IKN Nusantara

Kisah Hamidah, Warga Desa Bumi Harapan, Terancam Terusir dari KIPP IKN Nusantara

Kisah Hamidah, warga Desa Bumi Harapan, terancam terusir dari KIPP IKN Nusantara

Penulis: Rafan Arif Dwinanto | Editor: Sandrio

TRIBUNKALTIM.CO - Pola pembebasan lahan warga untuk keperluan pembangunan Ibu Kota Nusantara atau IKN Nusantara, Kalimantan Timur, dikeluhkan warga.

Salah satunya Hamidah (60) warga Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara.

Kini, Hamidah terancam terusir dari Desa Bumi Harapan yang menjadi Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN.

Berprofesi petani, Hamidah sempat kebingungan saat diminta membuka amplop oleh petugas penilai tanah di kantor Kecamatan Sepaku.

Dilansir dari Kompas.com, dalam amplop itu tertera nominal uang yang bakal diterima dari ganti rugi kebun beserta tanam tumbuh yang masuk Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN.

Saat itu sekitar Desember 2022, Hamidah dan beberapa warga lain yang lahannya masuk KIPP IKN dipanggil ke kantor Kecamatan Sepaku untuk pemberitahuan jumlah uang ganti rugi, setelah dinilai sama tim penilai.

Informasi itu diberikan tertutup khusus ke pemilik lahan melalui amplop saat dipanggil satu-satu masuk dalam ruang.

Giliran Hamidah masuk ruangan sudah ada sekitar empat petugas menunggu.

Baca juga: Sambut IKN Nusantara, Kalimantan Timur Persiapkan Sektor Pangan dan Holtikultura

Baca juga: Sri Mulyani Promosi Investasi, Jepang Lirik Sektor Energi Terbarukan IKN Nusantara

Hamidah disodorkan amplop, diminta membuka dan melihat total uang ganti ruginya.

Namun, ia tak bisa membaca, apalagi bertanya, harga per meter.

Dia hanya terdiam, mengangguk, dan setuju, meski kebun itu satu-satunya sumber penghasilan untuk dirinya, anak, dan dua cucu selama ini.

Atas permintaan Hamidah, total uang ganti ruginya tak disebutkan dalam berita ini karena pertimbangan tertentu.

“Waktu itu (di kantor Kecamatan Sepaku), masuk ruangan diberi amplop kita enggak tahu harganya berapa.

Petugas itu suruh baca, tapi saya tidak bisa baca. Jadi suruh teman saya, namanya kita tidak sekolah, Pak,” cerita Hamidah, Selasa (14/2/2023).

Hamidah tak bisa menolak, karena takut uangnya bakal dititipkan di Pengadilan, jika tak setuju.

Mendengar itu, rata-rata warga takut dan menerima saja tanda setuju.

“Waktu itu teman bacakan segitu harganya, kalau enggak mau ya, sidang (dititip) di Pengadilan.

Kami takut jadi terima saja, setuju saja,” ucap Hamidah.

Tetangga Hamidah, Thomy Thomas Tasib, mendengar cerita itu sehari setelahnya dari Hamidah.

Namun, Thomy pun tak bisa memberikan solusi, selain khawatir nasibnya bakal sama dengan Hamidah.

Sejak kebun miliknya dibebaskan, Hamidah kini menganggur di rumah.

Dia mengeluh tak ada lagi penghasilan setelah kebun satu-satunya itu diambil pemerintah untuk IKN.

Sementara itu, ia harus menghidupi anak perempuan semata wayang dan dua cucunya.

“Kita sekarang usaha enggak bisa, panen sawit enggak bisa, apa-apa enggak bisa. Enggak ada lagi penghasilan, dari mana lagi.

Mau kerja ke mana, mau panen apa," keluh Hamidah.

Hamidah berencana keluar dari lokasi IKN, pindah ke kabupaten lain untuk memulai kehidupan baru.

Uang ganti rugi yang diterima, bakal ia gunakan membeli lahan baru di Grogot, Kabupaten Paser, tempat tinggal orangtuanya dulu.

Sebab, ia tak mampu membeli harga lahan di sekitar IKN sudah melonjak tinggi hingga Rp 2 juta-Rp 3 juta per meter, sedangkan harga ganti rugi lahan warga hanya berkisar Rp 115.000 sampai Rp 300.000 per meter persegi.

Kini, Hamidah hanya menunggu pembayaran rumah dan lahan yang ia tempati. Tim penilai pembebasan lahan KIPP IKN sudah mengukur lahan di rumah Hamidah dengan luas sekitar 400 meter persegi.

Hamidah belum mengetahui total ganti rumahnya itu. “Setelah pemerintah bayar rumah ini baru kami pindah ke tinggal di Grogot.

Menetap di sana,” kata dia. Thomy khawatir mengalami nasib seperti Hamidah. (*)

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved