Jejak Islam di Bumi Etam

Jejak Islam di Bumi Etam 2 - Adu Kesaktian Berujung Syahadat

Agama Islam pertama kali masuk ke kerajaan Kutai diyakini melalui daerah yang kini disebut Desa Kutai Lama, Kecamatan Anggana, Kutai Kartanegara.

|
TRIBUNKALTIM.CO/DWI ARDIANTO
Makam Tunggang Parangan di Desa Kutai Lama, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur saat dikunjungi kru Tribun Kaltim awal Maret 2024. Tunggang Parangan disebut sebagai sosok yang pertama kali menyebarkan Islam di Kerajaan Kutai Kartanegara dan berperan besar meninggalkan Jejak Islam di Bumi Etam. TRIBUNKALTIM.CO/DWI ARDIANTO 

Tunggang Parangan dikisahkan beradu kesaktian dengan Raja Mahkota, pemimpin Kutai Kartanegara ketika itu. Adu kesaktian konon berlangsung selama empat babak yang semuanya dimenangkan Tunggang Parangan. Setelahnya, Raja Mahkota menepati janjinya, mengucap dua kalimat syahadat di bawah bimbingan Tunggang Parangan.

TRIBUNKALTIM.CO - Agama Islam pertama kali masuk ke kerajaan Kutai diyakini melalui daerah yang kini disebut Desa Kutai Lama, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara.

Hal tersebut terasa masuk akal karena dahulu wilayah ini adalah pusat pemerintahan dari Kerajaan Kutai Kartanegara sebulum berpindah ke Tenggarong.

Dari pusat kota, yakni ibu kota Provinsi Kaltim, Samarinda, lokasinya berjarak sekitar 30 kilometer.

Tim TribunKaltim.co mencoba menelusuri jejak Islam di Kerajaan Kutai Kartanegara, di mana di sana terdapat makam mubaligh yang dikenal pertama kali menyiarkan Islam, yaitu Datuk Tunggang Parangan.

Serta makam Islam yang ditemukan, yakni Raja Kutai ke-6 dan 7 bernama Aji Raja Mahkota Mulia Alam, serta anaknya, yaitu Aji Dilanggar.

Baca juga: Jejak Islam di Bumi Etam 1 - Mengumpulkan Kepingan Sejarah Islam di Kalimantan Timur

Makam ketiganya sendiri berada dalam satu kawasan, tetapi berbeda tempat.

Makam Tunggang Parangan sendiri berada di kawasan yang kini menjadi permukiman warga Desa Kutai Lama.

Sementara dua Raja Kutai yang telah memeluk Islam abad ke-16 sampai 17 terletak tak jauh sekitar 200 meter di atas bukit yang tak terlalu tinggi.

Kain kuning khas dari Kerajaan Kutai di kompleks makam Raja juga nampak, serta membalut pusara terakhir keduanya.

Menurut Dosen Ilmu Sejarah Islam, Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda, Samsir, S.Ag, M.Hum, tidak diketahui pasti kapan persisnya Islam masuk ke Kutai Kartanegara, namun Kerajaaan Kutai Kartanegara sebagai kerajaan terbesar menaruhkan pengaruh dalam syiarnya.

"Jika berbicara (masuknya Islam) di Kaltim, tidak tahu tahun persisnya, namun berbicara Kutai Kartanegara, masuknya Islam diterima Raja ke-6, yaitu Raja Mahkota Mulia dengan berbagai versinya, sekitar abad ke-17 yang tak lepas dari Tuan Tunggang Parangan, serta dua nama, yakni Datuk Ri Tiro dan Datuk Ri Bandang," kata Samsir.

Baca juga: Sejarah Masjid Tua Al Wahab Bontang, Didirikan oleh Para Perantau Abad 18 dan jadi Peradaban

Penulis buku berjudul Islam dan Kebudayaan Kerajaan Kutai Kartanegara menuturkan bahwa Kutai Lama sebagai tempat yang strategis melakukan hubungan dengan pihak luar, tetapi juga mempengaruhi karakteristik masyarakat.

Meskıpun Kutai di pedalaman, tetapi masih dapat berhubungan dengan orang luar karena Sungai Mahakam sering dilalui oleh para pedagang.

Adapun penetapan tahun, Islam resmi sebagai agama kerajaan juga terdapat kontroversi dari para pakar sejarah, kata Samsir.

Dalam bukunya, Samsir menjelaskan versi Oemar Dahlan menyebutkan bahwa Islam diterima di Kutai pada tahun 1607 masa pemerintahan Raja Mahkota (1545-1610).

Sedang menurut Kementerian Penerangan menyebutkan bahwa Islam masuk ke Kutai tahun 1525-1600.

Versi lain seperti Eiseinberger 1565-1605, dan Rabithah Alawiyah 1724.

Namun semua sepakat Islam masuk ke Kutai Kartanegara di masa pemerintahan Raja Mahkota.

Baca juga: Jelang Ramadhan, Masjid Tua Keraton di Kabupaten Paser Bakal Dipadati Pengunjung Wisata Religi

Konon, Raja Mahkota penguasa Kerajaan Kutai Kartanegara dikisahkan mempunyai kesaktian luar biasa.

Karena kesaktiannya, di sepanjang pantai Tanjung Mangkalihat hingga daerah Kutai Lama mendapat ketentraman hidup para penduduknya.

Tunggang Parangan yang seorang mubaligh membawa seruan, mengajak raja, keluarga, dan rakyatnya untuk memeluk agama Islam.

Tetapi dengan syarat sebelum Raja Mahkota dapat menerima dengan baik, penuh keikhlasan agama Islam, ada adu kesaktian antara keduanya.

