IKN INSIGHT
Kota Hutan, Meninjau Ulang Antroposentrisme
Koreksi terhadap faham antroposentrisme inilah yang semestinya dimengerti sebagai dasar falsafah penting dalam pembangunan kota hutan di IKN.
Myrna Asnawati Safitri,
Deputi Bidang Lingkungan Hidup & Sumber Daya Alam Otorita IKN
TRIBUNKALTIM.CO - Mencanangkan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai kota hutan (forest city) adalah untuk menjalankan prinsip pembangunan IKN untuk mendesain kota sesuai dengan kondisi alam. Perincian Rencana Induk IKN menyatakan bahwa prinsip ini diwujudkan dengan menjadikan paling sedikit 75 persen daratan IKN sebagai ruang hijau. Area mana terdiri dari 65 persen sebagai area yang dilindungi dan 10 persennya lagi sebagai area produksi pangan. Inilah yang kemudian menjadi salah satu indikator kerja utama atau KPI Otorita IKN.
KPI ini tentunya bukan hal yang mudah dilaksanakan mengingat kondisi lingkungan di wilayah IKN saat ini banyak yang telah rusak. Nyaris tidak ditemukan lagi hutan primer. Jikapun ada yang dipandang masyarakat sebagai hutan maka itu adalah hutan sekunder, yang tumbuh baik sebagai suksesi alami atau diupayakan. Selebihnya adalah hutan tanaman khususnya yang berisikan pohon-pohon eucalyptus di bekas areal hutan tanaman industri. Di lokasi inilah Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) berada, dimana pembangunan saat ini tengah dilaksanakan. Tutupan lahan lain di IKN merupakan wilayah yang telah terkonversi menjadi berbagai bentuk pemanfaatan dan penggunaan lahan seperti permukiman, semak belukar, perkebunan sawit hingga tambang.
Melihat kondisi ini, maka agenda penting dalam pembangunan kota hutan IKN adalah melakukan reforestasi. Secara teknis hal ini dapat dilaksanakan. Contoh-contoh keberhasilan bisa ditemukan di berbagai tempat. Hamparan lahan berisikan alang-alang misalnya dapat disulap kembali menjadi hutan sekunder. Di tempat lain ada pula areal eks tambang yang berhasil direklamasi. Melihat pada keberhasilan ini maka tidak berlebihan jika optimisme membangun kota hutan dapat kita tumbuhkan.
Jika demikian, lantas apa masalahnya? Masalah terbesar ada pada soal manusianya. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa kerusakan lingkungan dan sumber daya alam terjadi karena cara kita memandang alam terlalu bertumpu pada kepentingan manusia. Kepentingan, bukan kebutuhan. Kepentingan yang tiada terbatas. Dalam relasi dengan makhluk lain, manusia yang acap dipandang sebagai spesies unggul itu dilihat sebagai yang nomor satu. Yang mengendalikan makhluk lain dalam alam ini untuk keinginannya. Dalam etika lingkungan, inilah yang disebut dengan antroposentrisme. Pembangunan kita terlampau tunduk pada antroposentrisme itu. Eksploitasi sumber daya alam yang melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan merupakan contoh kasat mata bagaimana antroposentrisme itu bekerja.
Ketika prinsip pembangunan IKN menyatakan bahwa pembangunan itu harus selaras dengan alam, maka terselip tujuan di sini untuk meninjau ulang antroposentrisme tersebut. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara disebutkan bahwa tujuan pembangunan IKN adalah untuk menjadikan ibu kota ini sebagai kota berkelanjutan di dunia. Artinya, kota yang mengelola sumber daya secara tepat guna. IKN juga menjadi kota di dalam hutan (forest city) yang menyeimbangkan ekologi alam, kawasan terbangun dan sistem sosial yang ada secara harmonis.
Koreksi terhadap faham antroposentrisme inilah yang semestinya dimengerti sebagai dasar falsafah penting dalam pembangunan kota hutan di IKN. Ini perlu menjadi ruh dalam kegiatan membangun kota hutan. Artinya menyadari bahwa reforestasi itu adalah wujud tanggung jawab kita sebagai makhluk untuk memulihkan alam ciptaan Tuhan yang telah kita rusak. Dengan demikian, reforestasi menjadi suatu ekspresi spiritual, yang melampaui proyek penanaman biasa. Reforestasi adalah laku pertobatan bahwa kita telah mengambil terlalu banyak dari alam dan kini saatnya kita mengembalikan dan merawatnya.***
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.