Ekonomi dan Bisnis
Harga Tandan Buah Segar Sawit Berau Berada di Angka Tertinggi
Dinas Perkebunan (Disbun) Kabupaten Berau, mengakui harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit Berau pada periode Mei 2021 menyentuh harga yang tertinggi
Penulis: Renata Andini Pengesti | Editor: Budi Susilo
TRIBUNKALTIM.CO, TANJUNG REDEB - Dinas Perkebunan (Disbun) Kabupaten Berau, mengakui harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit Berau pada periode Mei 2021 menyentuh harga yang tertinggi di tahun ini.
Sesuai dengan data Harga yang ditetapkan dalam Rapat Penetapan Harga Pembelian TBS Produksi Pekebun di Provini Kalimantan Timur per Mei untuk umur tanam 3 tahun.
Yakni Rp 1.838 ribu per Kilogram (Kg) dan untuk masa tanam lebih dari 10 hingga lebih 10 tahun yakni Rp 2.086 ribu per Kg.
Demikian dibeberkan oleh Kepala Seksi (Kasi) Pengelolaan Pasca Panen dan Pemasaran, Disbun, Sofyan Rodi kepada Tribunkaltim.co di Kabupaten Berau.
Baca Juga: Dishub Paser Bakal Gelar Operasi Gabungan Penertiban Truk Bermuatan Sawit
Dia menjelaskan harga tersebut tergolong tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Rata-rata harga di tahun 2020 untuk umur tanam 3 tahun hanya seharga Rp 1.200 sampai 1.300 per Kg.
Sedangkan harga umur tanam 10 hingga lebih dari 10 tahun bahkan tidak menyentuh Rp 2.000 per Kg.
“Harga TBS saat ini memang paling tinggi di tahun ini,” tegasnya kepada Tribunkaltim.co, Jumat (21/5/2021).
Begitu pula untuk harga turunan TBS, untuk CPO dan kernel juga ikut meningkat seiring dengan peningkatan TBS.
Harga CPO rata-rata tertimbang periode penjualan yaitu Rp 9.860 ribu sedangkan untuk kernel rerata tertimbang yaitu Rp 6.304 ribu.
Sofyan menjelaskan adanya peningkatan terjadi lantaran peningkatan permintaan terhadap CPO di pasar secara global.
Dan ikut mempengaruhi pembelian harga TBS maupun turunan lainnya pada pihak petani dan perusahaan mitra lainnya.
Lanjutnya, dengan banyaknya penyerapan tentu itu berpengaruh pada pulihnya aktivitas industri yang memerlukan bahan baku yang berasal dari sawit.
Untuk di Kabupaten Berau, perusahaan yang menyerap TBS petani telah berjumlah 11 yang berpusat di kawasan daerah Segah dan Kelay.
Dengan adanya kenaikan harga TBS, secara umumnya akan berkorelasi terhadap peningkatan kesejahteraan petani.
Kendati harga bisa jadi kembali turun. Pihaknya berharap harga dapat stabil dan mengalami kenaikan.
Lantas Sofyan juga mengingatkan kepada para petani untuk tidak menanam satu komoditi saja, tetapi tidak bisa dipungkiri dalam lingkup perkebunan sawit memang masih sangat favorit, jadi idaman dan bisa akan bertambah banyak.
“Agar menjaga kestabilan harga, petani bisa menanam komoditi lainnya, seperti kakao yang sudah memiliki pasar pasti di Berau,” tandasnya.
Kendati begitu, Sofyan juga menjelaskan kemungkinan harga yang meningkat dan harapan stabilitas harga ada pengaruhnya dengan kebijakan B20 dan B30 pemerintah.
Kuasai Pasar Sawit di ASEAN
Berita sebelumnya. Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Fadhil Hasan menjelaskan daya saing yang tinggi yang dimiliki oleh komoditas sawit tidak mengkhawatirkan posisinya di pasar global.
Fadhil mengaku pelaku usaha juga mampu beradaptasi melalui berbagai sertifikasi, mulai dari sertifikasi yang dimiliki oleh pasar seperti Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) maupun negara yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Selain itu, Indonesia juga memiliki leverage tinggi serta pasar terbesar di ASEAN. Menguasai Setengah dari populasi di wilayah ASEAN.
Baca juga: Merusak Jalan Umum, DPMPTSP Kubar Tegaskan Perusahaan Sawit di Kutai Barat Belum Punya Izin Angkutan
Baca juga: Kadishub Paser Pastikan Akan Menindak Truk Muatan Sawit Jika Terbukti Melanggar
Menjadikan Indonesia sebagai regional leader sehingga berpengaruh berpengaruh bagi perekonomian dunia.
