OPINI
Popularitas di Atas Kualitas: Fenomena Selebriti dalam Pemilu
Mereka tumbuh besar di dunia sandiwara, bukan di lingkungan politis yang mendidiknya untuk memikirkan peraturan perundang-undangan dan...
Oleh: Novita Fitriani,
Mahasiswi Fakultas Hukum
Universitas Mulawarman
PARTAI politik (parpol) memegang peran dan kedudukan penting dalam pemilihan umum (pemilu) dan demokrasi di Indonesia. Parpol sebagai wadah ekspresi politik warga negara merupakan bagian dari pelaksanaan amanat Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 yang dengan tegas menyatakan, bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat".
Pasal tersebut menjadi dasar bahwa warga negara diberi kebebasan untuk membentuk atau menggabungkan diri ke dalam parpol. Sehingga tidak mengherankan terdapat banyak parpol yang sudah terbentuk di Indonesia. Misalnya pada pemilu 2024, terdapat total 24 parpol peserta pemilu, 18 di antaranya adalah Partai Nasional, dan 6 lainnya adalah Partai Lokal Aceh. Kondisi ini menggandeng konsekuensi terbentuknya kompetisi yang sangat ketat bagi partai untuk bisa mendudukkan kader-kadernya di kekuasaan, sehingga partai akan menghalalkan segala cara demi memenangkan pertandingan.
Kita mengetahui bahwa salah satu kewenangan parpol adalah mengusung calon anggota legislatif (DPR dan DPRD). Sayangnya, parpol tidak memperhitungkan kualitas dan kapabilitas kadernya dengan cermat dan memilih seseorang hanya berdasarkan popularitas belaka.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah merilis Daftar Calon Sementara (DCS) pada kontestasi calon legislatif (caleg) dan terdapat banyak caleg artis, musisi, influencer, musisi, dan public figure yang rinciannya sebagai berikut :
1. 12 caleg diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P);
2. 3 caleg diusung Partai Golongan Karya (Golkar);
3. 12 caleg diusung Partai Amanat Nasional (PAN);
4. 6 caleg diusung Partai Nasional Demokrat (NasDem);
5. 9 caleg diusung Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra);
6. 2 caleg diusung Partai Demokrat;
7. 2 caleg diusung Partai Persatuan Pembangunan (PPP);
8. 4 caleg diusung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB);
9. 1 caleg diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS);
10. 8 caleg diusung Partai Persatuan Indonesia (Perindo);
11. 4 caleg diusung Partai Solidaritas Indonesia (PSI);
12. 1 caleg diusung Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora);
13. 1 caleg diusung Partai Kebangkitan Nusantara (PKN).
Terlepas dari apakah calon-calon tersebut melaju atau tidaknya dalam pemilu 2024, namun kita dapat melihat betapa buruknya sistem kaderisasi yang dimiliki oleh parpol. Perlu digarisbawahi, Penulis tidak berpandangan bahwa "Artis gak boleh nyaleg", karena selama kader yang diusung memiliki kualitas yang baik maka sah-sah saja mendudukannya di legislatif.
Hanya saja, Penulis mencoba menyoroti motif partai dalam pemilu ini, yakni hanya ingin mendulang suara sebanyak-banyaknya. Nampaknya partai mengacuhkan kualitas dan kapabilitas kadernya, dan selama kader tersebut populer maka itu sudah cukup. Mari kita ingat kembali bahwa latar belakang mereka adalah seorang "performer". Mereka tumbuh besar di dunia sandiwara, bukan di lingkungan politis yang mendidiknya untuk memikirkan peraturan perundang-undangan, mengawasi pemerintahan, apalagi mengelola anggaran negara.
Sungguh disayangkan ketika partai dengan begitu berani menyerahkan kewenangan besar DPR atau DPRD yang baru terjun ke dunia politik saat musim pemilu. Parpol seolah lupa bahwa yang mereka usung akan menjadi salah satu penentu baik/buruknya masa depan bangsa.
Dan berangkat dari kaderisasi yang sembrono tersebut, Penulis mengganggap ini adalah awal dari hancurnya demokrasi di Indonesia. Karena kemampuan yang tidak terverifikasi hanya akan membuat mereka mudah disetir oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Lebih jauh daripada itu, kaderisasi yang mengedepankan syarat popularitas semata hanya akan mengundang masalah-masalah baru, seperti:
a. menurunnya kepercayaan publik akibat ketidakmampuan menjalankan tugas dan kewajiban;
b. kemampuan bersandiwara bisa saja disalahgunakan untuk lari dari kejaran transparansi dan pertanggungjawaban yang diminta publik;
c. membuka peluang Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme karena ketergantungan pada oligarki politik yang mengusungnya; dan
d. menghancurkan representasi demokrasi perwakilan di parlemen karena terpilihnya bukan atas dasar menggendong aspirasi rakyat, melainkan hanya bermodalkan ketenaran.(*)
Bela Tanah Air di Bingkai Demokrasi : Klarifikasi Indoktrinasi di Pendidikan Kesadaran Bela Bangsa |
![]() |
---|
Belajar dari Kasus Bupati Pati: Perlunya Kepala Daerah Memahami Proses Pengambilan Kebijakan |
![]() |
---|
Maraknya Fenomena Sound Horeg |
![]() |
---|
Sinergi Mahasiswa Kedokteran dengan Rumah Sakit: Edukasi Cegah Hipertensi dan Stroke |
![]() |
---|
Pembelajaran Mendalam di SMK, Implementasi Teaching Factory |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.