Syarat dapat diterima oleh Tunggang Parangan, yakni adu kesaktian.

"Hal ini dilakukan untuk memenuhi permintaan Raja Mahkota, namun disepakati bahwa apabila Raja Mahkota kalah, beliau akan mengucapkan dua kalimat syahadat (masuk Islam). Tetapi apabila Tuan Tunggang Parangan yang kalah, bersedia untuk mengabdi kepada kerajaan," tutur Samsir. 

Adu kesaktian, konon berlangsung selama empat babak yang semuanya dimenangkan Tunggang Parangan.

Berarti Raja Mahkota harus menepati janjinya untuk mengucap dua kalimat syahadat di bawah bimbingan Tunggang Parangan.

Baca juga: Dermaga Wisata Samarinda Seberang akan Hidupkan Masjid Tua Shiratal Mustaqiem

Sementara, sejarawan lokal asal Kaltim, Muhamad Sarip juga menjelaskan terkait awal masuknya Islam di Kutai Lama dalam bukunya Kerajaan Martapura dalam Literasi Sejarah Kutai 400-1635.

Dalam Bab V "Kemunduran Dinasti Mulawarman", dijelaskan juga bahwa pada tahun 1575, seorang mubaligh atau juru dakwah Islam datang di Tepian Batu, Kutai Lama.

Rakyat Kutai Kartanegara menyambutnya dengan sikap terbuka dan tanpa penolakan.

Mubaligh tersebut yakni Tuan Tunggang Parangan, membawa misi religius yang berbeda dengan ajaran yang sudah dianut masyarakat setempat, yaitu hindu corak lokal.

Dalam manuskrip Arab Melayu yang ditulis pada abad ke-19 oleh juru tulis Kesultanan Kutai, Tunggang Parangan diwartakan datang sebagai penyebar Islam pertama di tanah Kutai, yang mana wilayah ini merupakan kerajaan terbesar di pantai timur Kalimantan.

Menurut analisis ilmuwan, tahun kedatangan Tunggang Parangan, yakni sekitar 1575 atau tiga perempat abad ke-16 Masehi.

"Tunggang Parangan berdakwah ke Kutai Lama setelah sebelumnya meng-Islam-kan penduduk Makassar," ucap Sarip.

Baca juga: Alasan Penulis Sejarah Lokal dari Samarinda Usul Prasasti Yupa Dipindahkan ke IKN Nusantara

Dalam bukunya, Sarip menjelaskan bahwa Tunggang Parangan tidak sendiri datang ke wilayah Kutai.

Ia ditemani Datuk Ri Bandang, berlayar dari Makassar.

Sarip juga menuliskan kedua mubaligh ini merupakan asal Minangkabau.

Alkisah, Datuk Ri Bandang tidak menemani Tunggang Parangan berdakwah di Kutai karena mendengar masyarakat Makassar yang baru Islam kembali murtad (kembali kepada kepercayaannya asal).

"Datuk Ri Bandang tak sempat bertemu Raja Mahkota, ia kembali ke Makassar untuk tugas dakwah," terang Sarip.

Mengenai dakwah Islam di Kutai Lama, setidaknya ada proses yang bernuansa mitologis ketika Raja Kutai adu kesaktian dengan Tuan Tunggang Parangan.

Menurut Sarip, secara harfiah, pola cerita tersebut serupa dengan riwayat metode dakwah yang mengutamakan unsur karamah, mukjizat, atau keajaiban.

Meski demikian, cerita tekstual tersebut dapat diinterpretasikan sebagai cara dakwah yang terjadi melalui dialog secara egaliter.

Adu kesaktian tersebut juga bermakna perdebatan nalar atau dialektika yang akhirnya dimenangkan Tunggang Parangan. Sehingga, Raja Mahkota sukarela memeluk Islam.

"Raja pun diajarkan tata cara salat. Tunggang Parangan juga menggelar kajian agama, mengajarkan Rukun Islam, Rukun Iman dan bacaan doa-doa serta zikir. Segenap keluarga dan punggawa istana serta rakyat Kutai Kertanegara turut menjadi muslim," jelas Sarip.

Baca juga: Unmul Jadi Tuan Rumah Konferensi Antarabangsa Islam Borneo, Abdunnur: Dukung Kemajuan ASEAN

Sementara Ketua Adat Kutai Lama, Abdul Munir, sang penjaga situs resmi makam Tunggang Parangan, Aji Raja Mahkota Mulia Alam, dan Aji Dilanggar juga menceritakan Islam di Kerajaan Kutai Kartanegara.

Bahwa dari cerita versi Kutai kuno menurut nenek moyangnya, lima Raja Kutai Kartanegara sebelumnya belum diketahui terkait keislamannya.

Jika diurutkan, Aji Batara Agung Dewa Sakti merupakan raja pertama (1300-1325), kemudian raja kedua, yakni Aji Batara Agung Paduka Nira (1325-1360).

Ketiga, Aji Maharaja Sultan (1360-1420), keempat Aji Raja Mandarsyah (1420-1475), lalu Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya (1475-1545).

Barulah pada masa Aji Raja Mahkota Mulia (1545-1610) dan anaknya Aji Dilanggar (1610-1635), Islam mulai menyebar ke berbagai tanah kekuasaan Kerajaan Kutai Kartanegara.

Abdul Munir juga mengungkapkan di Desa Kutai Lama memang tidak ditemukan bangunan istana selain terdapat makam peninggalan bercorak Islam yang diyakini adalah makam dari Tunggang Parangan dan dua Raja Kutai yang telah memeluk Islam.

(TribunKaltim.co/Mohammad Fairoussaniy)

Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Kaltim dan Google News Tribun Kaltim untuk pembaruan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved