Horizzon
Netralitas yang Sudah Berubah Makna
Kata “Netral” yang maknanya juga dituntut berubah sesuai dengan kebutuhan zaman, utamanya jelang kontestasi 2024 yang sudah di depan mata.
Oleh: Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim
BAHASA itu dinamis dan selalu mengikuti perkembangan peradaban. Ini juga berlaku untuk pemaknaan kata dalam kaidah berbahasa yang juga selalu berubah sesuai kebutuhan zaman.
Sebut saja kata “Netral” yang maknanya juga dituntut berubah sesuai dengan kebutuhan zaman, utamanya jelang kontestasi 2024 yang sudah di depan mata.
Hingga saat ini, Kamus Besar Bahasa Indonesia masih mencatat kata Netral dan dimaknai sebagai tidak berpihak (tidak ikut atau tidak membantu salah satu pihak).
Namun sesuai kebutuhannya, kita sering melihat penggunaan kata Netral secara fungsi sudah berbeda dengan makna dasar yang dicatat oleh KBBI.
Kata Netral yang memiliki makna tidak berpihak, kini lebih kaya makna dan lebih fleksibel untuk digunakan sesuai dengan kebutuhan si penutur.
Pengayakan makna, dari Netral terletak pada improvisasi kemudian dikomparasi dengan posisi penutur.
Baca juga: Sakit Menahun Demokrasi Indonesia
Netral yang aslinya tidak berpihak dimaknai sebagai sesuatu yang justru harus berpihak atau setidaknya menguntungkan penutur. Jika tidak menguntungkan, maka dituding tidak netral.
Barangkali, istilah pengayakan makna pada kata Netral sebagaimana dijelaskan di depan juga tidak tepat-tepat amat. Mungkin sesungguhnya yang terjadi adalah pergeseran makna.
Menjelang kontestasi 2024, kita bakal makin sering melihat banyak improvisasi (baca: penyelewengan makna) dari esensi kata Netral.
Contoh yang belakangan sedang trending adalah netralitas ASN atau aparat keamanan terkait dengan gelaran Pemilu 2024 yang beberapa tahapannya sudah dan sedang kita ikuti bersama.
Kita bakal makin sering tudingan tidak netral dari satu pihak ke pihak lain terkait dengan itu semua. Improvisasi yang memaksa kata netral bergeser maknanya ini bakal makin sering kita dengar, dan ujungnya, pada satu titik kita bakal kehilangan kata netral itu sendiri, baik secara makna atau esensi netral yang sesungguhnya di dalam kontestasi.
Mari kita uji tesis tersebut menurut perspektif masing-masing kita. Kita mulai dari presiden, kepala negara yang seharusnya memang netral dalam kontestasi mendatang. Apalagi, Joko Widodo sudah dua periode dan tidak akan menjadi kontestan di kontestasi mendatang.
Namun situasi politik yang menghadirkan Gibran Rakabuming Raka sebagai kontestan tentu akan sulit untuk memberi definisi netral pada presiden sebagai kepala negara.
Baca juga: Ikut Menari di Festival Dahau
Bagaimana dengan aparat? Yakinkah kita polisi atau TNI kita juga netral dalam kontestasi ini? Bukankah keberpihakan aparat utamanya kepolisian juga sudah kentara sejak kasus Kombespol Mapparessa, Kapolwil Banyumas tahun 2023 lalu.
Pertanyaan berikutnya adalah netralitas penyelenggara kontestasi mendatang, baik KPU atau Bawaslu.
Seberapa yakin publik terhadap netralitas penyelenggara di kontestasi mendatang? Apalagi sudah jamak diketahui bahwa untuk bisa berstatus sebagai komisioner penyelenggara pemilu harus melalui jalur ormas tertentu yang kita tahu ormas tersebut berafiliasi ke peserta pemilu.
Rasanya, dalam kontestasi yang bakal kita ikuti ke depan, netralitas yang seharusnya melekat pada penyelenggara, aparat keamanan, ASN adalah retorika belaka.
Bahkan bukan tidak mungkin, ketidaknetralan adalah jalan pilihan bagi kontestan untuk meraih kemenangan. Sementara ketika semua berpikir menang dari memanfaatkan ketidaknetralan, maka yang aka terjadi adalah kontestasi yang tidak sehat.
Saat ini kita melihat, klaim atau tudingan ketidaknetralan pihak lain sesungguhnya adalah ungkapan kekecewaan dari mereka yang gagal memanfaatkan ketidaknetralan pihak tertentu condong ke mereka.
Baca juga: Semua Salahnya Pawang Hujan
Boleh disimpulkan, semun kontestan berharap semua pihak tidak netral dan menguntungkan mereka. Semua akan disebut netral jika berpihak dan menguntungkan kubu mereka. Sementara yang benar-benar netral lantaran tak menguntungkan akan diklaim sebagai sikap yang tidak netral.
Sementara publik dalam kontestasi mendatang sebagian besar adalah mereka yang sudah banyak makan asam garang kebohongan politisi. Dalam kontestasi ini, mereka hanya akan menunggu jatah paket pembelian suara yang bakal ramai ditawarkan makelar pencari suara yang masuk ke kampung-kampung.
Jangan banyak berharap, publik yang sudah berulangkali kena tipu, dalam kontestasi kali ini akan balas dendam dengan pakai jurus terima yang banyak, pilihan menyesuaikan selera. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.