Ibu Kota Negara
Gubernur Jakarta Ditunjuk Presiden setelah IKN Nusantara Resmi Ibu Kota? Begini Keinginan Pemerintah
Nasib Pilkada Jakarta setelah ibu kota negara resmi pindah ke IKN Nusantara kini tengah menjadi sorotan, begini keinginan pemerintah
TRIBUNKALTIM.CO - Persoalan nasib Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta setelah ibu kota negara resmi pindah ke IKN Nusantara menjadi pembahasan hangat di pembahasan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) pada Rabu (13/3/2024).
Dalam kesempatan tersebut, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian juga sempat mendapat tepuk tangan dari hadirin.
Tito menegaskan, pemerintah ingin gubernur dan wakil gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ) kelak tetap dipilih oleh masyarakat melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), bukan ditunjuk oleh presiden sebagaimana menjadi isu beberapa waktu belakangan.
Mendagri menegaskan, sejak awal pemerintah tak pernah mengusulkan draf RUU DKJ yang mengatur agar gubernur dan wagub Jakarta ditunjuk oleh presiden.
Baca juga: Nasib Ridwan Kamil di Politik, Pilih Pilkada Jakarta atau Jabar, Atau Gantikan Basuki Hadimuljono
"Bukan ditunjuk. Sekali lagi. Karena dari awal draf kami, draf pemerintah sikapnya sama juga, dipilih (rakyat), bukan ditunjuk," kata Tito dalam rapat pada Rabu pagi itu.
Tito mengatakan, sikap pemerintah tersebut sudah tertuang sejak awal draf RUU DKJ yang terpublikasikan.
Kendati demikian, saat draf RUU DKJ sudah dibahas di DPR, terjadi perubahan sehingga pasal 10 ayat 2 draf RUU DKJ mengatur gubernur dan wagub Jakarta ditunjuk presiden.
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas pun sempat menyinggung soal ketentuan dalam pasal itu saat membuka rapat siang ini.
"Yang hangat menjadi perbincangan. Sebagai usul inisiatif kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Serta beberapa kewenangan khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah," tutur Supratman.
"Walaupun ini sudah menimbulkan perdebatan, tapi kita akan menunggu sikap akhir dari pemerintah dan diskusi kembali dengan fraksi-fraksi di DPR RI," sambung dia.
Kembali ke Tito, mantan Kapolri ini menyadari, soal pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKJ memang menjadi isu krusial pasca mengemukanya RUU DKJ.
Menurut dia, pemerintah memang harus menegaskan sikap atas berbagai isu yang mengemuka, termasuk isu penunjukan kepala daerah DKJ oleh Presiden.

"Sikap pemerintah tegas, tetap pada posisi dipilih, atau tidak berubah sesuai dengan yang sudah dilaksanakan saat ini," sambung Tito yang diiringi tepuk tangan anggota Baleg DPR.
Polemik tentang penunjukan gubernur dan wakil gubernur DKJ mengemuka pada Desember tahun lalu.
Saat itu draf RUU DKJ mengatur bahwa gubernur dan wakil gubernur Daerah Khusus Jakarta tidak akan dipilih langsung oleh rakyat, tetapi ditunjuk oleh presiden atas usul atau pendapat Dewan Perwakilan Daerah (DPRD).
"Gubernur dan wakil gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD," demikian bunyi Pasal 10 Ayat (2) RUU DKJ yang sudah ditetapkan sebagai RUU usul inisiatif DPR pada Selasa (5/12/2023).
Wacana Gubernur Jakarta Dipilih Presiden, Pakar: Ada Motif Politik Apa di Baliknya?
Direktur Monitoring Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Jojo Rohi mempertanyakan motif politik maupun motif ekonomi di balik pasal kontroversi soal penunjukkan Gubernur Jakarta dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Keistimewaan Jakarta (DKJ).
Salah satu pasal polemik itu adalah pasal 10 ayat (2) yang mengatur penunjukkan gubernur oleh presiden, usai Jakarta ke depan tidak lagi menyandang status daerah khusus ibu kota lewat berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN).
Jojo Rohi bertanya-tanya mengapa pemilihan gubernur Jakarta lewat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) justru diubah saat status Jakarta kelak bukan lagi daerah khusus ibu kota.
"Jadi kenapa ketika levelnya justru turun malah mekanismenya diubah? Padahal ketika masih DKI, itu pemilihannya langsung, itu menjadi pertanyaan besar. Ada motif politik atau motif ekonomi apa di balik itu?" kata Jojo Rohi kepada Kompas.com, Selasa (12/3/2024).
Baca juga: Dibocorkan Sri Mulyani, Terungkap Nama Baru Jakarta setelah Ibu Kota Resmi Pindah ke IKN Nusantara
Jojo Rohi menilai, pemilihan gubernur secara langsung oleh masyarakat dengan penunjukkan oleh presiden akan berimplikasi pada beberapa hal, termasuk loyalitas.
Pengamat politik ini beranggapan, loyalitas gubernur yang ditunjuk langsung oleh Presiden akan bertumpu pada atasan yang menunjuknya.
