Berita Nasional Terkini

Daftar 16 Orang Guru Besar dan Pengajar Hukum Tata Negara yang Desak MKMK Sanksi Berat Anwar Usman

Daftar 16 orang Guru Besar dan Pengajar Hukum Tata Negara yang desak MKMK sanksi berat Anwar Usman

Editor: Rafan Arif Dwinanto
YouTube MK via Tribunnews.com
Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman dalam sidang putusan gugatan batas usia minimun capres/cawapres, Senin (16/10/2023). Daftar 16 orang Guru Besar dan Pengajar Hukum Tata Negara yang desak MKMK sanksi berat Anwar Usman 

TRIBUNKALTIM.CO - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuat Gibran Rakabuming melenggang menjadi cawapres dinilai melanggar etik.

Diketahui, dalam putusannya MK memerbolehkan calon berusia di bawah 40 tahun maju menjadi capres cawapres asalkan pernah menjabat sebagai Walikota/Bupati atau Gubernur.

Keputusan MK ini membuat Koalisi Indonesia Maju yang mengusung Prabowo Subianto, langsung menggandeng putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming sebagai cawapres.

Ketua mahkamah konstitusi Anwar Usman diduga kuat melakukan pelanggaran etik dan perilaku Hakim Konstitusi.

Baca juga: Pengamat Ungkap Alasan Gibran Enggan Angkat Kaki dari PDIP, dan Megawati Enggan Pecat Putra Jokowi

Oleh karena itu, 16 orang yang terdiri dari Guru Besar serta Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara melaporkan dan mendesak Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK menjatuhkan sanksi berat bagi Anwar Usman.

Demikian Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya, Kamis (26/10/2023).

“Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah dicoreng marwahnya selaku penjaga konstitusi oleh ketuanya sendiri, Hakim Konstitusi Anwar Usman,” ucap Kurnia Ramadhana.

Bukan tanpa alasan, kata Kurnia, melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, Anwar Usman selaku Ketua MK diduga kuat membiarkan lembaganya menjadi alat politik pragmatis dengan secara serampangan mengubah persyaratan batas umur minimal 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden yang tertuang dalam UU Pemilu.

"Sehingga dapat dilangkahi apabila yang mencalonkan diri pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah," jelas Kurnia.

Kurnia berpendapat, MK harusnya menolak perkara yang materi pokoknya berkenaan dengan open legal policy dan seharusnya menjadi ranah dari pembentuk undang-undang.

Sayangnya, MK justru dikabulkan dengan pertimbangan hukum yang tidak konsisten dengan putusan terdahulu serta ratio decidendi yang tidak mumpuni.

“Terlebih, ia secara terang benderang menolak untuk mengelola konflik kepentingan yang ia pribadi miliki dengan penerima manfaat paling besar dari permohonan tersebut, kemenakannya sendiri, dengan tidak mengundurkan diri dari penanganan perkara,” ucap Kurnia.

“Apa yang dilakukan oleh Anwar Usman juga meneguhkan banyak temuan serta asumsi yang mensinyalir MK sebagai lembaga yudikatif yang seharusnya independen, telah tersandera (court captured) oleh cabang kekuasaan lain, termasuk oleh kepentingan elite oligarki.”

Sebagai informasi, Guru Besar serta Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara ini tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS),

Baca juga: Ahmad Dhani Minta Maaf ke TNI, Kampanyekan Prabowo dan Mulan di Area Militer, Janji Naikkan Pangkat

Berikut Daftarnya

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved