Pelindo dan PT PSP Tak Ikut Tandatangani Tarif Bongkar Muat TKBM Komura
Pelindo dan PT PSP tak ikut tandatangani tarif bongkar muat TKBM Komura di Terminal Petikemas
TRIBUNKALTIM.CO - PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo) menghadirkan saksi fakta pertama pada sidang lanjutan kasus gugatan Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Komura, di Pengadilan Negeri Samarinda, Kamis (9/2/2023).
Diketahui, Koperasi TKBM Komura melayangkan gugatan kepada sejumlah pihak, termasuk PT PSP dan Pelindo terkait pembayaran selisih upah senilai Rp 133 Miliar, yang merupakan akumulasi upah buruh Komura dari Oktober 2017 hingga 2021.
Jaksa Pengacara Negara, selaku Kuasa Hukum Pelindo, Ryan Permana menjelaskan, saksi yang dihadirkan pihaknya menjelaskan proses kesepakatan tarif bongkar muat buruh di 2014.
Di mana saksi tersebut merupakan salah satu tim perumus.
Pada proses penentuan tarif, saksi telah memberikan masukan kepada seluruh stakeholder agar menggunakan perhitungan tarif sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR) Samarinda, walaupun TKBM menggunakan sistem kerja borongan.
Namun, masukan tersebut tidak disetujui dengan dalih penentuan tarif pada jasa kepelabuhan ditentukan dengan regulasi tersendiri.
"Ada lima kali rapat, dan pada rapat terakhir munculah kesepakatan mengenai tarif tertuang dalam berita acara, dan saat itu saksi ikut menandatangani sebagai tim perumus walaupun masukannya tidak diterima," ucap Ryan.
Dan, kesepakatan dengan nominal ukuran 20 feet sebesar Rp 182.780 per box hanya berlaku selama 1 tahun, mulai 2014.
"Di persidangan kami tunjukan bukti berita acara kesepatan pada 2014, dan pihak Pelindo dan PT PSP (Pelabuhan Samudera Palaran) tidak ikut menandatangani, artinya tidak menyepakati," tuturnya.
Ryan menjelaskan alasan kenapa saksi pada saat rapat penentuan tarif menyarankan agar upah TKBM harus sesuai dengan UMR, karena hal itu berkaitan dengan jejaring sosial pengaman, di mana setiap tenaga kerja harus dapat hidup layak, mulai dari jaminan ketenagakerjaan hingga kesehatan.
"Lantas, kenapa masukan beliau ditolak? dan, Pelindo serta PSP sebagai Badan Usaha Pelabuhan (BUP) yang diberikan konsesi tidak menyepakati kesepakatan tersebut."
Ryan menyampaikan, terhadap berita acara kesepakatan 2014 yang tidak ditandatangani oleh PT Pelindo dan PT PSP, lantas kenapa diterbitkan Surat Keputusan KSOP mengenai tarif? " Inilah yang menjadi pertanyaan besar," tandasnya
Kuasa Hukum PT PSP, Joshi Mayer Hutapea menambahkan, kesaksian saksi yang dihadirkan Pelindo, semakin menguatkan kesepakatan tarif di 2014, cacat hukum.
"Kesaksian saksi membuat terang bahwa tarif tersebut cacat hukum. Tim perumus sudah mencoba mengusulkan formulasi, namun ditolak. Lalu, diberitahukan secara lisan bahwa dasar hukumnya adalah Permenhub 35 Tahun 2007, namun tim perumus tidak diberitahukan bahwa pasal 14 mengatur bahwa peraturan tersebut tidak bisa menjadi dasar hukum formulasi untuk bongkar muat petikemas," ucapnya.
"Menurut kami, kok aneh ya tarif bongkar muat petikemas jauh lebih mahal daripada bongkar muat jenis barang yang lain, padahal ruang lingkup pekerjaan jenis barang lain jauh lebih berat dari pada petikemas, karena untuk petikemas sudah menggunakan teknologi modern yaitu container crane.
Dan, perlu diketahui tim perumus yaitu ketua dan sekretaris ini baru ditunjuk di rapat terakhir, padahal di undangan kepada mereka ketika rapat pertama tidak ada terkait kedudukan mereka sebagai tim perumus. Selain itu Penggugat juga sayangnya masih belum memahami perbedaan jenis petikemas biasa dengan petikemas open door dari segi bentuk, fungsi dan juga penanganannya terus berusaha mendalilkan tarif open door merupakan perpanjangan tarif 2014 yang cuma berlaku 1 tahun" sambung Joshi.
Sementara itu, Kuasa Hukum TKBM Komura, Henry Togi Situmorang menjelaskan, saksi yang dihadirkan Pelindo justru menguntungkan pihaknya, pasalnya saksi ikut serta menandatangi berita acara kesepakatan tarif di 2014.
"Justru menyudutkan Pelindo, karena saksi menandatangani kesepakatan dan itulah kesepakatan bersama, walaupun ada pihak yang tidak ikut menandatangani," tutur Henry.
Menurutnya penentuan tarif di 2014 dilakukan dengan proses yang cukup panjang, karena dilakukan pertemuan sampai lima kali, berbeda dengan penentuan tarif di 2017, yang menurutnya hanya memakan waktu kurang lebih 2 jam.
"Artinya, penentuan tarif itu sudah melalui pembahasan panjang, karena rapat digelar sampai lima kali baru mendapatkan kesepakatan bersama. Berbeda dengan di 2017, tidak ada perumusan dan pembahasan, tiba-tiba disepakati," ungkapnya.
"Termasuk tentang tarif, ternyata pada 2014 dan 2015 tarifnya sama, yakni 20 feet senilai Rp Rp 182.780. Lalu, yang kami persoalkan itu tarif sesuai kesepakatan 28 Juli 2017, karena berlakunya 1 September 2019, dan ada surat dari PT PSP yang menyatakan menunda sementara waktu pembayaran upah TKBM, sampai kapan penundaanya tidak jelas," sambung Henry. (*)
KTT Gandeng Pelindo dan KSOP Gelar Bimtek Pelaporan PAB di Balikpapan, Ini Tujuannya |
![]() |
---|
Cerita Sudjatmoko, Pejabat Pelabuhan Balikpapan yang Koleksi Ratusan Diecast dan RC Metal |
![]() |
---|
Kisruh Layanan Pandu di Muara Muntai Kukar, Pelindo Samarinda Buka Suara |
![]() |
---|
7 Fakta Pengeroyokan Kades Muara Muntai Ilir di Kukar Kaltim, Diserang Pakai Balok |
![]() |
---|
Ada Kades di Kukar Kaltim Dikeroyok Orang tak Dikenal, Buntut Tudingan Layanan Pandu dari Pelindo |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.