Hakikat Berbagi Roti dan Kopi ala Turki dan Prancis
SEMBARI sahur pada subuh ke-7 bersama (waktu itu) Kepala Gugus Tugas Covid-19 Letjen TNI Doni Monardo, di lantai 10 Graha BNPB
JK kemudian menyambut dengan mengatakan, "Kami juga di Indonesia memiliki macam-macam kopi yang terkenal, antara lain kopi luwak. Bedanya kalau kopi Turki bisa memberi kenangan selama 40 tahun, kopi kami di Indonesia cukup Anda kenang satu tahun saja. Karena itu, Anda harus datang ke Indonesia setiap tahun agar kenangan Anda tentang Indonesia tidak hilang," kata JK disambut tawa Ulubay.
Secangkir Kopi di Dinding
Nah, bicara kopi, Anda harus melanjutkan membaca tulisan ini. Kisah roti Turki tadi mengingatkan saya pada tradisi “secangkir kopi di dinding” yang berkembang di Paris, Prancis.
Mirip askida ekmek, bedanya ini terjadi di sebuah cofeeshop terkenal tak jauh dari Menara Eifel sebagaimana pernah saya baca dari sejumlah postingan di media sosial.
Bermula dari seseorang yang membayar dua gelas, atas segelas kopi yang ia minum. Oleh pelayan, segelas kopi –yang tak pernah disajikan—ditulis dalam selembar kertas, lalu ditempelkan di sebuah papan di dinding.
Kertas tadi bertuliskan un verre de café yang artinya “segelas kopi”. Kali lain bahkan ada yang membayar seharga tiga gelas kopi, meski ia hanya minum secangkir.
Syahdan, si pelayan akan menggantungkan dua kertas bertuliskan un verre de café di dinding. Begitulah tradisi “membayar lebih” dengan maksud “berbagi”. Meski hanya secangkir kopi.
Tibalah suatu ketika, datang lelaki tua. Sambil menatap waiter lalu memalingkan pandangan ke dinding dan berkata, une tasse de café sur le mur yang artinya, “satu cangkir kopi di dinding”.
Waiter langsung berjalan menuju dinding, menarik satu lembar, meremas dan membuangnya ke tempat sampah. Sejurus kemudian ia pun menyajikan satu cangkir kopi kepada pria papa tadi.
Betapa lelaki tadi pun akhirnya bisa mereguk nikmatnya kopi, tanpa harus mengemis. Ia, waiter, bahkan pengunjung lain, bahkan tak perlu tahu, “siapa” gerangan yang telah memberinya secangkir kopi.
Sambil menanti Imsak, melayang angan-angan, “Alangkah indahnya kalau tradisi memuliakan ‘berbagi’ itu masif di Indonesia. Di negeri gemah-ripah loh jinawi dengan penduduknya yang terkenal ramah-tamah dan berjiwa sosial gotong-royong.”
Terbayang, restoran Padang seperti “Sederhana/Sari Ratu”, KFC, Mc Donald, Burger King, Dunkin Donat dan warung-warung lain, menyediakan “sebungkus makanan di dinding”.
Terbayang pula, gerai-gerai kopi mentradisikan “segelas kopi di dinding”. Atau bahkan ritel-ritel waralaba seperti Indomaret dan Alfamart juga menggantungkan “keranjang berbagi” di salah satu sudut dekat kasir. Misalnya, membayar tiga bungkus mie instan dan menyerahkan satu bungkus untuk diletakkan di “keranjang berbagi”.
Dalam penelusuran saya, konsep sejenis sudah tercipta di Kedai Kopi Ongga, berlokasi di Jalan Pasar Mudiak, Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang, Sumatera Barat.
Tentu kita berharap, gerakan serupa bisa menular semakin getol dalam situasi saat ini, dari Sabang sampai Marauke.
Program Kopi Dinding menyentak kesadaran publik.Ternyata, berbagi segelas kopi kepada mereka yang membutuhkan itu membahagiakan. Atas nama kebaikan, izinkan saya mengetuk Anda para pedagang (rumah makan, toko kelontong, dan lain-lain) mentradisikan “keranjang berbagi”.
Selanjutnya, atas nama tabungan akhirat, izinkan saya mengetuk hati Anda untuk rela membayar lebih, dan mendermakan kelebihan tadi untuk berbagi. Tabik, dan tetap disiplin dalam suasana melawan Covid 19.(tribunners)
Oleh: Egy Massadiah,
Staf Ahli Kepala BNPB