"Hal ini menjadi bargaining power dalam perundingan bilateral maupun multilateral," sebutnya dalam webinar Inapalmoil yang digelar GAPKI, Minggu (4/4/2021)
Fadhil juga menyoroti pendekatan diplomasi trade and sustainable development (TSD) yang digunakan dalam perundingan.
Baca juga: Operasional Truk Pengangkut Sawit Saat Melintasi Jalan Umum Langgar Perda Kabupaten Paser
Menurutnya, penting untuk meninjau kembali perjanjian perdagangan sehingga mampu untuk mengakomodir seluruh kepentingan kedua bela pihak.

Terutama pada perjanjian Comperhensive Economic Partnership Agreement (CEPA) untuk menghindari regulasi lain di luar daripada yang telah diatur dalam CEPA karena akan menjadi hambatan dagang lainnya.
Baca juga: Jokowi Keluarkan Limbah Batu Bara dan Sawit dari Kategori B3, Walhi: Ancaman Kesehatan Masyarakat
Hal ini diamini oleh Hikmahanto Juwana, Pengamat Hukum Internasional Universitas Indonesia, dalam forum yang sama.
Bahwasanya pasar di Indonesia merupakan kekuatan di ASEAN.
"Kerjasama bilateral patut untuk didorong lebih jauh dikarenakan kepentingan masing-masing negara di ASEAN yang akhirnya mengecilkan kekuatan dan kepentingan negara," pungkasnya.
Percaya Diri Hadapi Diskriminasi Uni Eropa
Di tengah transisi menuju energi terbarukan, Uni Eropa terus mendiskriminasi sawit. Dengan dalih mencapai nol emisi karbon pada 2030, sawit sering didiskreditkan sebagai minyak nabati yang tidak ramah lingkungan.
Padahal sawit merupakan minyak nabati paling sustainable dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dunia di masa yang akan datang.
Kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II yang merupakan bagian dari green deal policy , melalui skema indirect Land Use Change (ILUC) mengecualikan sawit karena dianggap beresiko tinggi menyebabkan deforestasi.
Padahal penelitian Union of Concervation of Nature (IUCN) menyatakan sawit sembilan kali lebih efisien dalam penggunaan lahan.
Cut of date yang ditetapkan dalam ILUC yakni tahun 2008 dinilai tidak fair Negara-negara di benua biru tersebut telah terlebih dahulu melakukan deforestasi masif di era revolusi Industri.
Penelitian Roser (2012) bahkan menyebutkan deforestasi yang dilakukan di Eropa kemudian Amerika Utara menyebabkan penurunan luas hutan dunia secara signifikan termasuk biodiversity loss didalamnya.
Menanggapi hal tersebut, Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia mengajukan gugatan atas ke World Trade Organization (WTO) yang dianggap mendiskreditkan komoditas sawit.
"Seluruh minyak nabati di dunia harus memiliki standar pendekatan yang sama dan diakui PBB yakni dengan berbasis Sustainable Development Goals (SDGs),bukan satu atau dua indikator yang dikarang-karang, tidak diakui dunia dan tidak akademis," urai Wakil Mentri Luar Negeri Mahendra Siregar dalam webinar Inapalmoil, Minggu (4/4/2021).
Di forum yang sama, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Piket mengungkapkan Komisi Uni Eropa sedang meninjau ulang kebijakan RED II dan hasilnya akan dipublikasikan pada bulan Juni tahun ini.
Baca juga: Cegah Karhutla, Wabup Paser Imbau Perusahaan Tambang dan Sawit Sediakan Alat Pemadam Kebakaran
Dengan melakukan penelitian ilmiah yang ektensif khususnya untuk komoditas minyak sawit sebagai bagian dari Green Deal.
Vincent meyakinkan bahwa dampak terdapak industri minyak sawit ataupun minyak nabati lainnya, akan didasarkan pada penilaian yang adil berbasis ilmiah.
Baca juga: Potensi Ekspor Non Migas di Kalimantan Timur, Mulai dari Olahan Sawit Hingga Lidi Nipah
RED II merupakan hasil amandemen dari kebijakan sebelumnya memiliki kriteria keberlanjutan yang salah satunya mengatur perhitungan emisi gas rumah kaca pada perubahan penggunaan lahan secara langsung.
"Tidak akan ada pelarangan impor minyak sawit atau biofuel. Tidak sekarang, tidak pada 2023 bahkan di 2030," ujar Vincent.
Berita tentang Perkebunan Sawit
Penulis Renata Andini | Editor: Budi Susilo