Sedangkan jika dipilih masyarakat secara langsung, loyalitas akan bertumpu pada masyarakat.
Pemilihan kepala daerah oleh rakyat, menurut Jojo, akan memiliki legitimasi yang cukup kuat.
Dia pun mengaku tidak melihat urgensi RUU DKJ harus cepat disahkan.
"Saya sendiri tidak melihat bahwa ada urgensi yang cukup mendesak bahwa ini harus segera dibahas, apalagi dengan agenda untuk mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah," ujar Jojo.
Lebih lanjut, Jojo Rohi menyatakan, mekanisme Pilkada untuk memilih Gubernur Jakarta sudah benar.
Dia mengakui, masih terdapat berbagai masalah dalam prosesnya.
Namun, perbaikan dalam proses tersebut adalah kuncinya, bukan mendegradasi pemilihan langsung melalui Pilkada.
"Tentu saja catatan-catatan itu tidak kemudian mendegradasikan mekanisme pemilihan secara langsung. Tinggal memperbaiki bagaimana kemudian proses pilkadanya, bisa berlangsung dengan jurdil (jujur, adil)," kata Jojo Rohi.
Sebelumnya diberitakan, wacana gubernur-wakil gubernur Jakarta ditunjuk presiden berdasarkan usulan DPRD di dalam RUU DKJ yang telah ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR, menuai polemik.
Pasal 10 ayat 2 draf RUU DKJ berbunyi:
"Gubernur dan Wakil Gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD".
Tujuh dari sembilan fraksi di DPR mengaku tak setuju dengan usulan tersebut.
Sementara dua lainnya mengaku mengusulkan pasal itu, yakni Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Fraksi Gerindra.
Baca juga: Status DKI Hilang, IKN Nusantara Segera Jadi Ibu Kota, Reaksi Warga Jakarta: Sedih, Ih Orang Daerah
Survei Litbang Kompas: Lebih Banyak yang tak Setuju Gubernur Diiplih Presiden
Litbang Kompas melakukan survei untuk menyikapi salah satu Pasal 10 ayat (2) dalam Rancangan Undang-Undang Daerah Keistimewaan Jakarta (RUU DKJ).
Pasal itu mengatur penunjukan gubernur oleh presiden, usai Jakarta tidak lagi menyandang status ibu kota lewat berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN).
Status Ibu Kota Negara ini beralih ke Nusantara di Kalimantan Timur sejak 15 Februari 2024.
Hasilnya, banyak yang tidak setuju dengan rencana gubernur DKI Jakarta dipilih presiden.
Jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan, 66,1 persen masyarakat yang menjadi responden tidak setuju gubernur Jakarta dipilih langsung oleh presiden.
Rinciannya, 52,1 persen responden menyatakan tidak setuju dan 14 persen responden menyatakan sangat tidak setuju.
Ada beragam alasan yang memunculkan pendapat ketidaksetujuan tersebut.
Sebanyak 40,8 persen menyebut penunjukan oleh presiden menandakan adanya kemunduran demokrasi karena tidak ada pilkada.
Sebanyak 24,5 persen responden lainnya menyebut rawan konflik kepentingan, dan 24,5 persen responden khawatir masyarakat makin tidak didengarkan.
Lalu, 9,8 persen responden menyebutkan, penunjukan gubernur secara langsung oleh presiden yang tidak dipilih rakyat menunjukkan bahwa gubernur bukan lagi mewakili rakyat.
Di sisi lain, porsi responden yang setuju penunjukan gubernur oleh presiden juga tidak bisa diabaikan.
Tercatat, ada 27,8 persen responden yang setuju gubernur dipilih tidak langsung oleh rakyat.
Bahkan, 3,5 persen responden menyatakan sangat setuju. Sisanya sekitar 2,6 persen menyatakan tidak tahu.
Sebagai informasi, penunjukan gubernur Jakarta secara langsung oleh presiden menjadi salah satu pasal bermasalah dalam Rancangan Undang-Undang Daerah Keistimewaan Jakarta (RUU DKJ).
Jakarta tidak lagi menyandang status ibu kota lewat berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN).
Status Ibu Kota Negara ini beralih ke Nusantara di Kalimantan Timur sejak 15 Februari 2024.
Adapun pengumpulan jajak pendapat ini dilakukan melalui telepon pada 26-28 Februari 2024.
Sebanyak 512 responden dari 38 provinsi berhasil diwawancara.
Sampel ditentukan secara acak dari responden panel Litbang Kompas sesuai proporsi jumlah penduduk di tiap provinsi.
Menggunakan metode ini, pada tingkat kepercayaan 95 persen, margin of error penelitian lebih kurang 4,33 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.
Meskipun demikian, kesalahan di luar pengambilan sampel dimungkinkan terjadi. (*)
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Kaltim dan Google News Tribun Kaltim untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Rapat Perdana RUU DKJ Bareng DPR, Pemerintah Tegaskan Ingin Gubernur Jakarta Dipilih Rakyat" dan "Soal Gubernur Ditunjuk Presiden di RUU DKJ, Pakar: Ada Motif Politik Apa di Baliknya?"
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.