pengakuan sang gadis, petugas polisi dari Unit Perlindungan Anak dan Perempuan (PPA) Satreskrim Polresta Samarinda.
Lantas bergerak menangkap pelaku di rumahnya, pada Rabu (14/10/2020) lalu.
(Tribunkaltim.co/ Mohammad Fairoussaniy)