Respon Raperpres Tugas TNI Atasi Terorisme, IAIN Samarinda dan Academics TV Gelar Webinar Nasional
Dalam rangka merespon Rancangan Peraturan Presiden (RAPERPRES) tentang Tugas Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam mengatasi
Penulis: Muhammad Riduan | Editor: Budi Susilo
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Dalam rangka merespon Rancangan Peraturan Presiden (RAPERPRES) tentang Tugas Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam mengatasi aksi terorisme.
Fakultas Syariah IAIN Samarinda dan Academics TV menggelar webinar nasional bertajuk Mengatasi Aksi Terorisme : Mestikah Ini Terlibat ?, Sabtu, (23/11/2020).
Acara yang digelar dengan model diskusi ilmiah ini dibuka secara resmi oleh Dekan Fakultas Syariah IAIN Samarinda, Dr. Bambang Iswanto, M.H.
Pada sambutannya, ia menyampaikan bahwa tema ini sedang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini, di mana keterlibatan TNI dalam mengatasi Terorisme menjadi hal yang pro dan kontra.
Baca Juga: Ekonomi Kaltim Mulai Membaik, Ekspor Batu Bara dan CPO Menggeliat
Baca Juga: Politisi Senior Partai Keadilan Sejahtera Sarankan Mahfud MD Temui Rizieq Shihab
Baca Juga: Azerbaijan dan Armenia Bersepakat Akhiri Perang, Sudah Enam Pekan Bertempur
Baca Juga: Pemkab Kukar Buat Pemeliharaan Jembatan Ing Martadipura Kota Bangun, Kirim Personel Atur Lalu Lintas
Hal ini disebabkan sebagian argumentasi yang mengatakan bahwa keterlibatan TNI dalam mengatasi terorisme dapat mengalihkan fungsi utama dari TNI.
"Sebagai benteng pertahanan negara, serta banyak kekhawatiran lain tentang penanggulangan terorisme di Indonesia," ujarnya.
Dalam pemantik materi diskusi, webinar ini turut mengundang Ketua Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) Ahmad Taufan Damanik sebagai keynote speaker.
Baca Juga: Modal Mencegah Corona, Satgas Ingatkan Pegang Teguh Iman, Aman, dan Imun
Baca Juga: 60 Juta Orang di Indonesia akan Diberikan Vaksin Covid-19 Secara Gratis, Program dari Pemerintah
Ia menyatakan bahwa Raperpres Pelibatan TNI semestinya mestinya tunduk pada UU yang lebih tinggi.
Menurut Komnas HAM, Raperpres yang diusulkan untuk dibahas di DPR menggunakan pendekatan perang (war model) bukan pendekatan penegakan hukum pidana (criminal justice system).